Pelecehan seksual kian marak terjadi. Hal ini terjadi sebab tidak adanya persetujuan dari korban atas apa yang dilakukan pelaku. Ungkapan menyetujui atau tidak ini disebut dengan sexual consent atau persetujuan seksual.

Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi juga tak luput dari bahasan tersebut. Tepatnya pada pasal 5.

Berdasarkan Permendikbud Nomor 30, beberapa tindakannya antara lain memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban. Tak hanya itu, mengambil, merekam, mengedarkan foto, rekaman audio atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban tersebut menjadi perhatian Mas Menteri Nadine Makarim.

Singkatnya, apabila korban tak memberikan persetujuan, tindakan itu dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual.

Mirisnya, pada 26 Oktober silam, terduga pelaku kekerasan seksual kembali terungkap di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Adalah seorang Gubernur Mahasiswa Galang Afarel.

Galang cukup aktif menyuarakan kekerasan seksual saat di kegiatan-kegiatan tertentu. Seperti berorasi ketika demontrasi di kampus.

Kenyataan ini justru menjadi perhatian. Pentingnya memahami persetujuan seksual merupakan hal yang harus diprioritaskan. Lantas, bagaimana pandangan para tokoh akademisi di Riau terkait sexual consent ini?

Sri Endang Kornita selaku anggota Satgas PPKS Universitas Riau mengungkapkan bahwa sexual consent adalah persetujuan sukarela dari para pihak yang terlibat dalam aktivitas seksual, tanpa adanya unsur penyiksaan, relasi kuasa, paksaan atau ancaman. Persetujuan ini dapat terlihat dari reaksi para pihak yang terlibat dalam aktivitas seksual, antusiasme atau komunikasi yang dilakukan dengan jelas dan berkelanjutan.

“Apabila persetujuan tersebut tidak ada dalam aktivitas seksual maka dapat disimpulkan telah terjadi praktek kekerasan seksual,” ungkapnya melalui pesan WhatsApp.

Sedangkan, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak Mustiqo Wati Ummul Fithiyyah memandang sexual consent sangat manusiawi dalam konteks suami istri. Tetapi, diluar hubungan suami istri dianggap sebagai tindakan asusila. Namun, jika tindakan pemerkosaan, pemaksaan, berarti telah keluar dari konteks persetujuan korban sehingga dikategorikan tindakan pidana.

“Karna kalau pidana ada korban ada pelaku. Tetapi kalau tindakan asusila berarti sama-sama menjadi pelaku disitu,” ujar dosen UIN Sultan Syarif kasim itu.

Disamping itu, Risdayati selaku Dosen Jurusan Sosiologi UNRI ungkapkan bahwa persetujuan seksual hanya bisa terjadi pada orang yang telah dewasa. Dewasa maksudnya adalah yang telah berusia 18 tahun keatas. Karena keduanya dianggap sebagai orang yang sudah tau dan mengerti akan tindakan yang dilakukannya. Sedangkan, jika pada anak dibawah umur dengan kata lain dibawah 18 tahun tidak berlaku adanya sexual consent.

Menurutnya, tidak masalah jika sexual consent pada orang dewasa terjadi jika sama-sama suka. Namun, akan bermasalah jika salah satunya tidak nyaman walaupun dalam hubungan pacaran. Katanya belum tentu yang dilakukan itu atas dasar suka-sama suka. Dari beberapa kasus pelecehan seksual dalam hubungan pacaran yang ia tangani, tidak ada unsur sexual consent didalamnya.

“Bisa jadi ada unsur bujuk rayu, ancaman, atau lainnya,”  ungkap perempuan yang mendapatkan penghargaan sebagai Tokoh Inspiratif Peduli Anak Riau oleh Gubernur Riau ini.

Pada hubungan sah suami istri, sexual consent juga amat penting. Namun, tetap harus ada kesepakatan terlebih dahulu. Risda yang menjadi relawan di lembaga Rumpun Perempuan Riau (RUPARI) dan Yayasan Intanpayu ini ceritakan beberapa kasus yang ditanganinya.

Ia pernah menemukan beberapa kasus pada pasangan suami istri. Seperti, kelainan seks pada suami. Ia harus memukuli pasangannya dulu hingga babak belur baru dilakukan hubungan seks. Paling banyak ditemuinya adalah yang menggunakan alat bantu yang kemudian merusak dan menyakiti pasangannya sendiri.

Tak hanya perempuan yang menjadi korban. Pada kasus lain,  Risda ceritakan kasus seorang suami menuntut istri karena membuatnya dalam keadaan tidak sehat saat bekerja karna semalaman dipaksa oleh istrinya melakukan hubungan suami istri. Tidak ada kesepakatan disitu yang membuat adanya kekerasan. Ini dikenal dengan hypersex.

“Perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sama. Tidak hanya perempuan saja yang perlu dilindungi. Keduanya sama sama rentan jadi korban,” tutur Risda.

Ia juga sangat menyayangkan akan sulitnya untuk melaporkan sexual consent. Sebab sulitnya penemuan bukti. Padahal, dampaknya pada korban luar biasa. Namun, apabila ada janji yang dijanjikan oleh pelaku maka  itu bisa dituntut. Bukan pelecehan seksual melainkan terkait ingkar janji.

Lanjutnya, Risda katakan dampak dari sexual consent cukup nyata. Dari segi sosial, akan muncul sanksi sosial.  Sebab Indonesia bukan negara barat yang menormalisasikan seks bebas.

Orang yang melakukan sexual consent dianggap nilainya rendah oleh masyarakat. Kemudian hal ini timbul perundungan. Secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat. Apalagi saat ia melanjutkannya ke jenjang pernikahan ataupun tidak.

“Tapi biasanya kebanyakan pasangan yang lakukan sexual consent bertahun-tahun diluar nikah, pada akhirnya menikah dengan orang berbeda.”

Ia katakan bahwa terdapat perbedaan pada masyarakat tradisional dan modern dalam hal ini. Sebagian besar masyarakat tradisional akan cenderung mengganggap kasus ini sebagai aib yang harus ditutupi. Sedangkan masyarakat modern menganggap ini sebagai suatu tindakan kekerasan yang harus disuarakan.

Risda juga ungkapkan bahwa masyarakat secara keseluruhan belum menerapkan sexual consent. Ini terbukti dari masih banyaknya terjadi kasus kekerasan seksual yang tinggi. Pelaku biasanya orang yang berada disekitar, yang harusnya melindungi dan mengakomodirnya.

“Ada tokoh agama, tokoh pendidikan, orang tua kandung, orang tua tiri, supir angkot, semua punya potensi,”

Untuk mencegah sexual consent, Risda katakan ada beberapa upaya yang dapat dilakukan. Seperti membuat batasan dengan lawan jenis dan didikan dari keluarga.

“keluarga, karena tempat pertama belajar, “

Pendapat berbeda datang dari Yanwar Arief selaku Dosen Psikologi Universitas Islam Riau. Ia memandang sexual consent sebagai perilaku yang tidak baik. Yanwar melarang keras kampanye sexual consent suatu hal yang wajar. Menurutnya, meskipun atas persetujuan bersama, tindakan ini tetap buruk.

Sexual consent tidak boleh dijadikan ranah pribadi hanya karena dianggap tidak merugikan orang lain dan wajar,” katanya.

Yanwar berpendapat sexual consent harus dilihat dari dua sudut pandang. Nilai moral dan dampak di masa yang akan datang. Meskipun dari segi hukum, sexual consent tidak termasuk tindak kekerasan seksual karena dilakukan atas persetujuan dan kesepakatan bersama. Namun, menurutnya ini perlu dikaji dari segi nilai moral. Standar moral itu tidak berdasarkan pendapat sendiri, melainkan juga pertimbangan dari masyarakat, agama, dan  sosial budaya.

Sexual consent juga akan berdampak jangka panjang. Adanya pengalaman traumatik serta membuat pelaku toleran akan tindakan itu.

 “Ah dulu kan sudah pernah, gak masalah lah,” ujarnya mencontohkan.

Lanjutnya, ini akan cenderung diungkapkan oleh pelaku yang telah melakukan sexual consent.

Semua orang yang melakukan sexual consent akan berpotensi akan adanya sexual addict atau kecanduan seksual. Ia akan punya potensi untuk mengulangi perbuatannya lagi.  Orang yang telah pernah melakukan hubungan seksual akan lebih mudah melakukannya kembali.

Yanwar juga paparkan ada tiga tindakan yang merupakan bentuk respon yang diberikan korban.  Pertama, fight. Ketika dilecehkan dia semakin kuat dan melawan. Ia akan membabi buta kemudian juga akan menyuarakannya dimana-mana.

Kedua, flight. Korban lebih memilih lari dari hal ini dan membiarkannya jadi masa lalu. Resikonya akan muncul dikemudian hari. Korban akan cenderung memiliki kebencian pada lawan jenis. Juga susah berhubungan dengan lawan jenis serta bahkan berujung menjadi penyuka sesama jenis.

Respon ketiga adalah freeze. Korban cenderung diam dan membisu. Tidak mau bertindak dan menyuarakan apa yang dialaminya lalu menyalahkan diri sendiri.

“Kebanyakan korban ada pada poin ini,”

Untuk menolak sexual consent, Yanwar katakan ada beberapa tindakan yang dapat dijadikan acuan dari sisi korban.

Pertama, kewaspadaan. Perlunya kewaspadaan terhadap hal yang mengarah ke sexual consent. Menurutnya orang selalu punya cara dan modus apabila punya keinginan. Baik positif atau negatif, tujuan tersebut, akan tetap lebih baik bila tetap waspada.

“Kalau ada perhatian berlebihan, pemujaan berlebihan, itu harus diwaspadai,”

Kedua, pemahaman mengenai kasih sayang. Perlunya pemahaman mengenai cinta dan kasih sayang yang merupakan penjagaan dan perlindungan dari segalanya. Maka bagi yang ingin melakukan pelecehan dan kekerasan seksual itu bukan kasih sayang.

Ketiga, minimalisir peluang. Kesempatan berpengaruh pada perilaku. Yanwar katakan hindari berpergian dengan lawan jenis ke area privat.

Keempat, lingkungan sosial. Menurutnya lingkungan sosial punya pengaruh amat penting. Perlunya merperbanyak kelompok sosial. Sebab ini akan menjadi penguatan dari segi sosial serta pemberian dukungan.

Kita, kata Yanwar, harus punya kelompok kecil sebagai proteksi diri. Kelompok kecil biasanya akan mengingatkan apabila kita telah mengarah pada hubungan yang tidak sehat.

Sedangkan di lingkungan akademik, Sri Endang Kornita sampaikan ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan sexual consent.  Penguatan kesadaran nilai-nilai sosial, moral, dan agama  bagi seluruh civitas akademika di perguruan tinggi jadi upaya utama. Tak hanya itu, sosialisasi peraturan terkait larangan hubungan seksual yang tidak sah secara hukum, harus dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Begitu juga penegakan aturannya yang harus dilakukan secara konsisten. Meskipun dilakukan dengan persetujuan sukarela para pihak.

Menurutnya apabila sexual consent dilakukan oleh mahasiswa maka proses penanganannya di perguruan tinggi akan menggunakan instrumen penegakan kode etik di lingkungan perguruan tinggi dan ketentuan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.

Hingga saat ini Satgas PPKS UNRI belum ada menerima laporan aktivas seksual berdasarkan sexual consent. Kasus aktivitas seksual yang diadukan ke Satgas PPKS UNRI pada umumnya tidak ada didasarkan pada adanya persetujuan seksual. Melainkan lebih mengarah pada kasus kekerasan seksual. Korban tidak pernah memberikan persetujuan atas aktivitas seksual yang dilakukan oleh pelaku, baik tersirat maupun tersurat.  Untuk itu Satgas PPKS UNRI memprosesnya sesuai dengan ketentuan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.

Sri Endang katakan jika ada aduan kasus sexual consent nantinya, maka Satgas akan memeriksa sesuai dengan ketentuan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Terutama mengacu pada  ketentuan Pasal 5 ayat (3) Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 terkait kondisi tidak sahnya persetujuan korban.

Penulis: Fani Oktafiona

Editor: Andi Yulia Rahma