Keamanan Jurnalis, Tak Ada Berita Semahal Nyawa

Matinya sembilan jurnalis lantaran berita, kembali dikuak. Lewat diskusi bertajuk Diseminasi Buku Digital, Mati Karena Berita, yang ditaja Aliansi Jurnalitik Independen atau AJI Indonesia. Kegiatan ini dilakukan secara daring melalui platform Zoom Meeting dan Youtube pada Rabu (12/10).

Musdalifah Fachri selaku pemandu jalannya acara, katakan ada delapan dari sembilan kasus yang tak kunjung tuntas penanganan. Hal ini disebabkan lantaran kurangnya data dan riset untuk lakukan advokasi. Dari buku ini senggol beberapa kisah tewasnya para jurnalis. Ialah Muhammad Syafruddin, Agus Mulyawan, dan Muhammad Jamal.

Sasmito sebagai ketua umum AJI dalam sambutannya pesankan bahwa tak ada berita semahal harga nyawa. Pembunuhan pada pers, sama saja dengan pembungkaman suara menurutnya.

“Jurnalis yang meninggal karena dibunuh ini sejatinya adalah kematian bagi kebebasan pers,” pungkas dia.

Agung Dharmajaya selaku dewan pers sumbang buah pikir. Ia usul untuk libatkan penegak hukum guna bahas dan advokasi kasus yang tak kunjung tuntas. Misalnya Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri, Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan sebagainya.

“Sehingga beban moral dan tanggung jawabnya sama,” imbuhnya.

Tanggapi ini, Umi Fadhillah Astutik beri respon positif. Ia adalah Hubungan Masyarakat Polri yang beri dukungan untuk pembentukan tim independen. “Kami dengan senang hati dan terbuka untuk membantu kasus-kasus  ini.”

Respon dari Lembaga Bantuan Hukum Pers, Mona Ervita ungkapkan bahwasannya pemeriksaan hukum perkara meninggalnya jurnalis tampak ada kejanggalan. Misalnya, muncul orang baru yang seolah dianggap sebagai pelaku. Inilah yang akibatkan publik fokus pada orang lain, bukan aktor utamanya. Pada kasus Munir misalnya.

Ada juga Novan Ivanhone Saleh, dari Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI. Katanya, diperlukan regulasi untuk wartawan. Dibandingkannya pula perlindungan wartawan Indonesia dan wartawan asing. Menurutnya, perlindungan wartawan di dalam negeri tak sekuat dengan di luar. Tentunya hal ini tak jauh-jauh pula dari kekuatan hukum yang melindungi wartawan dari pekerjaannya.

“Mereka (wartawan asing} itu, dengan menggunakan kartu pers, maka sudah tidak akan ada yang mengganggu,” ucapnya.

 

Penulis : Sudira Wahyuni

Editor : Ellya Syafriani