Aksi Kamisan Perdana di UNRI, Kampus Mesti Bebas dari Pelecehan

‘’Hidup korban! Jangan diam! Jangan Diam! Lawan!’’ teriak massa aksi dalam Aksi Kamisan yang ditaja mahasiswa Universitas Riau (UNRI). Bertajuk Riau Darurat Pelecehan Seksual. Aksi ini dilakukan di Jalan Bangau Sakti, pada Kamis (14/12).

Koordinator aksi M. Rafi katakan, Kamisan merupakan aksi damai yang dimulai sejak 18 Januari 2007. Tergabung dari para korban maupun keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Seperti korban 1965, korban Tragedi Trisakti dan Semanggi 1998, korban Tragedi Rumpin, dan korban pelanggaran HAM lainnya.

Ia sampaikan aksi ini tak hanya libatkan mahasiswa UNRI, tapi juga libatkan masyarakat. Kegiatan dimulai dengan berdiam diri selama 10 menit. Lalu, dilanjutkan dengan orasi. Terakhir, lakukan diskusi.

Orasi dimulai oleh Rafi. Katanya, aksi ini untuk wujudkan UNRI yang bebas dari pelecehan seksual.

“Hari ini kami melaksanakan aksi untuk mewujudkan Universitas Riau sebagai kampus yang bebas dari pelecehan seksual,” ucapnya.

Terkait hal tersebut, Ayu Rahma sampaikan aspirasinya, “Perempuan dianggap sebagai pemuas, padahal perempuan penyambung napas. Perempuan tidak pantas mendapat kekerasan  seksual. Mari kita membersamai korban, mari kita lindungi haknya!” tegas Ayu.

Ia jelaskan aksi ini atas inisiatif mahasiswa yang peduli kasus kekerasan terhadap perempuan. Menyuarakan keresahan terhadap perempuan yang sering menjadi korban. Bahkan korban sering mendapat ancaman.

“Maka ini, Aksi Kamisan perdana dari para mahasiswa UNRI, yang nantinya akan diteruskan setiap Kamis,” ungkap Ayu.

Ayu juga ungkapkan berbagai macam kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan sekitar, khususnya di kampus.

“Maka dari itu, kawan-kawan bahkan masyarakat setempat harus tahu bahwa hak perempuan itu adalah hak yang tidak bisa dikangkangi,” ucapnya.

Tak ketinggalan, Khariq sampaikan orasinya. Ia berharap Aksi Kamisan ini menjadi refleksi bagi semua bahwa kekerasan seksual adalah permasalahan yang nyata dan harus diberantas. Juga perlu dilakukan terus-menerus sebagai pengingat bagi para pelaku dan untuk menguatkan para korban.

“Mari kita membersamai dan melindungi korban, dan suarakan hak-haknya. Karena siapa lagi kalau bukan kita. Kita mahasiswa, indikator perubahan, indikator penegakan hukum dan HAM,” tegas Khariq.

Cici, yang juga mahasiswa UNRI pun sumbang buah pikirnya. Ia katakan, pelecehan seksual verbal jadi satu hal yang terbiasa dinormalisasi. Dalam catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, sebanyak 457.895 kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2023.

Ungkapnya, semua harus membuka mata bahwa kekerasan dan pelecehan seksual bukan masalah biasa. tiga dari lima perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Seperti siulan, komentar berkonotasi seksual, disentuh tanpa konsensual, hingga diperlihatkan alat vital.

“Banyak bentuk lainnya jadi momok paling buruk dari wajah ruang publik kita. Mereka yang dilecehkan, bingung, takut, tidak tahu harus berbuat bagaimana. mereka hanya bisa diam,” ucapnya.

Cici berpendapat banyak yang seringkali sengaja bungkam, menyalahkan korban jadi suatu kebiasaan. Kekerasan dan pelecehan seksual masih dianggap sebuah candaan. Tak sadar, bahwa mau sekecil atau sebesar apapun bentuknya, kejahatan tetap kejahatan, katanya.

“Sudah saatnya kita lantangkan jangan menutup mata dan Jangan jadi penjahat!” tegas Cici.

Berikutnya Hizkia. Mahasiswa Fakultas Hukum ini ungkap siapapun yang melecehkan, korban harus melawan. Jangan sampai korban tidak berani untuk memberikan perlawanan.

Menurut Hizkia, kehidupan seseorang yang dilecehkan mengakibatkan trauma berkepanjangan, menjadi penderitaan bahkan sampai akhir hayatnya.

“Karena tidak hanya melahirkan orang-orang yang pada hari ini menjadi mahasiswa, namun melahirkan orang-orang yang berani untuk menjadi anak kandung peradaban. Karena mahasiswa adalah anak kandung peradaban,” tuturnya.

Setelah orasi, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi. Singgung terkait pelaksanaan aksi kamisan, Khariq sampaikan pendapatnya. Katanya, aksi ini perlu libatkan lembaga mahasiswa, sebelum kegiatan lakukan konsolidasi, dan urus segala perlengkapan.

“Setidaknya dalam kegiatan ini dapat melibatkan lembaga mahasiswa dan setidaknya sebelum laksanakan kegiatan kita harus konsolidasi dan lebih lanjut urus segala perlengkapan,”

Terkait isu aksi kamisan ini, Khariq sampaikan perlu sanksi tegas bagi para pelaku.

“Jangan membatasi ruang berkreasi dan beraktivitas mahasiswa,” ucapnya.

Hizkia menambahkan bahwa peraturan yang berlaku di sekitar harus efisien. Juga dapat menyelesaikan masalah yang ada.

Tak hanya melalui aksi ini, Ayu Rahma juga harapkan perlunya penyuaraan dari media sosial, “jika tidak viral, tidak akan diusut.”

Khariq tutup diskusi aksi kamisan dengan harapan lebih banyak teman-teman yang tertarik dan Aksi Kamisan ini dapat terus berlangsung.

Penulis: Aisyah Yulfitri dan Sakina Wirda Tuljannah

Editor: Arthania Sinurat