Dukung perjuangan Palestina, Majelis Ulama Indonesia (MUI) imbau umat Islam untuk tidak bertransaksi produk yang terafiliasi dengan Israel. Imbauan ini tertuang dalam fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan Terhadap Palestina.
Keputusan tersebut tuai perdebatan pro dan kontra. Beberapa kalangan mengkhawatirkan imbauan ini memengaruhi perekonomian nasional. Terutama pada tenaga kerja yang akan berkurang.
Lantas bagaimana dampak dan kebijakan fatwa ini terhadap perekonomian Indonesia?
Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa (BM) menghelat diskusi daring melalui siaran langsung dari Instagram @bahana_unri. Kegiatan ini masuk agenda rutin BM tiap Jumat. Bertajuk Dampak Fatwa MUI Terhadap Ekonomi Indonesia, BM buat bincang-bincang.
Dalam diskusi kurang lebih satu jam pada 24 November itu, BM hadirkan Rosyetti sebagai pembicara. Ia merupakan Dosen Ilmu Ekonomi konsentrasi Ekonomi Syariah. Kristina Natalia, Kru BM memandu diskusi tersebut.
Apa maksud dan tujuan pemboikotan produk yang terafiliasi Israel berdasarkan Fatwa MUI ini?
Rosyetti: Sesungguhnya pemboikotan produk yang terafiliasi Israel ini sudah berjalan lama. Tapi, sekarang MUI tidak mengeluarkan list dari produk-produk yang diboikot itu. MUI hanya menyampaikan bahwasannya dukungan terhadap perjuangan Palestina sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023. Namun sesungguhnya pemboikotan ini sejalan dengan dua landasan hukum yang disampaikan oleh Syekh Yusuf Qaradhawi, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
Tujuan boikot ini, pertama sebagai wujud perlawanan ekonomi atau melemahkan kondisi ekonomi Israel. Kedua, sebagai pembelajaran sejak dini bagi kaum muslimin untuk membebaskan diri dari penghambaan atau ketergantungan terhadap sesuatu yang kurang bermanfaat. Ketiga, sebagai aksi persaudaraan dan persatuan umat Islam.
Bagaimana dampaknya terhadap ekonomi Indonesia?
Rosyetti: Adanya boikot dapat mengakibatkan aktivitas-aktivitas produksi di Indonesia akan berjalan lebih tinggi tingkat produktivitasnya. Karena para umat Islam tidak lagi mengonsumsi produk-produk dari Israel [masyarakat mengonsumsi produk dalam negeri].
Faktor-faktor produksi yang meningkat mengakibatkan proses produksi berjalan, jadi penggunaan resources [sumber daya ekonomi] semakin tinggi. Meningkatnya penggunaan resources saya yakin output semakin meningkat. Kalau output meningkat, jelas kita bicara dengan GDP (Gross Domestic Bruto) dan GNP (Gross National Product). Jadi, pendapatan nasional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan produksi dari produk-produk yang selama ini menggunakan produk-produk yang berasal dari Israel.
Lalu dampak boikot secara keseluruhan bagaimana?
Rosyetti: Pertama, banyak kebaikan ekonomi yang bisa kita rasakan. Kalau kita tidak menggunakan produk itu [Israel], maka produk yang ada di dalam Indonesia sendiri bisa dimanfaatkan secara optimal. Artinya, kompetitornya berkurang.
Kedua, banyak saudara-saudara kita yang ada di Palestina dapat diselamatkan. Dengan diboikotnya produk-produk yang berasal dari Israel dan antek-anteknya membuat Israel tidak bisa menghasilkan dana untuk membiayai perang.
Ketiga, dapat meningkatkan dan membangun ekonomi umat. Dengan mencintai produk sesama muslim, yang mana ini dilakukan dengan menggunakan konsep Manajemen Qalbu. Artinya, kita mulai dengan menggunakan produk yang ada di dalam negeri. Mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini, sebagai orang muslim dan Indonesia mengonsumsi produk-produk hasil Indonesia sendiri.
Adakah dampak negatif jika pemboikotan ini dilakukan secara terus menerus?
Rosyetti: Kalau berbicara dalam short run [jangka pendek], memang sedikit menyulitkan. Tapi dalam long run [jangka panjang], saya kira ini akan memberi semangat bagi perusahaan-perusahaan kita untuk meningkatkan kinerjanya. Ini dapat menghasilkan produk-produk yang berkualitas dan setara dengan produk yang diboikot dan berkompetitif dalam hal harga.
Memang dalam short run belum bisa. Jadi dampak positifnya ini jangka panjang. Butuh waktu untuk bisa menyesuaikan sehingga dampak ini bisa menjadi dampak positif.
Bagaimana seharusnya pemboikotan ini berjalan?
Rosyetti: Kita memahami bahwasannya umat muslim wajib berjamaah dalam menjalankan rangkaian-rangkaian ibadah. Maka dari itu, kalau ini [pemboikotan] dilakukan juga secara berjamaah, saya yakin tujuan dari boikot itu akan terwujud, tidak membutuhkan waktu yang panjang.
Ini wajib kita lakukan karena umat muslim di Indonesia luar biasa banyaknya. Terbanyak di seluruh dunia. Kalau Indonesia memanfaatkan kondisi sekarang untuk melakukan boikot, dampak positifnya ke depan sangat luar biasa bagi Indonesia, namun tetap dalam jangka panjang. Butuh waktu, tapi kalau kita bersama-sama waktu itu semakin singkat dibuatnya.
Apa solusi bagi perusahaan yang merugikan karyawannya akibat pemboikotan ini?
Rosyetti: Dalam teori produksi, kita kenal output yang merupakan fungsi dari input. Artinya, besar kecilnya output akan ditentukan oleh penggunaan faktor-faktor produksi atau input. Salah satu dari faktor produksi itu adalah labour atau tenaga kerja. Dengan diboikotnya produk tersebut mengakibatkan banyak pekerja-pekerja kita yang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Tapi kita tahu, untuk ke depan produk-produk yang tidak diboikot akan bisa memanfaatkan dan meningkatkan outputnya. Dengan cara menambah pengguna faktor produksi, satu diantaranya adalah tenaga kerja. Tenaga kerja yang bekerja diproduk-produk yang diboikot akan beralih ke produk-produk yang tidak diboikot.
Penulis: Kristina Natalia
Editor: Arthania Sinurat