Zolekha kian pasrah dengan nasibnya. Rumahnya perlahan termakan oleh perairan Pantai Mekong. Kebunnya yang luas habis, tanahnya pun raib. Hanya satu bidang tanah yang tersisa. Ia pun terus khawatir kalau-kalau tanah itu akan gaib lantaran gelombang pantai yang kencang.

Pemandangan Pantai Mekong di Kepulauan Meranti kian hari makin melebar. Penyusutan daratan atau abrasi yang timpa ‘Kota Sagu’ ini benar-benar mengkhawatirkan masyarakat setempat.

Bangunan-bangunan rumah yang sebelumnya jauh dari perairan tampak begitu dekat dari pantai. Kepala Nelayan Taharudin pun turut merasakannya. Ia was-was jika pengikisan pantai mencapai wilayah rumahnya. Karena rumahnya terbilang tak jauh dari pinggiran pantai.

“Jika tanah terkena kikisan pantai, mau tidak mau ya pindah,” terang Taharudin.

Pun untuk ganti rugi, tak ada bantuan sama sekali dari pemerintah. Mereka yang akan berpindahan lantaran abrasi mesti mengeluarkan biaya pribadi, dan membangun rumah kembali.

Selain ancam fisik bangunan, abrasi pun mengancam aktivitas perekonomian para nelayan.

“Dari bulan November hingga Februari nelayan sulit mendapatkan ikan,” terangnya.

Lelaki yang sudah lama mengenyami profesi ini, ceritakan tangkapan ikan yang tidak banyak didapatinya. Jumlah tangkapan masa kini tak sebanding dengan awal ia menjadi nelayan. Lebih banyak saat dulu, katanya.

Tak banyak yang dibuat oleh pemerintah. Aznizar sebagai buruh kapal bilang pemerintah hanya upayakan meletakkan batu yang disebut turap. Pun sebenarnya turap tak begitu kuat menahan gelombang laut yang kencang. Penanggulangan tampaknya tak efektif. Namun pengikisan terus terjadi hingga bertahun-tahun lamanya.

“Jika pemerintah berpikir abrasi terjadi karena ulah masyarakat, itu salah,” tegas Aznizar.

Lelaki ini ceritakan tentang Pantai Mekong yang selalu ramai pada kalanya. Mekong dulu selalu ramai lantaran banyak orang yang datang untuk berenang. Tapi tidak untuk saat ini. Tidak banyak yang berani datang lantaran abrasi yang kian meluas.

Sepengetahuan Aznizar, selain angin laut yang kencang, aktivitas kapal jadi sebab abrasi terjadi. Tiap lima meter pertahunnya wilayah daratan habis terkikis. Masyarakat Meranti perlahan meringis.

“Meranti merana menunggu mati.”

Merujuk dari goriau.com, memanglah Kepulauan Meranti jadi lokasi paling panjang yang terdampak abrasi di Riau. Sepanjang 106,87 kilometer. Berinci 73,47 Km di Pulau Rangsang, 21,3 di Pulau Merbau, Pulau Tebingtinggi 5.5 Km. Pantai Mekong sendiri dengan angka 5,5 Km.

Abrasi tak hanya renggut perekonomian para nelayan dan lahan. Namun juga berdampak dengan angka kemiskinan hingga fasilitas sosial. Pemerintah mesti serius memberi penanganannya.

Pandangan Akademisi UNRI

“Abrasi memang harus ditangani segera,” ujar Sofyan Husein Siregar Dosen Ilmu Kelautan di Fakultas Perikanan Universitas Riau .

Tak melulu campur tangan manusia, abrasi pun dapat terjadi secara alami. Abrasi alami bisa saja membaik dengan adanya perbaikan atau recovery. 

Sebut Sofyan, abrasi yang terjadi di Kepulauan Meranti dikarenakan adanya kerusakan ekosistem pelindung. Ada tiga ekosistem pelindung pesisir, jelasnya. Ialah terumbu karang, ekosistem rumput laut, dan ekosistem mangrove.

“Abrasi Meranti biasanya karena adanya penurunan kerapatan dari mangrove,” ujar pria berkelahiran Padang Sidempuan itu.

Mangrove berperan menahan tanah dari gelombang pantai. Namun rendahnya kerapatan mangrove, membuat mangrove tak mampu menahan arus gelombang. Dengan demikian rehabilitas mangrove mesti dilakukan. Pemeliharaan mangrove ini pun harusnya ada kerjasama antar masyarakat dengan pemerintah.

Langkah awal yang dapat dilakukan pemerintah ialah memberdayakan masyarakat setempat. Maksud Sofyan, mencegah masyarakat menebang mangrove untuk mencari pendapatan. Selain itu ekosistem mangrove pun dapat dijadikan ekowisata.

Tak murah dalam pemulihan abrasi, jelas Sofyan. Memerlukan biaya fantastis. Misalnya pembangunan turap penahan abrasi, bisa merogoh kocek miliaran rupiah perkilo meternya. Padahal cara tersebut terbilang tak efektif.

“Kalau ada gelombang kena atasnya [turap], ke bawah mutar lagi. Tentu pondasinya lama-lama tumbang lagi,” kata Sofyan.

Jelasnya penanganan paling tepat abrasi ialah pengembalian ke habitat semula. Dikenal dengan hybrid engineering. Yakni pembangunan beton non permanen untuk menahan tekanan gelombang.

Tumpukan tersebut akan ditanami mangrove. Sehingga endapan terus menguatkan akar mangrove.

Harap Sofyan, abrasi dapati perhatian. Baik pemerintah, mahasiswa, dan masyarakat setempat. “Kolaborasi penting dalam menangani abrasi,” tutupnya.

Penulis: Nola Rahma Aulia dan Kristina Natalia

Editor: Ellya Syafriani