Dalam Bayang Diskriminasi: Kisah Mahasiswa Bukan Islam Cari Hunian

Tindak diskriminatif mengakibatkan beberapa mahasiswa bukan beragama Islam kesulitan menyewa tempat tinggal. Pemilik hunian menolak mereka dengan berbagai alasan terkait agama. Mereka kecewa, sedih, kebingungan dan lelah. Mereka tak bisa apa-apa, selain terpaksa ke sana kemari bersusah payah mencari indekos dan kontrakan.

Pada 19 Juni 2023, sebuah formulir Dalam Jaringan (Daring) disebarkan kepada seluruh mahasiswa Universitas Riau melalui media sosial. Khususnya WhatsApp dan Instagram. Satu bulan berselang, diperoleh data bahwa ada 7 mahasiswa yang alami diskriminasi dari 15 yang mengisi formulir tersebut. Kejadiannya pun beragam. Dalam rentang waktu mulai dari 2015 hingga tahun 2023.

Satu di antaranya ialah Amar [bukan nama sebenarnya], mahasiswa Fakultas Hukum. Pada tahun 2015, ia terpaksa meninggalkan kamar indekos yang sempat ia huni beberapa jam.

“Wah, Pekanbaru konservatif seperti ini ya,” ucapnya sembari mengingat kejadian tak mengenakkan tersebut.

Saat itu Amar masih berstatus mahasiswa baru. Mengingat ini kali pertamanya merantau, ayahnya pun berinisiatif untuk mengantarkan langsung ke Bumi Lancang Kuning.

Pukul tiga sore, angkutan umum yang mereka gunakan dari Bandara Sultan Syarif Qasim II berhenti. Tepat di depan kampus Gobah UNRI. Amar pun segera berkeliling bersama ayahnya untuk mencari indekos terdekat dari kampus.

“Bawa koper dua. Besar. Ditenteng.”

Beberapa waktu berselang, tibalah mereka di depan gedung dua lantai. Dengan palang bertuliskan kos untuk laki-laki. Amar merasa bersemangat sore itu. Apalagi ia memperoleh indekos dengan fasilitas lengkap. Lokasinya pun strategis dengan harga yang terjangkau baginya. Di sana, Amar disambut dengan baik oleh pemilik kos. Bahkan diizinkan untuk memilih kamar mana yang ia sukai.

Masih banyak kamar yang kosong saat itu. Amar memilih tingkat kedua untuk jadi tempat tinggalnya selama beberapa tahun ke depan. Setelah peroleh kunci, segera ia mengatur barang-barangnya. Juga membersihkan ruangan tersebut agar dapat segera beristirahat.

Ketika menyapu, seorang wanita menghampiri kamar tersebut. Adalah Wisa [bukan nama sebenarnya], anak pemilik kos. Percakapan berlangsung cukup lama antara mereka. Amar dan ayahnya banyak ditanyakan mengenai daerah asal mereka.

“Maaf Pak. Ini mohon maaf mau nanya. Orang bapak ini agamanya apa ya?” kata Amar menirukan pertanyaan Wisa sore itu. Tanpa berpikir panjang, Amar menjawab dengan jujur bahwa dirinya beragama Kristen.

Seketika, suasana berubah.

“Maaf Pak. Ini kos-kosan buat yang Islam,” ucap Amar, menceritakan kembali respon Wisa sore itu.

Mengingat waktu telah menunjukkan hampir jam enam sore, Ayah Amar memohon pada Wisa. Setidaknya agar mereka diizinkan untuk menginap meski hanya satu hari. Nahas, permintaan itu ditolak orang tua Wisa selaku pemilik kos.

“Kalau seandainya dari awal nanyain agama, mungkin kita tidak terlalu berat hati,” keluh Amar.

Selain Amar, kejadian serupa dialami Erika [bukan nama sebenarnya] pula. Pada tahun 2022, ia menyewa kamar indekos melalui temannya. Erika menceritakan bahwa tak ada syarat agama pada kos tersebut. Pemilik pun telah menyetujui kehadirannya hari itu.

Namun di tengah persiapan pemindahan barang, teman Erika dihubungi oleh pemilik kos. Tujuannya tak lain ialah menanyakan agama. Kesepakatan pun diubah secara sepihak.

“Setelah dia tahu agama saya, secara sepihak membatalkan kesepakatan awal. Katanya sih karena kosan itu hanya punya satu dapur umum. So, mereka parno aku bawa atau masak daging babi,” tulisnya.

Lain halnya dengan Nesa dan Kila [bukan nama sebenarnya]. Baru saja mereka tiba, pertanyaan seputar agama langsung dilontarkan pada mereka. Menurut mereka, tak gunakan hijab jadi faktor utamanya.

Tak hanya indekos. Diskriminasi juga terjadi di kontrakan. Sanda [bukan nama sebenarnya] beserta teman-temannya menjadi korban dalam hal ini. Pada tahun 2021, mereka berniat untuk tinggal bersama. Usai berkeliling, diperoleh kontrakan yang sesuai dengan keinginan mereka, khususnya dari segi harga. Namun, kesepakatan berubah usai pemilik kontrakan mengetahui bahwa mereka umat Nasrani. Hari itu, pemilik kontrakan tiba-tiba menceritakan kekurangan rumah tersebut, yang sebelumnya tidak pernah ia ceritakan.

“Seakan menunjukkan beliau menolak kami untuk tinggal di rumah tersebut,” tulisnya dalam formulir.

Sentimen agama dalam bisnis tempat tinggal terjadi bukan tanpa alasan. Berkaca dari indekos milik tetangganya, Suci memutuskan untuk menolak yang bukan beragama Islam sebagai penyewa. Meskipun tak ada palang penanda khusus Muslimah pada dua indekos putri miliknya. Menurutnya, mahasiswa bukan beragama Islam kerap membuat keributan. Mulai dari menyanyi, hingga mengadakan persekutuan doa di kamar.

“Dari awal kami tidak pernah menerima yang bukan Islam. Soalnya di sebelah kan udah ada contohnya. Kita yang diutamakan nyaman,” jelasnya.

Langgar Hak Asasi Manusia

Timothy Amien, Gembala Sidang Gereja Bethel Indonesia atau GBI Api Pemulihan menyayangkan isu ini. Menurutnya, jika ditinjau dari segi hukum, hal ini temasuk dalam pelanggaran Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia. Pula pelanggaran terhadap Sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Sebenarnya tidak perlu terjadi. Sebenarnya pembuatan peraturan itu kan agar tidak terjadi diskriminasi lagi,” tegasnya.

Timothy berargumen bahwa pola pikir jadi salah satu faktor masih kentalnya sentimen agama di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada sinergi dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari infrastruktur maupun suprastruktur negara. Khususnya dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya toleransi.

“Artinya harus disertai dengan pemahaman,” pungkasnya.

Hal ini sejalan pula dengan pendapat Andi Wijaya Saputra. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru tersebut menyampaikan bahwa diskriminasi ini termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun pemilik tempat tinggal berhak untuk memilih penyewa properti miliknya.

“Setiap orang tidak boleh mendapatkan diskriminasi dalam bentuk apapun, termasuk ras, agama dan keyakinannya,” tegasnya.

Andi menambahkan dari segi hukum isu ini memanglah tidak dilarang. Pasalnya isu ini berkaitan dengan hubungan perjanjian kesepakatan.

“Tapi kalau misalnya dia melakukan pengusiran paksa, kemudian melakukan persekusi dan hingga melakukan kekerasan, itu udah melanggar hukum dan melanggar tindak pidana,” tambahnya.

Andi juga jelaskan bahwa keberadaan isu ini menandakan tidak adanya penghormatan terhadap HAM. Bahkan, sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya kebanyakan warga negara hukum tidak memahami konteks HAM secara utuh.

“Kita sebagai warga negara harus menghormati [HAM]. Jadi, jatuhnya itu tidak melakukan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia,” jelasnya.

Selama berkecimpung di bidang hukum, Andi mengaku belum pernah terima laporan terkait diskriminasi tempat tinggal dengan dalil sentimen agama di kalangan mahasiswa.

***

Penulis: Marchel Angelina

Produksi ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.