FATU, nasi, oel, afu amsan a’fatif neu monit mansian. Batu, hutan, air, tanah sama dengan tubuh manusia. Ini filosofi masyarakat adat Molo, Nusa Tenggara Timur tentang kekayaan alam. Tulang manusia yang keras dilambangkan dengan batu. Air yang mengalir berarti darah, tanah pelapis bumi sebagai daging dan hutan merupakan kulit, paru-paru dan rambut.
Filosofi lain soal kekayaan alam datang dari Papua. Alam ibarat tubuh perempuan, Mother Earth. Kepala adalah puncak gunung. Tempat spiritual untuk berhadapan dengan Tuhan. Tubuh, bagian landai dari tengah gunung hingga daratan. Tempat bahan pangan tersedia untuk penuhi kebutuhan hidup. Kaki berupa laut dan pesisir. Bagian ini cenderung dihindari karena masyarakat Papua tak biasa hidup dari perairan.
Tapi kini, Mother Earth mereka telah berubah jadi lubang-lubang tambang sedalam ribuan meter. Sumber penghidupan dari tubuh sang ibu tak bisa lagi diperoleh. Mereka harus menjelajah bagian kaki yang sangat asing.
Keadaan ini membuat beberapa orang dan lembaga peduli. Mereka prihatin dengan dampak tambang yang merusak kehidupan masyarakat adat. Mereka mengadvokasi persoalan ini.
Salah satunya Siti Maimunah. Selama 7 tahun (2003-2010) ia turut mengadvokasi persoalan tambang melalui Lembaga Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). JATAM mengurus kasus korupsi, konflik dan pelanggaran HAM pada pertambangan. Mai Jebing, panggilan akrabnya, pada 20 November lalu datang ke Pekanbaru.
Bahana Mahasiswa mengundang Mai Jebing membahas persoalan tambang di Indonesia. Kutipan wawancaranya disalin oleh Nurul Fitria. Berikut hasilnya.
Apa permasalahan pertambangan di Indonesia saat ini?
Ketimpangan antara hukum dan penerapan serta pengelolaan sumber daya alam (SDA). SDA sebelumnya dipandang sebagai ruang dan sumber hidup warga. Tapi kini, Indonesia yang baru memiliki undang-undang pertambangan memandang SDA sebagai penghasil devisa. Sehingga SDA dikeruk dan dijual. Tak jarang melalui kebijakan tersebut menimbulkan konflik serta pelanggaran HAM ataupun korupsi.
Banyak izin pertambangan diberikan, hasil tambang mineral diekspor, hasilnya dipakai untuk bayar hutang. Tapi dampaknya keadaan alam Indonesia terus dikuras, sedangkan peningkatan ekonomi tak juga terjadi.
Penelitian dari Extractive Industry and the Poor, Oxfam Amerika pada 2001 di Amerika Latin menyimpulkan Negara yang bergantung pada ekspor minyak dan mineral cenderung memiliki tingkat korupsi sangat tinggi. Ia ditandai dengan pemerintah otoriter, tingkat kemiskinan dan kematian anak tinggi, ketidakadilan, tak ada pemerataan ekonomi dan rentan terhadap kerapuhan ekonomi.
Bagaimana Anda menilai izin pertambangan di Indonesia?
Ini menarik. Indonesia punya Undang-undang nomor 11 tahun 1967 dan terus digunakan sampai 2009. Bayangkan berapa lama tanpa ada perubahan.
Dulu saat Freeport masuk ke Indonesia, sebelum 1967, belum ada Undang-undang Pertambangan. Jadi aturan yang dipakai adalah Kontrak Karya. Ini izin sangat istimewa. Kenapa? Karena izinnya tak terbatas. Bersifat leg specialis, artinya, jika ada hukum yang berlaku kemudian, ia tak akan mengganggu gugat izin dari Kontrak Karya.
Lalu keluar Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral Batu Bara. Sayangnya tak ada kaji ulang tentang masalah perizinan tambang sebelumnya. Malah daerah punya kewenangan keluarkan izin sebanyak-banyaknya. Jadi bukan menyelesaikan masalah, malah menambah masalah.
Contohnya?
Salah satu daerah yang keluarkan banyak izin tambang adalah Kalimantan Timur. Dominan izin tambang batubara mencapai 1200-an. Kecamatan Samboja, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, terdiri dari 22 desa dan kelurahan. Di sana saja ada 90 izin perusahaan konsesi pertambangan batubara. Di Samarinda, lahannya 71 persen areal konsesi pertambangan.
Jadi persoalan izin perlu ditinjau lagi. Jangan dijadikan transaksi, tapi ditinjau apakah memang perlu atau tidak dikeluarkan izin. Kalau kita total seluruh areal mulai dari pertambangan, perkebunan, sawit dan konservasi hutan, bisa jadi lebih luas dari pada provinsi itu sendiri.
Apa dampak dari banyaknya perizinan tersebut?
Sekarang ada lebih dari 10 ribu izin pertambangan, belum tambang minyak. Izin ini ada dimana-mana. Jadi kesannya dimana ada cadangan SDA, di situ ada izin pertambangan. Mau sungai, kawasan taman nasional atau kawasan masyarakat adat. Dampak besarnya konflik terus bertambah.
Kalau dulu konfliknya antara masyarakat dan perusahaan, pihak keamanaan dengan masyarakat atau perusahaan. Sekarang tambah lagi konflik antara pemerintah daerah dengan pusat, perusahaan sawit dengan batu bara, masyarakat yang punya kebun sawit dengan masyarakat yang punya pertambangan. Jadi tambah banyak.
Konflik terjadi karena izin yang diberikan tumpang tindih dengan izin lainnya. Hatta Rajasa pernah menyampaikan dari sekitar 8 ribu izin pertambangan, 75 persen tumpang tindih dengan perizinan lain. Ini ia sampaikan pada Mei 2011.
Di Papua sama juga. Kenapa konfliknya begitu tinggi? Dilihat dari peta sebaran izin konsesi mulai dari hutan, tambang dan perkebunan, banyak tumpang tindih. Lahan kosong bagi masyarakat Papua sudah sedikit sekali. Hasil dari izin konsesi tersebut berupa pajak dan retribusi, diputar untuk membayar hutang Negara.
Sebenarnya apa manfaat adanya pertambangan?
Bagi Negara, ini menjadi komoditas penghasil devisa. Hasilnya dapat digunakan membayar hutang Negara dan lainnya. Tapi tambang sendiri sebenarnya sangat merusak lingkungan.
Kenapa merusak lingkungan?
Pertama, karena ia tak terbarukan. Setelah diambil, tambang tidak akan memperbarui mineral-mineralnya. Kedua, daya rusaknya sangat luar biasa. Memakan banyak lahan, air, energi serta menghasilkan banyak limbah yang merusak lingkungan.
Misalnya emas. Untuk dapatkan 1 gram emas, jangan bayangkan bisa langsung diambil tinggal pilih-pilih. Dalam suatu dataran lahan tambang, untuk ambil emasnya kita harus membuka tanah tutupan dulu atau topsoil. Ini bagian terkeras. Setelah topsoil dibuka baru bisa dapatkan batuan mengandung emas. Topsoil itu sebagai limbah pertama dari tanah tutupan.
Yang kedua, setelah dapat batuan mengandung emas, tidak serta merta dapat langsung digunakan. Emasnya harus diambil. Caranya dengan menghancurkan batuannya menggunakan media air sehingga menjadi lumpur. Kemudian emasnya ditarik menggunakan bahan kimia seperti mercuri atau sianida. Baru sisanya dibuang sebagai limbah.
Untuk membuang limbah ini tentu ada pembongkaran hutan, padahal kita tahu hutan adalah wilayah tangkapan atau resapan air. Tanah dan bebatuannya juga telah dibongkar tadi sebagai limbah topsoil.
Yang perlu diketahui, emas rakus air. Bayangkan berapa banyak air yang digunakan untuk menghancurkan bebatuan sampai jadi lumpur. Limbah yang dihasilkan tentu sangat banyak dan akan dibuang ke lingkungan sekitar.
Apa yang harus dilakukan masyarakat menyikapi masalah ini?
Masyarakat bisa laporkan pencemaran dan perusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan pertambangan. Juga dalam proses penetapan lahan konsesi, jika terjadi penggusuran atau tumpang tindih lahan, bisa saja masyarakat melaporkannya ke Mahkamah Konstitusi. Perlu juga lembaga yang mengadvokasi pertambangan untuk membantu.
Apa rekomendasi JATAM melihat permasalahan ini?
Pemerintah harus mengubah paradigma bahwa SDA merupakan tambang emas, komoditas dagang penghasil devisa. Jadikan SDA ruang dan sumber hidup warga sekitar. Perlu juga dilakukan moratorium perizinan tambang, termasuk yang belum beroperasi.
Kaji ulang perizinan harus sesuai perturan agraria sehingga pengelolaan lahan yang diberikan bisa menjamin keselamatan masyarakat. Penyelesaian konflik juga harus dilakukan. Harapan saya KPK mulai lakukan penyidikan terhadap kasus-kasus pertambangan. #