“Ketika terjun ke dunia jurnalistik, tunduk saja pada kode etik jurnalis.” Ujar Dheayu Jihan, pada Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional Diponegoro Journalist Week. Ia berikan materi Independensi Pers Mahasiswa (Persma) dalam Menyuarakan Suara Publik, pada Sabtu (15/10).
Wanita yang kerap disapa Jihan itu, jelaskan perbedaan antara Persma dengan Jurnalis Profesional. Keduanya miliki lingkup kerja yang sama. Namun, Persma tidak dalam industri media seperti jurnalis profesional.
Persma dan jurnalis profesional harus patuh pada Kode Etik Jurnalis (KEJ). Meskipun dalam penerapannya, Persma dihadapkan dengan beragam tantangan.
Pertama, regulasi. Jihan sampaikan payung hukum untuk Persma belum ada. Dalam undang-undang yang mengatur perlindungan pers, tidak ada kata “pers mahasiswa” di dalamnya. Namun demikian, lembaga perlindungan pers Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), akui Persma sebagai bagian jurnalistik yang harus dilindungi.
“Persma berada pada lingkup kerja yang sama dengan jurnalis pada umumnya, maka AJI tetap mengakui Persma sebagai bagiannya,” terang Jihan.
Kemudian, narasumber. Narasumber jadi salah satu tantangan, perihal tidak semua orang bersedia dimintai informasi. Ini akan sulitkan penulis dalam penyelesaian liputan. Liputan berpotensi jadi kosong atau cenderung tampil seperti opini.
“Buat saja keterangan bahwa narasumber tidak bisa diminta keterangan atau sejenisnya, yang sesuai keadan sebenarnya,” ujar produser Tempo itu pada peserta PJTLN.
Jihan pun jelaskan, jurnalis harus menjaga hubungan baik dengan narasumber. Jurnalis harus bisa membuat narasumber tetap nyaman untuk kemudahan dalam mendapatkan informasi.
Terakhir, humas kampus. Humas kampus, selalu beritakan hal baik perihal kampus. Namun tertutup atas isu buruk. Sedangkan, Persma harus beritakan semua informasi baik atau buruk kampus.
Setelahnya, Jihan sampaikan produk pers kampus belum bisa menarik perhatian publik. Mengatasi permasalahan tersebut, strategi yang dapat dilakukan adalah konvergensi. Dalam dunia profesional, konvergensi sangat penting. Sebab konvergensi akan mempercepat penyebaran informasi.
Jihan paparkan, dulu produk cetak Tempo pernah hilang dari peredaran. Dilakukan oleh pihak yang tidak ingin berita tersebar. Tak putus asa, Tempo sebarkan isi berita dalam produk dengan media digital.
“Informasi bisa dipecah-pecah di beberapa media digital agar informasi tetap tersebar,” papar Jihan.
Lalu, dengan konvergensi dapat tingkatkan experience audience. Ia sampaikan pengalaman audience baca berita artikel dibandingkan dengan infografis itu berbeda. Itulah alasan pers harus bisa memanfaatkan media yang ada. Demi tingkatkan experience audience.
Tak hanya itu, konvergensi dapat memperkuat brand media, menaikan peluang ekonomis serta perbanyak tenaga kerja.
Jihan juga sampaikan tips demi menggaet audience. Pertama, pastikan dulu golongan audience. Siapa, rentang usia, dan berbagai informasi mengenai audience perlu kita ketahui. Lalu, riset untuk meninjau tampilan yang disukainya. Tata bahasa, tampilan, tipe pemberitaan harus sesuai dengan selera ‘pembaca/pendengar’.
Lanjutnya, pastikan lakukan konvergensi media. Terakhir, buat konten eksklusif. Konten eksklusif tidak perlu sering asalkan cukup ‘mengenyangkan’ audience.
“Temukan isu menarik, ramu dulu sampai jadi, jika sudah ‘mengenyangkan’ baru di sebarkan,” jelas Jihan.
Selepas materinya, pada sesi tanya jawab. Peserta layangkan pertanyaan, ialah Ahmad Fadhlan. Ia tanyakan perihal isu internal di dalam kampus. Apakah itu merupakan aib yang harus ditutupi atau harus diberitakan?
Jihan jelaskan bahwa isu itu tetap harus diberitakan pada publik. “Selama informasi yang disebarkan bisa dipertanggungjawabkan, jangan takut.”
Usai jeda makan siang, materi berikutnya Perspektif Pengawalan Isu di Era Transisi Pers Indonesia. Dibawakan oleh Puput Tripeni, mantan jurnalis Cable News Network atau CNN. Ia jelaskan bahwa transisi pers di Indonesia berkaitan erat dengan teknologi yang berkembang. Seperti dulu hanya ada media cetak dan radio saja. Namun, kini telah hadir media digital.
Puput sampaikan ada lima hal yang dilakukan demi hadapi transisi pers. Pertama, kenali perubahan yang terjadi. Karena perubahan selalu ada dan tidak terhindarkan, dan Pers harus sadar terhadap itu.
Kedua, kenali media yang ada. Jurnalis harus dapat kenali dan tahu semua media serta platform yang tengah berkembang. Lalu, tingkatkan kemampuan. Diperlukan peningkatan keahlian pada media yang ada. Gunanya untuk dukung jalannya lembaga pers tersebut.
Tambahnya, miliki teknologi penunjang. Misalnya kamera untuk dokumentasi. Terakhir, meningkatan kemampuan jurnalisme. Contohnya cara menghubungi narasumber atau mampu gunakan teknologi.
Kemudian, isu penting untuk dikawal. Sebab jurnalis bertanggung jawab pada loyalitasnya ke masyarakat. Jurnalis harus berikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Kata Puput, Persma adalah watchdog atau anjing penjaga. Maksudnya, Persma berperan sebagai pemantau institusinya. Pun harus sampaikan isu yang ada meskipun sensitif.
“Isu sensitif justru harus disebarkan, walaupun beresiko dan ada hambatan,” ujar Puput.
Meski Jihan sampaikan tidak ada kata Pers Mahasiswa dalam UU. Puput berpendapat sebaliknya. Ia sampaikan Persma dapat berlindung di dua payung hukum. Yakni UU Pers NO. 40 tahun 1999 dan UU Dikti NO 12 tahun 2012 mengenai Kebebasan Akademik.
Lalu, menurutnya Persma harus dapat bersaing dengan isu terbaru. Persma harus beritakan isu terbaru dengan penyampaian yang baru pula.
“Maka perlu pembuatan tulisan yang informatif dan menarik,” akhir Puput.
Acara diadakan dalam jaringan via Zoom Meeting itu, dilanjutkan pada Sabtu (22/10). Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan Fakultas Hukum Undip rutin taja acara tersebut, dua tahun sekali. Peserta dari mahasiswa Persma se-Indonesia. Selain PJTLN, juga ada lomba essay mahasiswa dan lomba news anchor tingkat SMA.
Di hari kedua, berlangsung rangkaian penutupan acara. Diawali sambutan oleh Project Officer dan Pemimpin Umum, lalu pengumuman para pemuncak lomba.
“Terima Kasih kepada seluruh peserta dan sampai bertemu kembali di Diponegoro Journalist Week 2024,” tutup Muhammad Ridho, pimpinan umum LPM Gema Keadilan.
Penulis : Fani Oktafiona
Editor : Najha Nabilla