“Era Jokowi saat ini diklasifikasikan berwarna merah. Artinya kebebasan sipil di Indonesia sangat terpuruk,” ucap Wakil Koordinator Bidang Advokasi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS Tiora Pretty Stephanie dalam diskusi pelatihan komunitas lokal.
Tim KontraS sepakat mengambil tajuk Mengaktivasi Perjuangan HAM di Tengah Degradasi Demokrasi dan Kebebasan Sipil untuk pelatihan selama dua hari yang mulai mereka adakan pada Senin (8/5).
Tiora menyebut faktor yang menyebabkan turunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia adalah ulah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebab dapat mengkriminalisasi masyarakat dan meningkatkan ancaman terhadap kebebasan akademik dalam kampus. Juga kekerasan dan intimidasi terhadap kelompok minoritas serta pembatasan berekspresi terhadap orang Irian Barat.
“Aspirasi sudah tidak nyampe ke legislatif. Hal ini dapat terlihat banyaknya Undang-Undang yang tidak partisipatif dan korupsi yang semakin tinggi,” ujarnya.
Hal ini diperkuat dengan adanya kebijakan Indeks Demokrasi Indonesia 2019, The Economist Intelligence Unit 2020, serta Kebijakan Democracy Report pada 2021. Akibatnya, kebebasan sipil menjadi merosot.
Untuk menolak represi kebebasan sipil, Tiora paparkan tipsnya. Pertama cari akar penyebab dari represi dengan melakukan advokasi mitigasi. Kemudian lakukan investigasi atau advokasi internasional.
Lalu dapat menghubungi tangan-tangan publik yang peduli terhadap kebebasan sipil seperti KontraS. Pun penggunaan teknologi yang dapat diandalkan untuk advokasi agar menekan represi. Dengan tujuan tercapainya kebebasan sipil.
“Bisa juga menggunakan platform bersama agar dokumentasi bisa dijangkau secara luas,” tambahnya.
Muhammad Wildan dari Divisi Riset dan Dokumentasi jelaskan materi monitoring dan pendokumentasian. Ia sebut bahwa sumber data terbagi dua. Yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer yang berasal langsung dari korban, saksi ataupun keluarga. Kemudian data sekunder yang didapatkan melalui orang lain atau dokumen.
Mengenai monitoring dan pendokumentasian, mengklasifikasikan kasus atau perihal pendapat hukum menjadi tahapan utama. Langkah selanjutnya adalah mencari data yang dibutuhkan.
Kemudian mengatur hasil penelusuran. Fungsinya agar dikemudian hari para pengemban profesi hukum lebih mudah mencari data yang serupa.
Hari kedua, Helmy Hidayat Mahendra divisi riset dan dokumentasi sampaikan materi Holistic Approach atau mekanisme perlindungan bagi Pembela Hak Asasi Manusia pada Pelatihan Komunitas Lokal, Rabu (10/5).
“Sebagian besar orang tidak sadar bahwa mereka telah melakukan pembelaan terhadap HAM,” ucapnya.
Hidayat sebutkan ada tiga cara mengidentifikasi ancaman secara digital. Pertama ada Phising. Biasanya ancaman ini berbentuk spam pesan. Lalu ada Malware sejenis virus yang menyebabkan kerusakan serius pada sistem dan jaringan. Terakhir adalah Wifi public yang dianggap dapat mengancam penggunanya.
Melakukan pembaruan sistem secara berkata ternyata bisa meminimalisir ancaman secara digital. Ada lagi mengatur privasi dan keamanan menggunakan kata sandi yang berbeda pada tiap akun yang dimiliki.
“VPN aplikasi yang dapat digunakan untuk melindungi privasi saat online di internet,” ucap Hidayat memberi masukan agar menginstal aplikasi anti virus.
Beralih ke peserta, Widya dari Hutanriau mengajak para pemateri dan peserta lainnya untuk ikut membuat suatu wadah yang dapat diakses semua orang. Tujuannya mengumpulkan data terkait isu, identifikasi, dan resiko pelanggaran HAM.
Pengajakan pembuatan wadah ini tidak luput dari adanya usulan dari beberapa pihak. Berharap Riau, khususnya Pekanbaru, memiliki lembaga yang berfokus kepada segala jenis yang menyangkut dengan HAM.
Penulis : Nola Rahma, Arthania Sinurat
Editor : Karunia Putri