Di sela-sela waktu istirahat saat pelatihan di Jakarta, jari-jari Rina [bukan nama sebenarnya] berselancar menjelajahi media sosial pada ponselnya. Aktivis Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Riau itu tersentak melihat sebuah postingan di beranda Instagram.  Kabar tentang seorang penerima manfaat OPSI di Pekanbaru yang salonnya dibubarkan warga karena dugaan LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transekseual dan Queer). Warga memaksa agar salon itu dikosongkan.

Rasa khawatir dan cemas melanda Rina setiap mendengar kabar penyerangan seperti itu, apalagi ia sedang berada di luar kota. Rina adalah penanggung jawab sementara OPSI Riau yang saat itu sedang menjalani Pelatihan  Advokasi tentang Anti Diskriminasi Terhadap Kelompok Rentan.

Berita buruk bagi Rina tidak berhenti di situ. Di hari yang sama, Rina menerima telpon dari Bimby [bukan nama sebenarnya], seorang anggota OPSI yang berada di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil). Bimby menyampaikan kabar duka. Seorang transpuan di Rohil tewas dibunuh pelanggannya. Mendengar kabar itu, tatapan Rina menjadi kosong. Matanya berkaca-kaca. Napasnya pun terasa berat.

Korban saat itu sedang ‘mangkal’ atau mencari pelanggan. Namun ironis, saat menerima pelanggan, bukannya mendapatkan bayaran, korban justru kehilangan nyawanya. Seorang pelanggan memukuli dan menusuk korban hingga meninggal. Setelah membunuh, pelaku menyerahkan diri ke Polisi Sektor (Polsek).

Kasus kekerasan seringkali didapati oleh kelompok pekerja seks dan kelompok keberagaman gender dan seksualitas di Riau. Mereka seringkali tidak dibayar setelah memberikan jasa, bahkan menjadi korban kekerasan. Sebagai mantan pekerja seks, Rina kini aktif membantu para pekerja seks dan mantan pekerja seks. Ia telah bergabung di OPSI sejak 2017.

Di OPSI, Rina membantu pendampingan pada korban kekerasan dan diskriminasi untuk para pekerja seks dan mantan pekerja seks. Selain pendampingan, OPSI juga memberikan edukasi terkait seks yang sehat dan pencegahan serta penanganan penyakit menular seksual. Walaupun OPSI berfokus pada pekerja seks,  mereka juga terbuka untuk membantu masyarakat umum. Selain di OPSI, saat ini ia juga bergabung di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)  untuk memfasilitasi komunitas pekerja seks perempuan. Rina  mendata serta membawa para pekerja seks untuk memeriksa kesehatannya terutama perihal HIV/AIDS.

Hari-hari yang dialami Rina mendampingi pekerja seks dan kelompok keberagaman gender dan seksualitas kerap terasa berat. Namun Rina bersyukur, tiada penolakan dari keluarganya terhadap aktivismenya.  Meskipun keluarganya meminta Rina untuk tidak menunjukkan dirinya di ruang publik secara terang-terangan. Alasannya, adat Melayu tidak seterbuka itu untuk menerimanya.

Kekerasan Pada Kelompok Keberagaman Gender dan Seksualitas di Riau

Sejumlah kasus kekerasan kerap dialami kelompok ragam gender dan seksualitas di Riau. Pernah terjadi penggerebekan warga terhadap  acara penyuluhan HIV/AIDS yang padahal diadakan resmi bekerjasama dengan Dinas Kesehatan. Razia ke rumah-rumah kos dan kontrakan yang juga masih seringkali terjadi.

Ironisnya, tak hanya warga, aparat pemerintah juga kerap melakukan diskriminasi terhadap mereka.

Misalnya pada salah satu kasus yang ditangani Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru. Seorang pekerja seks bekerja melalui di akun media sosial Twitter dengan memasang fotonya. Polisi menangkapnya dengan menyamar sebagai pelanggan dan menjeratnya dengan pasal pornografi. Namun di ruang sidang, pelaku mendapatkan perkataan-perkataan diskriminatif dari pihak hakim yang mempermasalahkan orientasi seksualnya.  Padahal tidak ada kaitannya antara menjajakan diri di media sosial yang melanggar pasal pornografi, dengan orientasi seksual.

Selain aparat hukum, sebagian petugas layanan kesehatan di Riau juga masih kerap berlaku diskriminatif terhadap kelompok ragam gender dan seksualitas yang hendak mengakses fasilitas kesehatan, seperti yang dituturkan salah satu anggota OPSI, Bagas [bukan nama sebenarnya].

Ketika orang dengan identitas ragam gender dan seksualitas hendak mengakses fasilitas kesehatan, masih ada saja petugas kesehatan yang memperlakukan mereka secara tidak layak, dengan ucapan-ucapan misalnya, “Kenapa sih kamu jadi seperti ini? Kamu ini laki-laki loh, tidak boleh seperti ini,” ujar Bagas menirukan.

Padahal menurut Bagas, jika orang dengan ragam gender dan seksualitas masih memperdulikan kesehatan mereka, itu sudah sangat bagus. Karena bagi mereka, untuk datang ke fasilitas kesehatan dan memeriksakan diri mereka, perlu keberanian mengatasi rasa malu.

“Namun, di layanan kesehatan malah mendapatkan tindakan yang menyudutkan mereka,“ ujar Bagas.

Meskipun masih ada beberapa oknum yang masih lakukan diskriminasi seperti yang dikisahkan Bagas, bagi Rina kondisinya sudah relatif lebih baik dibandingkan 2-3 tahun lalu.

“Sebelumnya, untuk periksa kesehatan di Riau saja mesti di olok-olok dan diceramahi terlebih dahulu oleh petugas kesehatan. Bahkan, tidak jarang mereka menolak untuk memberikan layanan,” ujar Rina.

Menurut Rina ini juga merupakan kesuksesan semua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berhasil mengadvokasi tiap-tiap layanan di Riau.

Diskriminasi di Tahun Politik

Pada Januari lalu, Kepala Daerah Riau menyatakan akan memberi sanksi tegas bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki orientasi seksual bukan heteroseksual. LBH Pekanbaru mengecam pernyataan tersebut yang dinilai berpotensi menimbulkan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap orang dengan ragam gender dan seksualitas.  Apabila pemerintah melarang ragam gender dan seksualitas di lingkungan ASN, maka kemungkinan  kelompok masyarakat ini juga akan mengalami hambatan di lingkungan pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagiannya.

Jelang pemilu 2024, politik identitas masih terjadi, antara lain terlihat dari serangan terhadap identitas kelompok rentan. Para politisi Riau tenyata masih cenderung mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan kebijakan yang mendiskriminasi kelompok tertentu. Menurut Andi Wijaya, Direktur LBH Pekanbaru, hal tersebut terjadi karena isu ragam gender dan seksualitas masih sensitif sehingga mudah menyedot perhatian publik dengan biaya yang minimum.

“Politisi dapat mendulang suara yang besar dengan hanya mengeluarkan sedikit biaya. Sekadar mengeluarkan pernyataan, lalu berharap bisa meraih banyak dukungan,”  ujar Andi.

Memang belum ada aturan hukum yang mengatur penggunaan politik identitas dalam pertarungan pemilu. Namun dari segi kemanusiaan, strategi tersebut bisa dinilai zalim karena memicu tindakan kekerasan warga.

Misalnya yang terjadi pada 2019. Ujaran seorang anggota parlemen daerah yang menyebut OPSI sebagai ‘sarang LGBTQ’ diduga memicu serangan ke sekretariat OPSI dari sekelompok orang yang mengatasnamakan organisasi berbasis agama.

Para penyerbu ini menerobos masuk, mengacak-acak barang, sambil melakukan perekaman.  Mereka menemukan kondom dan alat kontrasepsi yang dianggap sebagai bukti terjadinya aktivitas seksual. Padahal barang-barang itu merupakan alat peraga OPSI sebagai bagian dari edukasi seks yang sehat,  yang diberikan oleh Dinas Kesehatan. Di daftar yang dimiliki Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, nama OPSI pun tercantum sebagai organisasi resmi yang mengadvokasi dan mengedukasi kelompok rentan.

“Di mata hukum, semua orang memiliki kesetaraan hak kebebasan sipil dan politik. Mereka berhak untuk dilindungi dari siksa, eksekusi dan persekusi.  Pemerintah wajib melindungi setiap warganya, tanpa melihat perbedaan suku, ras, jenis kelamin atau bahkan orientasi seksualnya,” tegas Andi.

Andi menyatakan sebetulnya banyak isu lain yang dapat diangkat para politisi Riau dalam meraih simpati publik. Misalnya kasus perampasan lahan masyarakat adat di Riau yang melibatkan ratusan warga yang bersengketa tanah dengan perusahan.  Isu lain, sejumlah ruas jalan di Riau juga rusak dan membahayakan penggunanya. Belum lagi isu pelecehan seksual yang masih sering terjadi bahkan di lingkungan pendidikan.

“Kenapa tidak hal lain yang diurus?” ujar Andi.

Andi berharap jika pemerintah tidak memberikan penerimaan dan pengakuan terhadap semua warganya, setidaknya jangan aktif mendiskriminasi mereka. Diam membiarkan mereka mungkin lebih baik, dibandingkan aktif mendiskriminasi dan menolak mereka.

Hal serupa juga diharapkan Rina. Ia tidak mau lagi kelompok rentan, apapun identitasnya, dijadikan alat bertarung di pilkada oleh para politisi.

“Kalau memang mau bersaing untuk suara silahkan, tapi jangan korbankan rakyat kecil sekadar untuk memperoleh suara.”

Politik itu seharusnya bersih dan bebas  diskriminasi. Politik seharusnya menghormati, memenuhi dan melindungi setiap warga. Para politisi harusnya berlomba-lomba memenuhi HAM, bukan berlomba untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok rentan.***

Produksi ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Penulis: Fani Oktaviona