Dosen nonaktif Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (UNRI), SH layangkan laporan pengaduan tindak pidana pencemaran nama baik dan atau penyebaran berita bohong dan atau perbuatan tidak menyenangkan kepada Kepolisian Resor Kota (Polresta) Pekanbaru. Untuk menyelidiki kasus tersebut, Mahasiswa UNRI inisial RMNS dipanggil sebagai saksi pada Rabu (1/2).

Pengaduan tersebut berdasar pada kejadian 11 Agustus tahun lalu di FISIP. Dalam rangkaian Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru itu, terjadi aksi yang menuntut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud – Ristek) agar memenuhi janjinya. Memberikan  sanksi kepada pelaku kekerasan seksual berdasarkan hasil investigasi Kemendikbud – Ristek.

Saat itu, RMNS tengah menjabat sebagai Wakil Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP. Ia saat itu memimpin jalan aksi tersebut.

Mahasiswa itu dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan pada Jumat (3/2). Hanya saja, belum terpenuhi sebab ada beberapa keanehan dari surat yang diterima. Seperti namanya yang tidak ditulis dengan benar.

Selain itu, pengirim surat tersebut adalah pengacara dari pihak pelapor, Ronald Reagen. Pun diterima dalam bentuk foto yang dikirim melalui Whatsapp. Ia heran, mengapa bukan penyidik atau pihak kepolisisan yang memberikan langsung kepadanya.

Ronald juga sempat menanyakan alamat RMNS. Namun Ia tidak memberikannya. Ia katakan bahwa jika pihak Polresta telah mengonfirmasi surat tersebut, barulah ia akan mengirimkan alamatnya.

“Maksudnya, yang menghubungi saya loh kok pengacaranya? Nah, di situ saya telah membaca keanehan,” kata RMNS.

Sehari setelah surat tersebut diterimanya dari pengacara pelapor, ia kembali menerima surat serupa. Namun dikirim ke Jurusan Hubungan Internasional. RMNS sendiri katakan tidak pernah menginginkan bahwa surat tersebut dikirimkan ke jurusannya.

“Kan lumayan aneh,” ucapnya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Andi Wijaya mengatakan akan mendampingi dan mengawal kasus ini. Fokus utamanya adalah mencari tahu peristiwa laporan tersebut benar adanya atau tidak serta terlapor kejadian. Sementara itu, untuk saat ini status RMNS adalah saksi.

“Peristiwanya juga belum terang, berita bohong mana yang dimaksud?” jelas Andi.

Tambah Andi, karena ini masih proses selidik, maka kasus ini belum mengetahui apakah peristiwa ini termasuk pidana atau tidak.

Sementara itu, keanehan terhadap surat panggilan membuat RMNS mengirimkan surat balasan kepada Polresta Kota Pekanbaru. Tujuannya agar langsung menghubunginya dan menyatakan ada beberapa kesalahan dalam penulisan namanya. Juga RMNS cantumkan jadwal kapan ia akan memenuhi panggilan tersebut.

Penuhi Panggilan

Selang beberapa hari, RMNS bersama LBH Pekanbaru pun mendatangi Polresta Pekanbaru untuk memenuhi panggilan sebagai saksi, Selasa (7/2).

Dilansir dari lbhpekanbaru.or.id, aksi 11 Agustus 2022 lalu yang jadi objek laporan, menurut RMNS merupakan hal yang biasa bagi mahasiswa dan organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP. Terlebih kegiatan dilakukan untuk menuntut janji Kemendikbud – Ristek dalam penuntasan kasus kekerasan seksual.

Dalam Undang-Undang Dasar Pasal 28 E ayat (3) “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”, kemudian pada pasal 1 ayat 1 UU Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum menyatakan “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” yang berlaku.

Hal ini juga diperkuat dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 23 ayat 2 “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”

Noval Setiawan, Kepala Operasi LBH Pekanbaru turut katakan bahwa pengaduan ini menjadi bentuk pengingkaran dan ancaman besar terhadap kebebasan berpendapat di kampus.

“Apa yang disampaikan teman-teman mahasiswa ini adalah bentuk ekspresi menyatakan pendapat sekaligus bentuk kritik dan kontrol mahasiswa untuk melawan kekerasan seksual yang terjadi di kampus,” tutup Noval.

 

Penulis: Karunia Putri

Editor: Denisa Nur Aulia