MA Tolak Permohonan Kasasi dan Bebaskan Hukuman PT Gandaerah Hendana

Tertolaknya permohonan kasasi Mahkamah Agung atas kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) oleh Perseroan Terbatas Gandaerah Hendana atau PT GH timbulkan tanda tanya. Selasar dengan itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) taja diskusi bertajuk Menyoal Putusan Bebas Perkara Karhutla PT Gandaerah Hendana di rumah gerakan Walhi pada Rabu, (24/11).

Permasalahan ini bermula sebab PT yang bergerak di bidang budidaya perkebunan kelapa sawit ini membiarkan api tetap menyala selama tiga minggu di Desa Seluti, Indragiri Hulu. Terhitung sejak 3 September 2019 silam. Akibatnya, sekitar 580 hektare lahan hangus terbakar.

Pengadilan Negeri Rengat sebut bahwa pihak PT tidak melakukan upaya pemadaman api dengan sungguh-sungguh. Padahal, secara Hak Guna Usaha, mereka bertanggung jawab dalam melakukan pemadaman.

Mengulik soal putusan kasasi MA, Walhi hadirkan empat orang untuk mengisi bincang-bincang mengenai Karhutla. Pertama ada Jefri Sianturi sebagai Koordinator Umum Senarai. Ia adalah orang yang mengikuti jalannya persidangan PT GH. 

Jefri paparkan hasil putusan Pengadilan Tinggi yang menyatakan PT GH tidak bersalah. Alasannya, area tersebut dikuasai oleh masyarakat. Tambah lagi, sebelum terjadi kebakaran sudah dibangun parit pemisah antara lahan penguasaan masyarakat dan perusahaan. Timpang dengan Pengadilan Negeri Rengat yang vonis bersalah PT tersebut.

“Pengadilan Negeri Rengat menyatakan PT GH bersalah membakar 580 hektare lahan,” ujar Jefri.

Selain itu, kata Jefri, PN sampaikan bahwa PT GH tidak menawarkan solusi ke masyarakat. Seperti tawaran ganti rugi lahan atau pola kemitraan. 

Terlepas dari pro dan kontra, dampak yang ditimbulkan akibat Karhutla menyebabkan Gubernur Riau umumkan Riau status darurat pencemaran udara 2019 silam. Tak hanya itu, didapati sebanyak 300 ribu warga Riau menderita infeksi saluran pernapasan akut serta tiga orang meninggal dunia.  

Beralih ke pemateri selanjutnya. Ada Okto Setyo dari Jikalahari. Ia menyampaikan kaitan hasil eksaminasi publik terkait surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk 15 perusahaan Karhutla tahun 2015. Ia jelaskan bahwa area yang terbakar merupakan area sengketa dalam kuasa masyarakat dan telah ditanami kelapa sawit. 

Hasilnya, terungkap bahwasannya terdapat beberapa kelemahan saat keluarnya SP3 15 perusahaan. Seperti ahli yang dihadirkan tidak berkompeten dan kelengkapan sarana dan prasarana pemadaman milik perusahaan tidak memadai. Bahkan beberapa perusahaan tidak memiliki kelengkapan legal untuk aktivitas di lahan tersebut. 

Kemudian, untuk menyampaikan investigasi pasca cabut izin pemerintah, Walhi libatkan Umi Ma’rufah selaku Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan Walhi sebagai pembicara. 

Umi ungkapkan PT GH telah melakukan beberapa pelanggaran. Yaitu kebakaran di wilayah HGU PT GH, indikasi menanam dilahan gambut fungsi lindung dan di sungai yang seharusnya dilindungi. Terakhir menanam di kawasan hutan dan HGU.

Tambah lagi pelbagai masalah kasus PT GH. Seperti kepemilikan lahan oleh masyarakat, baru ada setelah terjadi kebakaran. Lalu, evaluasi pemerintah terhadap surat keterangan pelepasan kawasan hutan PT GH tidak jelas. Terakhir, tertutupnya proses pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan. 

“Sehingga masyarakat sipil tidak memiliki ruang untuk melakukan pengawasan,” jelas Umi. 

Terakhir ada Difa Shafira, peneliti Indonesian Center for Environmental Law. Bagiannya menjelaskan tentang penerapan KKMA 134/2011 jo, sertifikasi hakim lingkungan hidup berdasarkan KKMA 36/2015 serta KKMA 36/2013 tentang  pemberlakuan pedoman penanganan perkara lingkungan hidup.

Ia jelaskan bahwa pedoman penanganan perkara lingkungan hidup dapat membantu para hakim dalam melaksanakan tugasnya. Yakni memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup. Memberikan informasi terkini bagi hakim dalam memahami permasalahan lingkungan hidup serta melengkapi hukum acara perdata. 

Lanjutnya, guna sertifikasi hakim lingkungan adalah untuk memastikan bahwa hakim yang mengadili perkara lingkungan memiliki kompetensi untuk merespon kompleksitas perkara lingkungan. 

Permasalahannya, secara administratif, perkara lingkungan hidup tidak didaftarkan atau dikategorikan sesuai di pengadilan. Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Lingkungan hidup tidak memiliki sertifikat lingkungan.

“Belum ada yang mengatur konsekuensi apabila  perkara lingkungan hidup tidak diadili oleh hakim bersetifikat. Perlu catatan di MA dan bahan evaluasi sistem,” tutup Difa.

Penulis: Arthania Sinurat

Editor: Karunia putri