Kehidupan mahasiswa terus mengalami kedinamisan seiring dengan perkembangan zaman yang sangat pesat. Perkembangan zaman ini tentu sangat berpengaruh terhadap perubahan idealisme mahasiswa. Dimana, perubahan menuju ke arah yang lebih apatisme, pragmatisme, hedonisme dan sejenisnya. Pun orientasi mahasiswa saat ini yang menjadi suksesi para kapitalis dan kesuksesan pribadi, tanpa memperdulikan kehidupan orang lain.
Pada era reformasi, kesuksesan mahasiswa dan kaum buruh dalam merebut demokrasi dengan melengserkan Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia, memberikan semangat kepada mahasiswa dalam pergerakan dan perjuangan kepada kaum kaum yang tertindas. Hal itu menjadi modal besar bagi para aktivis-aktivis untuk melakukan kaderisasi pergerakan mahasiswa. Namun beranjak dari era reformasi, mahasiswa mengalami penurunan idealisme terhadap pergerakan tersebut. Banyak mahasiswa lebih ke arah pragmatis dan selalu bertindak apatis terhadap lingkungan sekitarnya.
Organisasi mahasiswa (Ormawa) kampus telah mengalami kehilangan eksistensinya. Terlihat dari menurunnya minat mahasiswa dalam mengikuti kegiatan Ormawa, yang disebabkan oleh beragam faktor. Misalnya, masalah internal dari organisasi, pola pikir yang pragmatis, bahkan menjadi mahasiswa yang apatis dan lebih mengurungkan diri sebagai penonton saja. Sehingga nantinya akan mengakibatkan kebuntuan dalam mendalami cakrawala berfikir dari mahasiswa tersebut.
Efek dari kedatangan pragmatisme, hedonisme, modernisme dan apatisme pun dapat dipengaruhi oleh lingkungan civitas kampus. Seperti, yang terlalu menekan dan membatasi organisasi ekstra kampus dalam melakukan sosialisasi dan pengkaderan. Sebabnya, organisasi ekstra kampus selalu dianggap organisasi yang pekerjaannya melakukan demonstrasi di jalan. Juga, pemikiran civitas kampus yang sampai saat ini masih melarang organisasi eksternal untuk masuk dan bersosialisasi melakukan pengkaderan.
Keberadaan ormawa direnggut dan diperburuk oleh mahasiswa itu sendiri. Kata-kata yang selalu digaungkan mahasiswa adalah agent of change, moral force, social control, dan iron shock seharusnya mampu diterapkan dalam kehidupan bukan hanya kalimat semata.
Nyatanya saat ini mahasiswa tidak mampu menjadi agent of change dan social control. Terlihat dari organisasi yang hanya berfokus kepada program kerja turun temurun yang tidak memiliki inovasi baru dan esensi yang jelas. Juga melakukan pembatasan berfikir dan doktrin kolot dengan kalimat, ‘Kekeluargaan dan Rumah Kita’ atau ‘Jaman Abang dulu Dekk’. Ditambah pembatasan ruang kepada mahasiswa yang tergabung dalam organisasi eksternal kampus.
Polemik yang kerap terjadi adalah mahasiswa hanya terfokus dengan akademik dan menganggap bahwa organisasi itu menghambat nilai dan proses akademik. Kini mahasiswa telah kehilangan pola pikir nasionalis yang telah ditanamkan oleh aktivis pendahulu dalam memperjuangkan rakyat dan demokrasi bangsa ini. Sehingga timbul pemikiran buruk mahasiswa bahwa organisasi khususnya organisasi eksternal kampus itu adalah alat politik yang kerjanya melakukan demonstrasi di jalan.
Kecacatan berfikir ini telah menyebar luas di kalangan mahasiswa dan mengakibatkan hilangnya minat mahasiswa dalam berorganisasi. Dunia Ormawa saat ini juga dihantui oleh pola pikir yang sangat pragmatis, berproses di bidang yang terlalu simpel dan tidak berani berkontestasi dalam jabatan.
Tak hanya itu, banyak mahasiswa yang berorganisasi karena terjebak dan terkesan ikut-ikutan. Untuk menghabiskan waktu luang tanpa memiliki kepentingan dan goals dari apa yang diikuti. Hal ini tentu membuat Ormawa mengalami penurunan performa dan tidak memiliki nilai jual yang lebih. Pun jadi salah satu faktor yang membuat mahasiswa tidak mau bergabung dalam organisasi tersebut.
Dalam pengkaderan organisasi intra kampus juga mengalami permasalahan dan pembatasan berfikir. Banyak pemimpin internal kampus membatasi ruang gerak kadernya untuk terjun ke organisasi lain, khususnya organisasi Cipayung Plus yaitu GMKI, HMI, PMII, IMM, PMKRI, GMNI, dan KAMMI. Pembatasan ruang bagi mahasiswa untuk berorganisasi dilakukan karena pengurus organisasi internal menganggap bahwa organisasinya adalah organisasi yang independen.
Pengurus organisasi internal kerap berfikir bahwa Cipayung Plus adalah organisasi politik yang terafiliasi dengan partai politik. Tanpa sadar mereka juga sedang melakukan politik kepada kadernya. Doktrin politis itu membuat kapitalisme dalam organisasi internal kampus, terutama di tingkat jurusan. Paradigma itu sering terjadi ketika mahasiswa berproses dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan. Hal ini sangat mudah diserap oleh mahasiswa karena menjadi pelabuhan pertama bagi mahasiswa dalam berorganisasi.
Yang kita tahu kampus merupakan wadah pertaruhan ideologi-ideologi sehingga muncul gerakan politik dari mahasiswa. Kampus merupakan ruang publik untuk segala pemikiran-pemikiran dan ilmu yang semakin berkembang. Hal ini membuat organisasi mahasiswa telah kehilangan idealismenya sehingga mahasiswa dan tanggung jawabnya juga sebagai agent of change dan social control.
Harapan penulis, dalam menyikapi zaman saat ini mahasiswa harus mampu keluar dari zona nyaman. Mahasiswa yang menjadi kaum intelektual bukan hanya memiliki tanggung jawab sebagai implementasi dari jurusan yang dianutnya, tetapi juga harus bisa menjadi agen perubahan dan kontrol sosial bagi pemerintah, serta memperjuangkan hak-hak rakyat. Dalam hal ini Penulis menggunakan opini pribadi yang penulis alami dalam berorganisasi serta analisis dari berbagai fenomena yang terjadi di dunia organisasi mahasiswa.
Penulis: Agustiadi (Ketua GMKI Komisariat Fisip Unri Cabang Pekanbaru, Komisi B BLM Fisip Unri)
*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com