Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Riau (DPM UNRI) taja diskusi legislatif bertajuk Kuota 30 Persen Perempuan di Legislatif dalam Pesta Demokrasi 2024. Diskusi dilaksanakan di Gedung Sutan Balia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Senin (27/2).
Diskusi legislatif ini bersempena dengan upacara pelantikan pengurus dan tenaga ahli DPM Universitas Riau periode 2022/2023.
Di Indonesia, peraturan tentang sistem affirmative action atau afirmasi aksi ada dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017. Dijelaskan bahwa, daftar calon harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Namun, pada periode 2019-2024 per-Januari 2021 hanya terdapat 123 jumlah perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sekitar 21,39 persen, tak sampai dari minimum yang ditetapkan.
Wakil Dekan II Fakultas Hukum, Dessy Artina menjelaskan bahwa kuota 30 persen tersebut merupakan tindakan khusus sementara dalam bentuk afirmasi aksi [diskriminasi positif]. Yaitu kesetaran kelompok atau golongan tertentu untuk memperoleh peluang yang sama dengan yang lain.
Lanjut Dessy, 30 persen hanya sebagai kuantitas saja. Dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas perempuan.
“Jika perempuan berkualitas maka angka kesenjangan akan menurun,” jelasnya.
Wakil Ketua Komisi V DPRD Provinsi Riau, Karmila Sari sampaikan pandangannya. Ia menyebutkan bahwa jika tidak memenuhi kuota 30 persen, maka secara otomatis partai itu akan didiskualifikasi dan tidak boleh ikut pemilu.
Karmila ungkap alasan kuota 30 persen tidak terpenuhi. Seperti kurangnya pengkaderan dari partai politik. Lalu, ada diskriminasi bahwa perempuan tidak mampu berpikir, rasional, dan lemah. Serta, laki-laki harus lebih tinggi dari perempuan atau sebaliknya perempuan harus lebih tinggi dari laki-laki.
“Prinsipnya laki-laki dan perempuan itu adalah mitra. Bukan bermusuhan,” ujarnya.
Karmila mengungkapkan tantangan calon legislatif perempuan di lapangan. Mulai dari butuh biaya yang banyak dan juga mempertanyakan seberapa besar perempuan mendukung perempuan.
“Kalau perempuan ingin bisa naik kelas, derajat kita bisa dimuliakan. Mulailah dengan perempuan dukung perempuan,” tuturnya.
Yulisman, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau berpendapat jika perempuan konsisten mendukung kaumnya, maka dipastikan hampir seluruh anggota legislatif itu perempuan. Karena dari data statistik kaum perempuan lebih banyak dari pada kaum laki-laki.
“Bukan hanya konsistensi tapi juga kesadaran dan kepahaman mengenai politik dan kekuasaan,” kata Yulisman.
Arsyadjuliandi, Anggota Komisi II DPR RI menyampaikan dari pihaknya sangat mendukung 30 persen keterwakilan perempuan dalam legislatif. Dengan berbagai strategi, partainya akan mempersiapkan untuk merekrut perempuan sebanyak mungkin dan juga mempersiapkan kader perempuan.
“Kalau Ananda ingin masa depannya jadi politikus dari sekarang ini mulai gabung dengan partai, jika ia punya potensi namun kekurangan finansial kami akan mendukung mereka. Tentunya dengan berbagai penilaian,” jelasnya.
Tak ketinggalan, Juprizal selaku Direktur PT Samudra Siak sampaikan jangan pernah alergi dengan politik. Menghasilkan kepemimpinan, anggota legislatif, presiden, pemangku kebijakan, dimulai dari partai politik. Intinya harus jujur dan juga punya tujuan.
“Di politik kita harus berbeda, kalau kita sama kita gak akan berdiskusi,” tutupnya.
Penulis: Arthania Sinurat
Editor: Karunia Putri