Taman Srikandi Universitas Riau atau UNRI jadi tempat Diskusi Pluralisme dan Toleransi pada Selasa (6/2). Beberapa perwakilan kelembagaan agama turut menyambangi diskusi tersebut.
Khariq Anhar selaku pembuka diskusi katakan yang jadi dasar diskusi adalah rencana Kampus Biru Langit menuju PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Artinya otonomi kampus akan diatur oleh kampus itu sendiri.
Tambahnya pula, diskusi ini membahas toleransi antar agama di UNRI. Ia nilai mahasiswa yang menganut agama minoritas merasa toleransi di lingkungan kampus amatlah kurang.
“Mahasiswa ini ingin aspirasinya itu tersampaikan,” ujar Khariq.
Khariq sampaikan pula dari data yang ia dapat hanya ada tiga kampus dengan tingkat toleransi yang baik. Salah satunya ia sebut Universitas Pancasila yang memiliki rumah ibadah dari berbagai agama.
Khariq bandingkan dengan UNRI yang hanya miliki rumah ibadah untuk Umat Muslim. Ia pertanyakan mahasiswa dengan agama lain bukankah sudah sepatutnya juga miliki rumah ibadah di lingkungan kampus.
Ia contohkan juga bentuk toleransi yang sangat sulit dilakukan ialah ucapan selamat hari raya untuk tiap agama dari kelembagaan kampus.
Khariq bilang ia pernah bahas masalah itu pada saat Musyawarah Mahasiswa Fakultas Pertanian (Faperta). Saat itu ia dapatkan protes.
“Padahal saya hanya menanyakan ini kelembagaan ini beragama atau tidak? Kan tidak, gitu. Tapi kenapa itu tidak diperkenankan sama sekali,” papar Khariq.
Hal itulah yang menurut Khariq akhirnya menimbulkan perpecahan.
Beralih pada Anita Pranawasari. Perwakilan Persatuan Oikumene Mahasiswa Kristen (Pomkris) jelaskan bahwa mereka cukup sering gunakan fasilitas yang ada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) sebagai sarana beribadah.
“Ibadah bulanan kami sering pake fasilitas dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis seperti ruang BEM-nya [Badan Eksekutif Mahasiswa] kayak gitu” papar Anita.
Anita bilang kemudahan peminjaman fasilitas yang diberikan oleh FEB membuat ia belum terpikirkan untuk pembuatan rumah ibadah khusus di lingkungan kampus.
Chandro Nainggolan yang juga merupakan perwakilan Pomkris setujui apa yang disampaikan Anita. Namun, ia menambahkan bahwa mereka memiliki kendala lainnya. Seperti penggunaan fasilitas Pendopo Putih yang tidak boleh lebih dari jam sembilan malam.
“Mungkin ya itulah kebijakan dari UNRI-nya.” Chandro menduga.
Chandro berharap agar ada tempat khusus untuk mereka agar tidak mengganggu mahasiswa lain yang mungkin sedang belajar.
“Kalau dipakai terganggulah orang belajar atau apalah disana,” ujarnya.
Lebih lanjut, Chandro yang juga merupakan Mahasiswa Agroteknologi itu membagikan kisahnya selama berada di Himpunan Mahasiswa (Hima) Agroteknologi.
“Aku merasakan tidak adanya toleransi beragama ini diawal aku masuk Hima, yang memang gak ada gitu kata sambutan atau ucapan yang mengarah ke kami-nya, kayak shalom atau apa gitukan,” jelasnya.
Melihat itu, Chandro memilih mengundurkan diri dari Hima tersebut. Ia merasa tidak dirangkul disana.
Khariq menanggapi apa yang disampaikan oleh Chandro, ia mengatakan bahwa Hima itu bersifat sistematis. Bukan masalah dari sumber daya manusianya, akan tetapi telah adanya sistem yang diatur dari atas. Hal ini mengakibatkan sulit mengubahnya, karena sudah bertahun-tahun.
Ada pula perwakilan dari Persaudaraan Mahasiswa/Mahasiswi UNRI Budhis (Permuridhis) Kelvin Susanto, ia menganggap bahwa dari semua fakultas yang ada, FEB memiliki toleransi antar umat beragama paling tinggi.
Kelvin juga menambahkan bahwa dari fakultasnya sendiri yaitu Fakultas Teknik (FT) kurang dalam hal toleransi.
“Memang diteknik sendiri untuk toleransi itu memang masih kurang,” ucap Kelvin.
Kelvin jelaskan pula yang jadi kendalanya tidak jauh-jauh dari fasilitas ibadah hingga tidak adanya pembangunan rumah ibadah agamanya. Kelvin berharap pula adanya sekretariat khusus yang akan mempermudah mereka nantinya.
Sejalan dengan Kelvin, Joseph Erlangga katakan FEB mempunyai toleransi agama yang tinggi.
“Bisa menerima kami, walau kami minoritas gitu ya,” ucapnya.
Lanjutnya, Permuridhis berharap agar UNRI lebih terbuka dengan agama lain sehingga mereka bisa bebas berekspresi.
Terakhir, peserta diskusi sepakat akan adanya podcast lintas agama nantinya. Tujuannya guna membahas masalah ini lebih lanjut dan agar mereka lebih didengar.
Penulis: Melvina Yunisca
Editor: Fitri Pilami