Cerita sejarah Panglima Khatib menyisakan kenangan di kalanan masyarakat. Sampai makamnya dibuatkan layaknya bangunan
Oleh: Novita Andrian
Dinding hitam dengan tinggi sekitar satu meter, berhias ornamen warna putih berdiri tegak di tikungan Jalan Raya Pekanbaru menuju Bangkinang. Tepat di kilometer 54. Fungsi dinding itu adalah untuk menyangga bukit dengan bangunan di atasnya.
Tampak dua batu nisan tertancap di dalamnya. Tertulis di batu nisan ‘Dt. Pangima Khatib th 1627’. Tepat di sebelah utara terdapat makam milik Teuku Aceh. Keduanya dikelilingi tanah dengan luas 7 x 10 m. Makam pun diberi atap berwarna merah hati, dilapisi seng dari tanah liat. Empat pacak menancap di bawahnya sebagai penyangga.
Usia makam tak lagi muda. Sudah ada hampir empat abad yang lalu. Hal ini disampaikan oleh seorang seniman asal Simpang Kubu. Darlis Umar namanya. Ia pun ceritakan perihal Panglima Khatib. Kisahnya didapat secara turun temurun dari Datuk Bandaro Hitam.
Panglima Khatib saat masih belia bernama Gindo Khatib. Ia menetap di Bukit Cocang yang kini bernama Bukit Ambacang. Ayahnya Teuku Aceh miliki tugas mulia, yakni menyebarkan ajaran Islam ke penjuru Air Tiris. Naas, usia empat tahun Gindo Khatib ditinggal ayahnya. Keadaan ini pula yang membuat ibunya, Gadi Kuniang, sandang status janda.
Gadi Kuniang akhirnya kembali menikah dengan lelaki duda bernama Bujang Jaketo. Pria ini merupakan pengembala kerbau. Adanya Gindo Khatib diharapkan dapat membantu ayah tirinya menjaga kerbau.
Tutur Darlis, Khatib bukan anak yang penurut. Ia miliki karakter nakal dan enggan dengarkan perintah orangtuanya. Pernah suatu hari Gindo diminta menjaga kerbau milik Bujang Jaketo, bukannya terjaga aman, kerbau tersebut malah lenyap menghilang.
Ayah sambungnya pun memanggil Khatib, ia tanyakan soal kerbau yang menghilang. Dengan polos, Khatib menjawab kalau kerbau menghilang begitu saja. Pasalnya, kejadian ini tidak hanya terjadi sekali, namun berkali-kali. Satu persatu kerbau miliknya pun habis tak tersisa.
Kerugian ini membuat Bujang Jaketo naik darah. Kepalanya mendidih hingga ingin aniaya anak tirinya itu. Keinginan Bujang Jaketo membunuh Khatib begitu besar. Ia siapkan lembing semacam tombak dengan ujung yang tajam terbuat dari kayu. Begitu lembing dilempar, bukannya terluka. Lembing tersebut justru tidak menyentuh kulit Khatib sama sekali.
Belum menyerah, Bujang Jaketo rencanakan pembunuhan selanjutnya. Diajaknya Khatib ke hutan untuk menebang pohon. Dengan sengaja Bujang mengenai hasil tebangan ke Gindo Khatib. Lagi-lagi tidak kena, ia justru terbangun dan menjauh secepat kilat.
Setelah ditelusuri, ternyata Khatib miliki ilmu tarikat. Ia miliki kemampuan menghilang dan kebal dengan tusukan benda tajam.
“Dia dapatkan ilmu tarikat itu dari ayah kandungnya, Teuku Aceh,” kata Darlis disela cerita.
Gindo Khatib beranjak dewasa. Ia banyak habiskan aktivitasnya di tepi Sungai Tiyi. Yang apabila diterjemahkan dalam artian Simpang Kubu berarti bocor. Hingga Sungai Air Tiris sama dengan sungai yang bocor.
Keberadaan Khatib di sungai tak lain menuruti perintah ibunya untuk mencari ikan. Kala itu Khatib seperti biasa ke sungai memasang umpan. Sembari menunggu matanya menangkap benda berukuran besar warna hitam, Khatib dekati benda tersebut. Rupanya seperti ikan tapa yang tidak memiliki ekor. Ikan ini merupakan endemik khas Sungai Air Tiris.
Segera Khatib melempar tempuling. Alat penangkap ikan semacam tombak berukuran 15 meter. Tepat sasaran, tombak tersebut mengenai ikan tapa tadi. Namun yang terjadi Khatib malah terseret oleh ikan yang masih tertancap pada tampuling. Seratus hari lamanya ia terdampar di Sungai Kampar Kiri. Kini jadi daerah bernama Lipat Kain.
Terdamparnya Khatib di tepi sungai, mengejutkan para masyarakat di Kampar Kiri yang menjumpainya. Kala itu kumpulan ibu-ibu yang tengah mencuci pakaian terperanjat kaget melihat Khatib terkapar. Sontak mereka berlari untuk ceritakan hal ini pada masyarakat sekitar.
Canang atau gong dipukul oleh kepala desa untuk mengumpulkan warga. Mereka pun mengatakan Khatib adalah jelmaan hantu. Khatib yang telah sadar langsung menyanggah tuduhan itu.
Untuk membuktikan hal tersebut, raja dari Gunung Sahilan memberinya pisang. Dengan isyarat, apabila Khatib membuka kulit terlebih dahulu, dipastikan ia adalah manusia. Sebaliknya, jika tanpa membuka kulit pisang, Khatib adalah sosok yang dikhawatirkan masyarakat. Tambahan cerita ini pun didapat Darlis dari Tetua Kampung, Almarhum Sajiman.
Khatib berhasil membuktikan bahwa ia adalah manusia. Kemudian meminta bantuan pakaian kepada Raja sebab pakaian yang dikenakan telah usang. Raja pun turuti keinginan Khatib.
Kedatangan Khatib ke daerah Kampar Kiri, bertepatan dengan sayembara yang dibuat raja. Sayembara berupa menebak alat yang ditemukan di Sungai Kampar. Hadiahnya diangkat menjadi hulubalang atau pengawal kerajaan.
Kebanyakan masyarakat menyerah, sebab tak bisa menebak benda tersebut. Akan tetapi tidak dengan Gindo Khatib. Ia katakan bahwasannya penemuan itu adalah alat membajak sawah dari tempatnya berada, Kampar Kanan.
Gayung bersambut, Khatib menangkan sayembara yang dibuat oleh raja. Sesuai kesepakatan, Khatib pun diangkat menjadi hulubalang dengan gelar panglima.
Sejak saat itu Gindo Khatib dikenal dengan nama Panglima Khatib.
Status dan nama Khatib pun melejit. Tak lama dari pengangkatan pangkat, Khatib memutuskan berlayar ke Malaka. Ia berangkat bersama 14 anak buahnya yang dibawa dari Kampar Kiri. Untuk persediaan sayur, mereka bawa dari Bukit Cocang atau Bukit Ambacang.
Sampainya di Malaka, rombongan Khatib dihadapi dengan rintangan. Raja Selat Malaka dari Negeri Sembilan menantang Khatib dan rombongan. Tantangannya, jika Khatib mampu kalahkan raja ia mendapatkan apapun yang diinginkannya. Jika kalah maka akan dimakamkan di depan Istana Negeri Sembilan, Malaka.
Tantangan itu disanggupi oleh Khatib. Ia minta waktu agar dapat berlatih dengan anak buahnya di sampan. Khatib keluarkan tongkat dan menancapkannya ke tanah sebagai tanda bahwa ia akan datang untuk menepati janji. Rupanya, penancapan tongkat disengaja untuk menipu seolah-olah tongkat berwujud Khatib. Anak dari Teuku Aceh itu membacakan mantra dari sampan guna mengeluarkan kekuatan tongkatnya.
Fajar menyingsing, matahari terbenam. Awan nampak kemerah-merahan menggantikan waktu menuju malam. Raja keliling di pelataran istana, ia tengok Khatib ─yang sebenarnya tongkat─ telah bersiap untuk bertarung. Hal tersebut langsung disambut oleh raja agar pertarungan dimulai. Petang telah usai, pertarungan pun selesai. Akhirnya raja mengaku menyerah dari ilmu Panglima Khatib.
Khatib pun pulang ke kampung halamannya. Tak lama setelah kembali dari Malaka, Khatib dikabarkan meninggal dunia. Tak mati di tangan raja, Khatib meninggal akibat sakit parah. Pengaruh usia datangkan beberapa penyakit di dirinya. Sepeninggalan Khatib, terjadi beberapa perdebatan mengenai lokasi pemakamannya. Ada yang ingin dimakamkan di Kampar Kiri seperti masyarakat Lipat Kain. Ada pula yang menginginkan di Kampar Kanan karena menurut mereka Khatib bagian dari mereka.
Guna selesaikan perdebatan ini akhirnya dibuatkan dua keranda yang berisi pohon pisang dan mayat Khatib. Masyarakat diminta untuk memilih salah satu keranda tersebut.
Darlis menjedakan ceritanya sejenak, ia ubah posisi duduknya. Tuturnya, hingga kini masih belum diketahui pasti mana pemakaman Panglima Khatib yang asli. Akan tetapi banyak yang mempercayai bahwasannya makam aslinya yang berlokasi di Simpang Kubu.
Sejarah Panglima Khatib Versi Abdul Latif Hasyim
Sedikit berbeda dengan Umar Darlis, Kepala Suku Bandang Kenegerian Kuok Bangkinang, Abdul Latif Hasyim juga ceritakan tentang Panglima Khatib. Cerita berawal dari kisah Khatib yang baru terlahir kisaran abad 15 semasa Portugis. Ibunya Gondoriah menikah dengan Teuku Aceh.
Keseharian Khatib semasa remaja dijalani dengan berdagang menggunakan sampan kajang atau transportasi warisan air yang digunakan untuk mengangkut barang. Jalannya sampan kajang menggunakan bantuan angin. Adapun rutenya menuju Malaysia. Tidak sendirian, ia bersama Datuk Panjang yang miliki kerabat di Kerajaan Kampar.
Saat itu sampan kajang berlabuh di Johor. Daerah itu dulu dipimpin oleh keturunan Sultan Mansur Syah. Saat bersamaan, Kampar alami kejayaan. Masyarakatnya kerap lakukan pulang pergi Kampar – Johor.
Tutur Latif – sapaan akrabnya, Johor dan Kampar miliki kesamaan. Hingga menurut Panglima Khatib, keturunan Kerajaan Kampar-lah yang akan pimpin Johor nantinya. Tentunya hal ini tidak dapat diterima Sultan Johor, ia langsung ajak adu kekuatan dengan Khatib. Saat itu Sultan langsung kirimkan Panglima Kalikut yang terkenal dengan ilmu dalamnya.
Kesepakatan saat itu adalah jika Khatib menang, Johor akan jadi miliknya. Sebaliknya, jika ia mati terbunuh, mayatnya akan dimakamkan depan istana.
Melihat kekuatan Kalikut, Datuk panjang peringati Khatib supaya tak perlu ikuti pertarungan. Namun tak semudah itu untuk menyerah. Lelaki asal Kampar ini tetap ingin ikuti tantangan yang dibuat oleh Sultan Johor.
“Ngapain takut, orang Kampar ‘kan ilmunya sakti,” ucap Latif meniru kalimat Khatib.
Siang malam Khatib selalu bertalih untuk persiapkan pertandingan. Disiang hari ia gunakan dagangannya untuk berlatih. Dengan melempar asam terung dan membelah buah dengan pedangnya. Begitu malam tiba, digunakan pedang dan membelah serangga-serangga sekitarnya untuk berlatih kelincahan. Khatib ingin meyakinkan khalayak bahwasannya dirinya mampu untuk bertarung.
Akhirnya kedua insan itu bertanding di gelanggang depan istana, tempat pilihan raja. Kalikut, pendekar asal India berkali-kali memberi serangan pada musuhnya. Akan tetapi kekuatan yang dimiliki Khatib membuat ia dapat mengelak serangan dari Kalikut. Hal ini tak lepas dari ilmu yang diturunkan dari ayahnya.
“Ilmu yang dimiliki orang Kampar itu sakti, itulah yang jadi modal Panglima Khatib percaya diri melawan Kalikut,” kata Latif di sela ceritanya.
Seperti sebelumnya, Khatib pasang strategi dengan menancapkan tongkat di depan lawannya itu. Ilmu Pusako Kampar yang dia miliki membuat Kalikut gelap mata dan mengira bahwa tongkat itu adalah Khatib.
Strategi selanjutnya yang digunakan Khatib adalah dengan melempar uang koin ke atas. Uang yang diambil dari unjuik, tempat uang di pinggang itu dilayangkan ke atas. Hal tersebut menarik perhatian Kalikut yang mengikuti geraknya koin. Begitu lengah, Khatib langsung tebaskan pedang ke kepalanya hingga putus.
Kress… Darah membasahi sekujur tubuh pendekar asal India itu.
Matinya Kalikut, menunjukkan pemuda asal Kampar ini sebagai pemenang. Sultan Johor tepati janji yang telah dibuat. Berupa Sebagian wilayah Kenegrian Johor adalah milik Panglima Khatib.
Setelah pertarungan dan kemenangan itu, Khatib kembali ke kampung halamannya. Sayang, tak lama dari itu, Khatib dinyatakan meninggal dunia.
Meninggalnya Khatib, sisakan beberapa benda. Berupa pendayung sampan kajang yang kini disimpan di Air Tiris Kabupaten Kampar, lelo atau meriam, gong, dan beberapa jenis pedang. Menurut Abdul Latif, kadangkala lelo berbunyi sendiri saat terjadi suatu hal di Air Tiris.
Latif bilang Khatib sempat menerima gelar Datuk Gindo. Kesempatan itu hilang sebab Khatib bermobilisasi ke Kampar. Akibatnya, gelar pun tidak jadi diterima.
Cerita sejarah Panglima Khatib menyisakan kenangan di kalangan masyarakat. Sampai makamnya dibuatkan layaknya bangunan. Pemakamannya pun tampak tegak di persimpangan Jalan Raya Pekanbaru – Bangkinang.
Tak Banyak yang Tahu
Rahmad Hudi, mahasiswa yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Simpang Kubu takut mati penasaran. Sepuluh hari Kukerta berlangsung, Ia baru menyadari keberadaan pemakaman tersebut.
Rasa keingintahuan Rahmad, membawanya untuk menggali fakta lebih dalam mengenai makam Panglima Khatib. Ia tanyai warga desa di sana. Pun mendatangi perangkat desa hingga tokoh adat. Namun Rahmad belum mendapati jawaban.
“Sayang sekali bila warga tidak tahu soal makam itu. Nanti hilang ditelan zaman gitu saja,” ungkapnya.
Rahmad hanya mendapat laporan bahwa Pemakaman Panglima Khatib pernah dijadikan tempat ritual gaib. Kisaran lima tahun lalu, sekelompok asal daerah luar bertandang ke makam dan buatkan doa serta persembahan. Ritual malam itu dipergoki oleh masyarakat sekitar. Paginya uang tunai sebanyak lima ratus ribu berserak di dekat makam Panglima Khatib.
Selain warga yang tidak tahu soal makam, perawatan Makam Panglima Khatib juga jauh dari pantauan pihak desa. Rahmad sempat bertanya pada sekretaris desa.
“Coba tanya yang lain aja”, kata Rahmad menyalin jawaban Beni, Sekretaris Desa Simpang Kubu.
Rahmad menyayangkan sikap masyarakat setempat yang kurang peduli terhadap cerita sejarah Panglima Khatib. BM juga mencoba menelusuri literatur yang menceritakan tentang panglima tersebut. Namun, nihil. Informasi yang digali lewat internet tak ada yang bisa dimanfaatkan.
Padahal makam itu sudah diresmikan jadi monumen cagar budaya. Oleh sebuah Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau. Tertulis Nomor Inventaris Cagar Budaya 08/BCB-TB/B/03/2007.