Catatan Pemikiran Munir: Penindasan dan Ketidakberdayaan Buruh

Buruh tidak semestinya hanya menjadi budak kebijakan. Sebaliknya, untuk meminimalisir dirinya agar tidak menjadi korban industrialisasi, mereka harus menjadi subjek menentukan nasibnya sendiri.

Politik perburuhan dan pembangunan struktur hukum mencapai bentuknya pada sekitar tahun 1986. Buruh dianggap sebagai bahan bakar pertumbuhan industrialisasi.

Di tahun 60-an dan awal masa Orde Baru, kebijakan perburuhan sempat melarang pemogokan. Lalu masa 80-an larangan mogok dihilangkan. Tapi, minim kemampuan buruh untuk berunding bahkan dilumpuhkan.

Dimulai dari kurangnya hak berorganisasi dengan proses penunggalan, sehingga ruang gerak buruh jadi sempit. Akibatnya lebih mudah buruh untuk dipecat.

Dengan keterbatasan buruh sebab peraturan-peraturan yang tidak memihak pada mereka. Pemaksaan pemenuhan kuota perusahaan sampai upah yang rendah.

Keadilan upah yang diterima buruh, menjadi sesuatu yang harus dipertanyakan. Idealnya upah merupakan hubungan yang manusiawi antara buruh dan modal. Keadaan ini menguntungkan perusahaan. Dimulai dari perusahaan kerja lembur menjadi hal lumrah, padahal bebas dari tekanan buruh sehingga upah mereka sangat kecil.

Perusahaan tidak memerlukan buruh terdidik dan terlatih dalam kerja lembur, tapi membutuhkan buruh yang bersedia bekerja, tidak progresif dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap upah atau buruh miskin.

Bahkan dengan upah ini mereka (buruh) harus membayar uang ‘siluman’ kepada perusahaan ataupun kepada pihak pemerintah yang serakah.

Terkait nasib upah buruh yang rendah, di dalam buku ini menawarkan dua solusi. Pertama, memaksimalkan peranan serikat buruh dalam proses tawar-menawar mengenai upah.

Apabila serikat buruh tidak dapat melaksanakannya, dapat menggunakan institusi hukum atau ancaman pidana teruntuk pelanggar.

Kenyataannya, serikat buruh tidak dapat menjadi tameng bagi buruh yang tertindas. Penyebab utamanya ialah deklinasi kemandirian serikat di tahun 80-an.

Kemandirian ini semakin terkikis karena peraturan pemerintahan yang terlalu ikut campur dalam organisasi internal serikat.

Organisasi hanya menjadi bagian terkecil dari kebijakan nasional tentang politik perburuhan. Serikat buruh hanya sebagai tempat rapat kerja semata. Lebih parahnya, serikat buruh yang seharusnya jadi kepentingan banyak pihak malah diperuntukkan bagi golongan tertentu.

Dalam penulisan buku ini, saya sangat menyukai bagaimana penulis memberikan contoh pada Gerakan buruh yang ada di negara lain. Selain memberikan pandangan mengenai perbedaan dari pelbagai negara. Juga mengedukasi manusia.

Pemberian data dan perbandingan peraturan mengenai buruh sangat banyak didapati pada buku ini. Tetapi teruntuk beberapa peraturan telah tidak dapat dipakai lagi, karena telah adanya peraturan yang lebih terbaru.

Selain itu, pada beberapa kejadian yang dituliskan tidak disertai tahunnya, membuat kejadian tersebut tidak dapat ditelusuri lebih lanjut.

Sebagai sosok terdepan dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, selama hidupnya Munir banyak mengurus kasus-kasus hilangnya aktivis. Munir juga mendirikan organisasi penegakan HAM, yakni KontraS dan Imparsial.

 

Judul buku : Gerakan Perlawanan Buruh Munir

Penulis: Munir

Penerbit/Tahun: Intrans Publishing/2014

Halaman: 147 halaman

 

Penulis: Afrila Yobi

Editor: Najha Nabilla