Persoalan Kasus Pulau Rempang Dimata Akademisi UNRI

Keadaan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau belum bisa dibilang membaik. Konflik lantaran proyek garapan PT Makmur Elok Graha atau MEG ini berbuah bentrokan. Antara warga dengan para aparat keamanan. Warga bersikeras menolak adanya relokasi, khawatirkan kehilangan ruang hidupnya.

Zainul Akmal, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Riau atau FH UNRI beri pandangan akan hal ini. Ia jelaskan keharusan peran negara sebagai pemberi rasa aman. Tuturnya, negara ada untuk melindungi rakyatnya. Sebagaimana tercatat dalam teori abad modern tentang kehadiran suatu negara.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia mestinya menempati rakyat sebagai mengambil kekuasaan. Termasuk relokasi wilayah di Pulau Rempang.

Karena hal ini merupakan hak yang dimiliki oleh rakyat untuk menyetujui atau menolak. Apalagi jika tanah yang dipijak sudah sangat lama ditempati.

“Mereka menolak itu hal yang wajar dan rasional sekali. Siapa sih manusia yang mau diusir dari kampungnya?” tanya Zainul.

Ia ungkit kerusuhan gas air mata yang mengenai anak-anak sekolah. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sebutnya.

“Dengan bahasa mereka untuk memindahkan masyarakat di sana kan sudah masuk kategori pelanggaran HAM berat. Dampaknya pasti, tentang bagaimana seharusnya anak-anak yang sedang belajar terganggu,” terangnya.

Bukan hanya mengganggu proses pembelajaran. Bentrokan ini juga mengganggu ketenangan masyarakat. Tentunya tak sejalan dengan adanya fungsi negara yang seharusnya memberi perlindungan untuk rakyat.

Aparat penegak hukum membiarkan kejadian tersebut berlangsung. Karena itu, dengan tegas Zainul sebut kasus Pulau Rempang merupakan kasus pelanggaran HAM berat.

Ia pun mempermasalahkan tindakan Muhammad Rudi, Wali Kota Batam dan juga Ketua Badan Pengusahaan (BP). Yang baginya melanggar moral kemanusiaan.

Lalu ada Ashaludin Jalil. Dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNRI ini pandang polemik Pulau Rempang melalui kacamata Sosiologi.

Baginya, permasalahan awal Pulau Rempang adalah keberadaan masyarakat yang dilupakan.

“Selalu dilupakan. Mereka itu hidup disana sudah beranak pinak dan manusia itu secara kultural punya ikatan nilai kepada tanah dimana mereka dilahirkan,” tutur mantan rektor UNRI ini.

Ia contohkan suku adat lainnya, Suku Sakai dan Suku Talang Mamak. Meskipun jauh pergi merantau, tapi tak lupa kembali ke asalnya. Ini menunjukkan kalau ada ikatan nilai dengan tanah yang diinjak sejak lahir. Apalagi Rempang jauh sudah ada sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Proyek Strategis Nasional di Pulau Rempang merupakan pembangunan dengan perencanaan perubahan. Namun kata Ashaludin, tiap pembangunan yang ada mestinya memikirkan apa yang sedang dan sudah ada di tempat tersebut.

“Masyarakat Rempang sudah ada lama di sana. Ketika mereka disuruh mau direlokasi yang menimbulkan persoalan. Nah, kenapa tidak ikhlas saja? Artinya di mana bakal dibangun, ambil saja kawasan situ. Tapi masyarakat tempat itu jangan diganggu,” pungkasnya.

Konflik di Pulau Rempang memunculkan kekerasan struktural. Merujuk dari Kompas.com, kekerasan sturktural merupakan kondisi menormalkan sesuatu. Apa yang seharusnya didengar justru diabaikan, dan apa yang sebaiknya dilakukan malah dianggap aneh. Tutur Ashaludin, hal ini dilihat dari keberadaan masyarakat yang tidak diperhitungkan.

Ashaludin tegaskan di akhir. Bahwa ketika berinvestasi haruslah melakukan sosialisasi dengan benar. Benar, tepat, dan berkali-kali. Serta cara penyampaian yang mudah dipahami masyarakat.

Penulis: Desi Angraini

Editor: Najha Nabila