Menyebarkan informasi keliru yang dilakukan dengan sengaja masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Terlebih jelang pemilihan umum atau Pemilu 2024 mendatang. Berbagai berita yang belum diketahui kebenarannya mudah menjalar. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Bayu Galih, editor Cek Fakta Kompas.com.
Berkaca dari Pemilu sebelumnya pada 2019, penyebaran hoaks atau informasi bohong meningkat laju. Ada 3.356 hoaks yang didata oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi, isu politik paling banyak. Dengan angka 916.
Bayu mengatakan hoaks merupakan ancaman besar, terlebih pula tentang Pemilu. Bukan hanya kandidat saja yang merasa rugi, namun penyelenggara pun terancam terserang lantaran berita hoaks tersebut.
“Verfikasi sangat penting untuk mengurangi penyebaran hoaks pemilu,” ungkapnya.
Untuk hindari adanya berita bohong tersebut, Bayu ungkap beberapa langkah yang bisa dilakukan. Ialah tidak membagikan konten yang mencurigakan serta tidak meninggalkan komentar. Lalu report atau melaporkan akun tersebut. Tak lupa, Bayu sarankan tetap menjaga kestabilan emosional.
Buah pikir lain datang dari Arfika Farmita, Trainer Google News Initiative-AJI atau GNI-AJI dan jurnalis Tempo. Pembahasannya mendeteksi hoaks bagi pemilih muda.
“Pemilih muda dalam pemilu 2024 mencapai 52 persen untuk kategori di bawah 40 tahun,” ujarnya.
Pemilih muda seharusnya jadi pemberantas hoaks. Namun sayangnya pemilih muda itu sendiri yang kadang tak luput dari hoaks. Ciri-ciri hoaks utama adalah mencuri konten. Modusnya mendaur ulang berita dengan narasi dan teori konspirasi.
Kata Mis-disinformasi bertema politik terbagi dua, mengikuti momentum masa politik dan tidak mengikuti momen politik berarti selalu ada.
Berdasarkan Cek Fakta Tempo, hoaks pemilu kembali beredar. Menjelang pemilu 2024, tingkat penyebarannya meningkat dan mengkhawatirkan. Sebab sebanyak 42,3 persen responden percaya pada gangguan informasi.
“Dengan adanya informasi-informasi bisa menajamkan kekritisan kita dengan memverifikasi faktanya dan tidak menyebarkan informasi yang kita belum tahu,” ujar Jurnalis Tempo itu.
Kata Artika kita perlu memfilterisasi informasi agar tak termakan hoaks. Seperti menjaga emosi, menumbuhkan sikap skeptisme atau mempertanyakan segala sesuatu, kemudian cek fakta.
“Selain itu, kita bisa mendeteksi foto dengan reverse image, cek video dengan capture adegan, dan cek akun penyebar di media sosial,” tutupnya.
Lewat diskusi virtual di YouTube, diskusi pencegahan hoaks Pemilu untuk pemilih muda berlangsung pada Kamis (16/11). Bertema Mengidentifikasi Mis-Disinformasi Pemilu, Panduan untuk Pemilih Pemula. Diskusi ini digagas oleh Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia bersama Google News Initiative.
Penulis: Vini Violita
Editor: Najha Nabila