Kesulitan Hak Pangan Akibat Investasi di Pulau Kecil

FIAN Indonesia gelar Bincang Santai Pangan (BSP) pada Jumat (13/10). Bertajuk Konflik di Pulau-pulau Kecil dan Hak Atas Pangan (Contoh Kasus : Rempang). Diskusi ini berlangsung secara online melalui live streaming Instagram @fianindonesia.

Fatilda dari FIAN Indonesia bilang diskusi ini untuk memperingati Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober. Juga untuk menyuarakan kondisi pangan di Rempang.

Ia ujar banyak media yang membahas konflik Rempang. Sayangnya tak banyak media yang angkat persoalan pangan di daerah tersebut.

Dimulai kondisi pangan global dan nasional yang mengalami masalah. Proyek investasi cenderung melemahkan pangan nasional termasuk Rempang.

‘’Pulau kecil harus menanggung pangan yang mahal karena ketergantungan pangan dari luar yang aksesnya jauh dan risiko gelombang tinggi,” katanya.

Diskusi turut hadirkan Ahlul Fadli dari Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Riau. Ia bilang saat ini Pulau Rempang menolak adanya relokasi. Masyarakat tolak bentuk paksaan dari pemerintah untuk dipindahkan dan diganti ke pemukiman baru.

Dampaknya, akses masyarakat Rempang terbatas dan terisolasi. Kata Ahlul, adanya pos-pos siaga di jalur penting akibatkan masyarakat takut dan cemas dalam mengelola pangan.

Tambahnya, peningkatan pendaftaran masyarakat yang akan direlokasi lebih condong kegolongan pegawai, pekerja perusahaan, dan pendatang lainnya.

“Hal ini akan menjadi ancaman baru karena para penyuplai pangan harus memastikan masyarakat masih bertahan atau tidak, barulah kemudian mereka akan memasok pangan ke daerah tersebut,” jelasnya.

Aik Arif, Penulis dan Pemerhati Pangan Kompas.id tambahkan sistem pangan memiliki 3 pilar utama. Yakni ketersediaan, kelayakan dan akses.

Ia jelaskan pulau kecil yang sumber daya lokalnya terbatas dan ekosistemnya rapuh sangat rentan alami gangguan-gangguan.

Rempang Eco City misalnya, meskipun dapat menambah lowongan pekerjaan, namun belum tentu tenaga kerja tersebut berasal dari Indonesia. Ini terlihat dari statistik kemiskinan yang meningkat.

“Kembali lagi, yang untung siapa? Yang rugi siapa? Apalagi dalam kasus Rempang pasti memiskinkan orang. Kalau pun ada yang untung pasti bukan masyarakat Rempang,’’ tambah Aik.

Sejak Juni lalu, masyarakat Rempang sudah mengajukan legalisasi kepada pemerintah. Namun pemerintah tidak menyetujui, malah memberikan perizinan kepada perusahaan dan industri lain.

‘’Kenapa harus industri lain yang masuk? Kenapa tidak diberikan bantuan saja kepada petani dan nelayan agar ekonomi meningkat?’’ tanya Ahlul.

Ahlul tuturkan pemerintah harusnya bisa menjamin kesejahteraan masyarakat dengan memprioritaskan pelatihan dan pengembangan. Bukan kepentingan untuk membuat investasi dalam skala besar. Tambahnya, Jika investasi ini dipaksakan, konfliknya akan membesar dan mengusik ketenangan di wilayah tersebut.

Aik nyatakan sikap pemerintah yang seharusnya, ‘’Seharusnya ada transportasi model pembangunan, bukan melakukan pembangunan yang meningkatkan risiko terjadinya iklim buruk dan penurunan kesejahteraan masyarakat.’’

Perihal Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang wilayah pesisir dan pulau kecil. Undang-undang tersebut harusnya menjadi prioritas bukan justru memperentan.

“Satu hal yang harus dikoreksi yaitu pikirkan dampak yang terjadi pada sektor ekonomi, sosial dan lainnya. Jangan hanya mengkaji keuntungan yang didapatkan, makanya kita harus meyakinkan masyarakat agar tetap bertahan karena kita masih digantungkan pada investasi yang belum pasti,’’ tutupnya.

Penulis: Aisyah Yulfitri

Editor: Arthania Sinurat