Menembus Keterbatasan Ala Teman Disabilitas

Keterbatasan Santi sebagai penyandang disabilitas dan Liani yang memiliki anak difabel bukan penghalang untuk tetap melangkah

Oleh: Denisa Nur Aulia

Santi Setyaningsih masih berumur delapan tahun kala itu. Ia demam tinggi dan terjangkit virus rubella. Bak mimpi di siang bolong bagi Santi dan orang tuanya, ia divonis tuli oleh dokter. Setelah konsultasi, Santi kecil diberi alat bantu dengar.

Alat bantu dengar dulu tak seperti sekarang. Modelnya yang besar membuat Santi merasa malu untuk memakainya. Tak jarang ini jadi bahan olokan oleh teman-temannya.

Meski telah memakai alat tersebut, Santi tak dapat mendengar dengan baik. Hal pahit inilah yang juga membuat ia dijauhi oleh temannya. Bahkan Ia tak punya teman saat di bangku Sekolah Menengah Atas.

Saat ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Jenderal Soedirman, ada seseorang yang mau menerima keadaannya. Trauma masa lalu masih menghantui, Ia merasa tidak percaya diri bahwa ada orang yang mau berteman dengannya. Apalagi saat itu belum ada akses terhadap mahasiswa disabilitas.

“Trauma, aku pikir tidak ada yang mau berteman dengan orang Tuli. Ternyata teman menerima,” kenangnya.

Empat tahun masa studi, Santi pun lulus sebagai Sarjana Sosiologi pada awal Februari 2016. Ia ditawari bekerja oleh dosen. Terminal Bahan Bakar Maos Cilacap di bagian Corporate Social Responsibility Pertamina jadi pengalaman pertamanya.

Kontrak bersama Pertamina habis, Santi coba peruntungan dengan merantau ke Yogyakarta. Ia bekerja di Pusat Rehabilitasi Yakkum Yogyakarta, tepat di bawah kaki Gunung Merapi. Selang beberapa bulan bekerja, rasa bosan menghantui. Sembari bekerja, ia mengambil riset mengenai pasar dan target market untuk usaha di Yogyakarta bagi pedagang disabilitas.

Hasil penelitiannya, teman-teman disabilitas masih sulit memasarkan produk sebab pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau UMKM-nya masih standar. Akhir 2016, Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya sembari berniat mendirikan social enterprise atau perusahaan sosial. Sebuah usaha yang menghasilkan profit dan memberi dampak baik kepada masyarakat.

Setahun setelahnya, Santi membangun sebuah perusahaan Creativeable Project Indonesia. Tujuannya membantu teman disabilitas yang sulit mengembangkan produk. Juga memberi bantuan menangani isu permasalahan sosial yang ada di sekitar.

Memulai usaha tentu bukanlah hal yang mudah. Apalagi saat itu belum banyak yang paham soal social enterprise. Banyak yang mengira mereka mencari peruntungan dengan menjual kedisabilitasan.

Belum lagi terkendala oleh modal yang tidak seberapa untuk membangun usaha. Ia menyisihkan uangnya agar dapat membeli bahan-bahan modal untuk usaha.

“Sedih awalnya, tapi Alhamdulillah bisa jalan terus karena bantuan teman-teman lainnya,” ungkapnya.

Usahanya pun membuahkan hasil, Creativeable Project mendapat penghargaan dari Liputan 6 SCTV Awards 2018 di kategori Pemberdayaan UMKM.

Meskipun sering berkomunikasi dengan non-disabilitas, kata Santi, seiring berjalannya waktu pendengarannya menurun. Ia hanya mengandalkan gerakan atau tulisan untuk berkomunikasi. Beruntung saat merantau ke Yogyakarta, ia bertemu dengan Deaf Art Community. Sebuah komunitas yang menjadi tempatnya belajar bahasa isyarat dan budaya tuli.

Meninggalkan Kota Pelajar, Santi bersama suami Faqih Asnan hijrah ke Riau, tepatnya Pekanbaru pada pertengahan 2018. Ilmu yang didapatkannya selama di Yogyakarta, ingin dibagikan di tempat baru.

Pindah ke Pekanbaru bukanlah hal yang mudah baginya. Terutama mengakses informasi layanan publik dan fasilitas umum. Sebab, menurut Santi, Bumi Lancang Kuning masih minim pengetahuan tentang disabilitas. Pun membuat Creativeable Projectnya sempat vakum sampai awal 2019.

Hal inilah yang menjadi motivasi Santi untuk membuat perkumpulan bagi penyintas tuli di Riau. Tepat pada 14 April 2019, menjadi awal Komunitas Tuli Lancang Kuning atau Kutilang berdiri. Tentu dengan bantuan sang suami yang mendukung penuh keinginannya.

Lewat Kutilang, ia mengajak teman tuli – sapaan akrabnya untuk bergabung dan belajar bersama. Teman tuli yang dominan remaja perempuan itu diajarkan Bahasa Isyarat Indonesia secara gratis. Akhir pekan jadi hari yang ditunggu bagi anggota Kutilang. Sebab disitulah waktu mereka berproses mengembangkan diri. Saling berbagi antar satu sama lain.

Setelah berdiri hampir tiga bulan, Kutilang berhasil mewadahi teman tuli di Riau dengan program utama kelas bahasa isyaratnya. Ditambah dengan aksesibilitas yang ramah tuli, advokasi pemenuhan hak teman tuli dan pengembangan potensi teman tuli. Rumahnya jadi tempat seluruh aktivitas Kutilang.

Komitmennya dalam menjalankan komunitas Kutilang, mengantarkannya pada Juara III Pemuda Pelopor Nasional 2020 bidang pendidikan. Diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga RI.

Dengan komunitas yang dibuatnya, banyak orang yang tertarik dengan dunia disabilitas. Terutama kehidupan tuli.

Sayangnya, pandemi Covid-19 membuat seluruh kegiatan terhenti. Begitupula dengan Kutilang. Tak ada aktivitas yang dapat dilakukan selama pandemi sebab Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Kutilang pun vakum untuk sementara waktu.

Seluruh kegiatan terhenti, Ia pulang ke kampung halamannya. Hal ini yang membuat Santi harus putar otak bagaimana mengisi waktu luangnya. Wanita kelahiran Purbalingga ini akhirnya mencoba membuat konten berisi edukasi tentang tuli. Sebulan penuh ia terus membuat konten.

Tak disangka, konten yang disebar melalui Instagram, viral. Hingga ia kembali ke Pekanbaru dan terus melanjutkan aktivitasnya sebagai content creator atau pencipta konten. Mulanya, ia membuat konten ketika anaknya sudah tidur. Sebab, ia tak mau mengganggu waktu bersama anak jika buah hatinya masih terbangun.

Lewat akun @santi_setyaningsih, Ibu dua anak ini bagikan pengalamannya dan pengetahuannya tentang tuli. Kontennya makin ramai dilihat orang. Santi banyak mendapat endorse yang dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Ia juga bagikan videonya lewat Tiktok. Hingga saat ini, ia punya pengikut Instagram sebanyak 48,3 ribu.

Ada suka, adapula duka. Terkadang ia harus berhenti membuat konten jika anaknya sakit. Ia pun berdiskusi dengan suami bagaimana supaya dapat memberi edukasi sambil mengurus anak.

Menurutnya, konten ini adalah pekerjaan dan ada tanggung jawabnya. Belum lagi, Ia mendapat komentar yang tidak baik. Tapi, itu semua dihadapinya dengan lapang dada. Komentar buruk hanya ia biarkan. Terkadang ia meluruskan pernyataan yang tidak benar.

Sang suami, Faqih Asnan pun mendukung penuh kegiatan yang dilakukannya. Terkadang, Faqih ikut membuat konten padahal sebelumnya ia tak mau, Faqih hanya berfokus menjadi relawan yang mengajarkan bahasa isyarat kepada teman-teman yang ikut komunitasnya.

Penonton konten yang terus melonjak naik, membuat Santi turut mendapat tawaran sebagai pembicara yang membahas disabilitas. Terutama saat pandemi, banyak yang mengundangnya untuk mengisi webinar. Namun, aktivitas ini sudah jarang diambilnya karena kegiatan yang mulai padat.

Pandemi meredup, Santi tetap eksis dalam perkontenan edukasi tuli. Hingga akhirnya Ia diundang oleh Rektor Universitas Lancang Kuning (Unilak). Dalam undangannya, Rektor Unilak memberi kesempatan emas kepada Santi. Ia diberi beasiswa penuh oleh Yayasan Raja Ali Haji Unilak untuk melanjutkan strata dua.

Tak menyiakan kesempatan, ia ambil Jurusan Manajemen. Ilmu ini akan diterapkannya dalam menjalankan usaha Santi sendiri. Juga menjadi ilmu yang dibutuhkan saat ini.

Selain itu, Santi juga ditawari sebagai konselor disabilitas bagian Pusat Studi Layanan Disabilitas Unilak. Konselor disabilitas pun ada setelah ia menerima tawaran tersebut. Dengan adanya bagian ini, mahasiswa disabilitas Unilak dapat dibantu bersama konselornya. Hal ini tentu membuatnya bahagia karena menjadi pembelajaran berharga bagi hidupnya. Santi menekuni pekerjaan sambil menyebarkan ilmu bermanfaat.

Liani, teman Santi yang juga aktivis disabilitas sebut bahwa Santi adalah orang yang cerdas. Ia cepat belajar dan mudah paham apa yang dimaksud. Memiliki semangat yang tinggi dan aktif dalam organisasi terutama disabilitas tuli.

Dengan pengalamannya saat ini, Santi berharap teman disabilitas berani dalam mengeksplorasi diri. Apalagi sekarang mulai berkembang komunitas yang kerap membagikan ilmu disabilitas.

“Untuk teman disabilitas, tak perlu takut dengan kata orang. Semangat dan terus berjuang untuk mencapai cita-cita. Apapun kondisinya, kalian tetap mempunyai keistimewaan,” tutup Santi.

Semangat Mereka, Semangat Komunitas

Para penyandang disabilitas memiliki kemampuan meski terbatas. Semangat mereka jadi saksi Liani.

Liani bukanlah penyandang disabilitas, tapi Ia sepenuh hati terjun di bidang ini. Ketua Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kedisabilitasan (FKKADK) itu mulai kegiatannya sebab diajak oleh teman untuk ikut komunitas disabilitas. Selain itu, Liani memiliki anak autisme.

Tahun 2006, Julio – anak Liani bersekolah di Sekolah Luar Biasa. Di sana Liani bertemu dengan teman yang ikut komunitas disabilitas. Menurut temannya, Liani cocok untuk ikut keanggotaan sebab punya anak disabilitas.

Liani mengiyakan tawaran temannya. Ia ikut Himpunan Wanita Disabilitas. Meskipun terasa asing karena hal baru, Liani tetap mengeksplorasi pengalaman baru. Awalnya ia hanya ikut jika ada waktu berkumpul. Tidak banyak berbicara, hanya menyimak isi perkumpulan.

Di tahun 2006 itu pula, komunitasnya mengadakan kegiatan Hari Penyandang Cacat atau sekarang yang dikenal sebagai Hari Disabilitas Internasional. Liani terpilih sebagai wakil sekretaris. Tentu menjadi tanggung jawab Liani untuk melaksanakan tugasnya, Ia jadi aktif ikut kegiatan Himpunan Wanita Disabilitas.

Semangatnya dalam komunitas, di tahun 2008 ia dan teman-temannya bikin wadah untuk orang yang peduli disabilitas. Yayasan Peduli Penyandang Cacat Riau atau Yapencari namanya. Awalnya, bukan Liani yang jadi ketuanya. Ada orang lain yang ditunjuk. Hanya saja, ketua awal tidak pernah datang tiap ada rapat. Akhirnya Liani ditunjuk untuk jadi ketua.

“Iya saya rela jadi Ketua Yapencari, tapi tolong diajarin dan dibimbing ya,” ujarnya sambil mengingat.

Hingga pada tahun 2012, Kementerian Sosial atau Kemensos punya program yang akan jadi wadah bagi para orang tua yang miliki anak disabilitas. Terbentuklah FKKADK. FKKADK Riau pun terbentuk, jadi anggota yang ke-29. Liani diminta untuk mengajak beberapa teman yang mau turun jadi relawan. Hingga terbentuklah FKKADK Provinsi Riau, FKKADK Kota Pekanbaru, dan FKKADK Kabupaten Kampar.

FKKADK sendiri berfokus pada keluarga yang kurang mampu, terutama yang memiliki anak disabilitas. Mula dibentuk, komunitas ini sering mendapat bantuan oleh Kemensos. Hampir 300 anak terbantu.

Ada beberapa kegiatan FKKADK. Seperti memberi bantuan untuk keluarga yang anaknya disabilitas. Pendampingan untuk orang tua untuk edukasi merawat anak disabilitas. Terkadang memberi pelatihan parenting yang diberikan oleh pemerintah. Pun dilakukan kunjungan yang bertujuan mengedukasi orang tua penyintas disabilitas.

Dalam kunjungannya, anggota akan mengecek kondisi si anak. Beberapa bulan kemudian akan dilakukan pengecekan kembali apakah ada kemajuan anak setelah orang tuanya mendapat edukasi.

Kata Liani, FKKADK juga memiliki terapis yang akan membantu tumbuh kembang anak. Tentu dibantu dengan komitmen orang tua. Ia sebut, si terapis rela tak dibayar asal ada kemajuan dari anak penyintas disabilitas.

Karena keterlibatan FKKADK dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, terbentuklah peraturan daerah mengenai disabilitas pada 2013. Namun, nanti akan direvisi kembali sebab munculnya Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Saat 2016, anggaran terhenti sebab FKKADK bukan lagi di bagian Direktorat Anak tapi pindah ke Direktorat Disabilitas. Pada saat itulah, anggota FKKADK tak semuanya jalan. Pasalnya, dana yang terhenti membuat anggota kesulitan memberi bantuan pada keluarga yang miliki anak disabilitas.

“Hanya yang hatinya terpanggil untuk menjadi relawan,”

Meskipun dana dari kementerian telah terhenti, Dinas Sosial Provinsi Riau masih menyisihkan bantuan bagi anak disabilitas. Tapi semenjak pandemi, bantuan dialihkan seluruhnya ke keluarga yang terkena dampak Covid-19. FKKADK hanya bisa berharap pada donatur yang berbaik hati memberikan bantuan.

Ternyata, mujizat tetap ada. Saat pandemi, malah banyak donatur yang memberikan bantuan kepada keluarga kurang mampu. Lewat FKKADK, bantuan diberikan oleh para donatur. Pemberian bantuan berupa sembako pun akan diberikan secara bergantian, agar semua keluarga dapat bagian.

FKKADK juga membantu mencari donatur bagi anak disabilitas yang ingin bersekolah. Dengan perjanjian uang bulanan tetap dibayar oleh orang tua. Nantinya, uang muka dibantu oleh donatur. Sebab, uang masuk sekolah khusus disabilitas tergolong mahal, terkecuali bagi keluarga yang benar-benar kurang mampu. Nantinya akan dicari donatur yang bersedia.

“Tuhan itu maha baik,” ucapnya sambil tersenyum.

Hingga saat ini, anggota FKKADK hanya berfokus pada wilayah Pekanbaru. Terdata ada 300 anak disabilitas yang selalu mendapat bantuan. Ada 175 anak yang paling diperhatikan dan dipantau tumbuh kembangnya. Dengan bantuan donatur, mereka selalu mengusahakan paling sedikit dua anak mendapat bantuan tiap minggunya.

Liani ceritakan bagaimana pengalamannya menghadapi anak disabilitas. Menurutnya, anak disabilitas harus ditegaskan dari awal. Sebab jika sudah besar, karakter dan perilakunya sudah terbentuk dan akan sulit diubah. Belum lagi tenaga anak disabilitas lebih kuat dibanding anak non.

Selain menambah pengalaman dan ilmu dalam merawat anak disabilitas, Liani juga bilang ia secara tak langsung bisa bahasa isyarat. Wanita berumur 51 tahun itu juga mendampingi Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) dari tahun 2013.

Awalnya tak ada niat untuk belajar isyarat, lama kelamaan malah dapat memahami kata-kata sederhana dalam bahasa isyarat. Hal ini pula yang membuat banyak penyintas disabilitas yang bergantung padanya. Liani cukup tegas supaya penyintas dapat mandiri melakukan aktivitasnya seperti orang non disabilitas.

“Mereka aku ajarin juga biar bisa mengurus surat-surat penting ke kantor. Supaya kalau tidak ada saya, mereka bisa mandiri,” ungkapnya.

Ada kesulitan sendiri dalam mendampingi disabilitas. Sebelumnya ia tak paham apa yang mereka maksud. Karena keterbatasan dalam literasi. Tata bahasanya pun sering tak tersusun yang membuat bingung. Pengalamanlah yang membuat Liani akhirnya paham apa yang ditulis oleh penyandang disabilitas.

Belum lagi kesulitan saat, disabilitas tuli menanyakan apa bahasa isyarat dari kata-kata yang baru muncul. Melakukan bahasa isyarat pun cukup melelahkan karena harus berpikir apa isyarat yang sesuai dengan kata yang diperlukan. Jadi, butuh minimal dua orang penerjemah jika kegiatan lebih dari tiga jam. Juru bahasa isyarat bertugas mendengar, merangkum, dan mengisyaratkan kembali.

“Jadi penerjemah bahasa isyarat itu seperti kita berlari kiloan meter,” tuturnya sambil tertawa.

Dari pengalaman inilah yang membuatnya bisa bahasa isyarat. Sampai Ia ditunjuk sebagai juru Bahasa Isyarat Indonesia saat konferensi pers Gubernur Riau tentang Covid-19.

Katanya, jadi pendamping disabilitas, tidak boleh memengaruhi keputusan orang yang didampingi. Mereka termasuk sensitif, kata Liani,  sehingga harus memberi nasehat secara perlahan.

Tak jarang, penyintas disabilitas salah paham apa yang dikatakan Liani kepadanya. Ia hanya bisa sabar dan kembali meluruskan apa yang disampaikan secara jelas dan penggunaan kalimat yang lebih baik. Kabar baiknya, jika sudah percaya dengan orang, penyintas akan terbuka dan mau menceritakan apa saja yang terjadi di hidupnya. Pun, sebagai aktivis non disabilitas, harus menjadi netral dan penengah antara penyintas disabilitas lainnya.

Liani senang dapat mengikuti organisasi FKKADK. Sebab hal ini terus membuatnya selalu bersyukur dengan keadaannya. Ia jadi tak selalu memandang ke atas, dan tak iri dengan kehidupan orang lain.

Ibu dua anak ini pun selalu berdoa dan berharap agar selalu dikelilingi dengan hal yang positif. Dijauhkan dari hal negatif. Tentu, berdoa agar FKKADK terus dapat memberi bantuan kepada yang membutuhkan. Juga semakin banyak yang peduli dengan anak penyandang disabilitas.

Bagaimana Negara Menjamin Hak Disabilitas?

Santi dan Liani adalah bukti nyata bagaimana difabel masih menjadi isu penting hingga saat ini.

Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ada lima kategori disabilitas. Mulai dari fisik, intelektual, mental, sensorik, dan ganda atau multi. Menurut data berjalan 2020 dari Biro Pusat Statistik, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta atau sekitar lima persen.

Forum Masyarakat Sipil Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas 2022 katakan difabel masih belum menikmati hak setara di berbagai sektor. Khususnya di bidang hukum dan akses terhadap keadilan, ketenagakerjaan, dan pendidikan. Bidang kesehatan dan situasi bencana juga masih memprihatinkan.

Terlebih, hingga saat ini, tak ada data akurat tentang perbandingan kesenjangan pendidikan, pekerjaan, akses bantuan sosial dan layanan peradilan antara difabel dan non difabel. Hal ini, menurut International Labour Organization, membuat terhambatnya serangkaian aksi dan tindakan yang seharusnya dilakukan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri menyoroti hal itu. Menurut mereka, angka yang tercatat saat ini jauh dari rata-rata persentase global. Angka resmi pemerintah untuk penyandang disabilitas masih bervariasi. Antara empat dan lima persen. Jumlah ini dinilai sangat kontras dengan rata-rata global sebesar 15 persen.

Meskipun begitu, Komisi Nasional Disabilitas (KND) hadir di tengah-tengah kekhawatiran pada 1 Desember 2021. Dilansir dari Tirto.id, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Maulani Rotinsulu menyoroti terbentuknya KND yang berada di bawah Kemensos. Sebab, KND memilih tugas dan fungsi untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan advokasi, termasuk harus memenuhi hak-hak terhadap kaum disabilitas yang nantinya diusulkan kepada Kemensos.

Menurut dia, jika di bawah Kemensos, maka tugas dan fungsi KND tidak efektif dan rentan konflik kepentingan. Parahnya lagi, bila KND hanya menerima program dari Kemensos tanpa mendengar usulan dari kelompok disabilitas.