“Karena saking tidak percayanya mereka, mereka lebih percaya binatang daripada manusia,” tutur Wira Ananda, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Pekanbaru. Ia jadi pemateri dalam diskusi What Happens In Rempang, Does Not Stay In Rempang yang ditaja Klub Akhir Pekan di Handsury Coffe Pekanbaru, Jumat malam (8/11).
Diskusi kepada Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang ini berdasarkan pengalaman Wira selama bertugas di Rempang.
“Lebih tepatnya sih apa yang kita bicarakan bukan materinya tapi sharing section,” imbuh Wira.
Rempang jadi isu nasional, menjadi perhatian publik pasca terjadi bentrokan antara aparat pemerintah dengan masyarakatnya pada 7 dan 11 September silam. Bentrokan terjadi karena upaya pengosongan wilayah Rempang oleh pemerintah.
“Pasca diterbitkannya proyek strategi negara melalui peraturan menteri perekonomian itu, masyarakat menolak karena tidak dilibatkan dalam proses pengosongan wilayah Rempang,“ jelas Wira.
Proyek Eco City pada Rempang telah digagas sejak 2004. Penandatanganan perjanjian kerjasama antara Badan Perusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau BP Batam dengan PT Meta Estetika Graha (PT MEG).
“PT MEG dengan proyek Eco City itu tidak digagas pada tahun ini tapi berasal dari penandatanganan perjanjian kerjasama (sebelumnya),” jelas Wira.
Isi perjanjiannya, BP Batam menyerahkan 17.000 Ha tanah di Pulau Rempang kepada PT MEG sebagai developer pembangunan Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif (KWTE). Pulau Rempang bukan tanah kosong tanpa penghuni, sehingga perjanjian tersebut memunculkan konflik.
“Di Pulau Rempang ini terdapat 23 kampung dan 16 diantaranya adalah kampung tua yang ada sebelum negara ini ada, yang kisaran penduduknya 10 ribu sampai 12 ribu jiwa,” tambah Wira.
Selepas perjanjian, proyek Eco City tak berjalan hingga 2023. Lalu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengeluarkan peraturan nomor 7 Tahun 2023 tentang perubahan daftar PSN atau proyek strategi nasional. Di dalamnya Pulau Rempang masuk dengan nama program pengembangan Kawasan Eco-City.
“Entah kenapa 2004-2023 proyek ini tidak jalan dan munculah peraturan menteri perekonomian,” kata Wira.
Pembangunan Rempang Eco-City punya tujuh tahap seperti pembangunan pabrik kaca (Rempang integrated industrial), agrowisata (Rempang integrated agro-tourism), lalu residence dan komersial (Rempang integrated residence and commercial).
Kemudian ada kawasan wisata (Rempang integrated tourism zone), solar farm (Rempang forest dan solar farm zone), dan zona observasi (wild and nature zone). Terakhir, pengalokasian 16 kampung tua jadi satu wilayah (Galang heritage zone).
Alih-alih berikan kesejahteraan bersama, proyek Eco-City pemerintah mengerahkan persatuan tim terpadu. Tim ini berisikan tentara, polisi, brimob, dan BP Batam. Ada 1010 personil dengan senjata lengkap dan 60 kendaraan yang digunakan untuk proses pematokan. Menurut Wira, jelas ini pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab penggunaan kekuatan yang berlebihan.
“Tidak sepatutnya warga diserang oleh pasukan sebanyak itu,” keluh Wira.
Pulau Rempang ditargetkan bersih dan jelas tanpa penduduk pada 28 September. Tak tertinggal, pulau dan asetnya pun harus diserahkan ke BP Batam. Pemerintah tetapkan batas waktu pendaftaran relokasi dari 11 hingga 12 September.
“Laki-lakinya lari karena ditakuti akan ditangkap pasca kerusuhan tanggal 7 dan 11 September, Ibu-ibunya ketakutan (sembunyi) di dalam rumah,” cerita Wira.
Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang temukan pelanggaran HAM. Seperti penggunaan kekuatan berlebihan terhadap masyarakat sipil, adanya kriminalisasi dengan itikad jahat, penghalangan bantuan hukum, hingga penggusuran paksa.
“Lalu setelah itu turunlah Komnas (komisi nasional) HAM dan ditemui dugaan pelanggaran HAM,” tutup Wira.
Salah satu anggota Klub Akhir Pekan, Lucky Marcelino berharap kegiatan ini mencapai tujuannya. Serta menjadi ruang diskusi yang santai dan aman.
“Kami membuka ruang selebar-lebarnya untuk siapa pun yang ingin bergabung dengan kami terutama dalam berdiskusi dan bertukar pikiran,” ujar Lucky.
Ada juga Muhammad Raffa, mahasiswa yang hadir dalam diskusi. Ia berharap supaya diskusi kedepannya lebih banyak pesertanya.
“Kita harus saling ikut diskusi bareng-bareng gitu, biar kita bisa melihat perspektif yang berbeda dan membuka pikiran bersama-sama agar tidak terlalu kaku dalam berdiskusi. Setelah itu kita harus mengetahui permasalahan yang ada dan nyata dengan diskusi,” pesan Raffa.
Penulis: Rehan Oktra Halim
Editor: Najha Nabilla