Beberapa saat terakhir perbincangan publik perihal penyelenggaraan pemilihan umum atau Pemilu terfokus pada polemik pro-kontra sistem Pemilu untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR dan DPRD) pada 2024. Apakah tetap menggunakan daftar terbuka atau berubah menjadi proporsional tertutup. Semua kalangan termasuk dari penyelenggara Pemilu, bahkan partai politik yang notabene peserta Pemilu memberikan pandangan. Kebanyakan memang tidak setuju untuk berubah atau tetap menggunakan daftar terbuka.
Memang terlalu mudah untuk dapat disimpulkan, keinginan publik “setidaknya” untuk Pemilu 2024 tetap menghendaki penggunaan sistem proporsional terbuka seperti yang sudah dilakukan pada 4 Pemilu terakhir. Namun polemik tetaplah polemik, selalu saja ada hal yang menarik untuk diperbincangkan.
Sederhananya proporsional tertutup itu merupakan sistem Pemilu dengan hanya memilih partai politik, persoalan siapa yang akan duduk di DPR maupun DPRD itu mutlak menjadi kewenangan partai dengan menugaskan kader terbaik sesuai dengan perolehan suara yang didapat. Pernah dilakukan pada 8 Pemilu awal di Republik Indonesia, Pemilu 1999 adalah terakhir kali penggunaannya. Proporsional tertutup sama saja seperti memilih kucing dalam karung, seperti itu komentar orang-orang yang menentang sistem ini.
Proporsional terbuka kita juga sudah tahu dan pernah merasakan, sistem ini memberikan kewenangan kepada pemilih untuk memilih secara langsung kader partai yang dicalonkan. Pada Pemilu 2004 urutan calon menentukan perolehan suara. Maka calon teratas lebih diuntungkan, namanya sistem proporsional terbuka terbatas.
Menjelang Pemilu 2009 aturan ini digugat lalu dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga pada 2009, 2014 dan Pemilu 2019 proporsional terbuka sepenuhnya diterapkan. Urutan calon sudah tidak lagi menentukan. Hingga saat ini, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum masih menjadi dasar hukum dengan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka seperti Pemilu 2019.
Namun, aturan ini digugat ke MK oleh enam orang pemohon untuk dilakukan uji materi (judicial review). Alasan digugat juga cukup logis, menurut mereka sistem ini bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Untuk tujuannya kita juga sudah tahu, pada Pemilu 2024 pemilih cukup memilih partai, soal siapa yang akan didudukkan itu tergantung partai (proporsional tertutup).
Meskipun Pasal 22E ayat 3 UUD 1945 memang mengamanahkan peserta Pemilu DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten itu adalah Partai Politik. Namun dengan budaya dan kondisi politik saat ini jujur saja kita belum bisa menyerahkan sepenuhnya figur yang duduk sebagai anggota DPR maupun DPRD kepada partai politik sesuai sistem proporsional tertutup. Tetapi juga tidak mustahil jika proporsional tertutup bakal digunakan kembali suatu saat nanti, yang terpenting semua partai politik mesti berbenah.
Paling utama adalah jenjang pengaderan partai harus jelas dan terstruktur. Jika partai komitmen dengan ini, tentu bakal mudah menentukan kader partai mana yang bakal ditempatkan di legislatif kabupaten, provinsi hingga pusat, berdasarkan jenjang pengaderan yang dilalui masing-masing anggota partai. Tak ada lagi kader dadakan yang mengandalkan ketenaran dan punya modal namun tidak jelas tingkatan pengaderan yang pernah diikuti.
Kemudian kompetensi kader partai yang ingin menjadi anggota parlemen juga harus diseleksi secara transparan, lakukan berbagai tes untuk menguji gagasan dan kapabilitas para kader, adakan Computer Asissted Test dengan nilai transparan misalnya. Boleh juga partai harus komitmen terlebih dahulu untuk melakukan asesmen terbuka bagi para kader memenuhi kualifikasi tertentu untuk menentukan orang-orang yang akan ditugaskan sesuai perolehan kursi hasil Pemilu.
Serta tidak kalah penting adalah ideologi partai politik di Republik ini harus jelas dan konsisten. Dari dulu hingga sekarang kita memang sulit untuk menebak haluan partai-partai di Indonesia, mana yang kiri dan mana yang berhaluan kanan. Apalagi untuk menentukan partai yang berhaluan kiri, kiri tengah, kanan, dan kanan tengah tentu semakin rumit. Kekonsistenan ideologi dan haluan kebijakan partai juga bakal memberikan impact positif dengan terbentuknya kultur pemilih.
Jika partai-partai sudah konsisten, pemilih yang menginginkan kebijakan progresif dari kondisi terkini tidak akan ragu memilih partai berhaluan kiri karena partai sudah punya jenjang pengaderan yang tersistem serta ideologi yang tidak lagi abu-abu. Begitu pula sebaliknya pagi pemilih yang memiliki ketertarikan pada partai konservatif tentu bakal memilih partai haluan kanan karena sudah pasti kader-kader partai itu sudah dikaderkan dengan pemahaman konservatif.
Tentu saja itu semua merupakan kondisi ideal, di Indonesia harus kita akui masih jauh dari kondisi demikian. Intinya partai mesti berbenah dan komitmen penuh ke gambaran ideal ini jika memang menginginkan sistem Pemilu kita kembali ke proporsional tertutup. Untuk 2024 kita tetap sesuai UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 pasal 168 ayat 2, sama persis dengan sistem pemilihan pada 2019. Sangat kecil kemungkinan bakal berubah, pun tahapan Pemilu juga telah berjalan hampir 10 bulan. Lagipula Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 sebagai dasar tahapan pencalonan legislatif juga telah diterbitkan, partai juga telah siap dengan deretan calon yang bakal didaftarkan pada bulan Mei (1-14 Mei). Baik Undang-undang maupun PKPU terbaru telah mengatur sistem pemilihan yang dianggap “paling pantas” untuk saat ini, yaitu proporsional terbuka.
Penulis: Refaldo Asta (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNRI)
*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com