“Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua, yakni mental culas dan tahan malu,” tandas Bivitri menutup film Dirty Vote.
Film dokumenter garapan Dirty Vote rilis di YouTube pada Minggu (11/2). Membongkar berbagai dugaan kecurangan menuju Pemilu 2024. Film berdurasi I jam 57 menit 22 detik ini disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, Jurnalis investigasi yang kerap buat kritik kebijakan pemerintah lewat film.
Tiga ahli hukum tata negara jadi dokumenter eksplanatori dalam film ini. Ialah Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti.
Kata mereka Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Harapnya perilisan film ini mendidik publik agar sadar bahwa politisi telah mempermainkan publik pemilih hanya untuk memenangkan kepentingan mereka.
“Film ini adalah sebuah monumen, tagihan, dan pengingat kita bahwa kita memiliki peranan besar dalam melahirkan orang yang bernama Jokowi,” ujar Zainal.
Zainal Arifin Mochtar ersorot utama dalam jalannya film. Ia berpendapat pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 kemungkinan akan terjadi satu putaran. Ini dilihat dari elaktibilitas Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (capres cawapres) yang ada.
Ia katakan kemungkinan dikotomi apabila tidak terjadi dalam satu putaran. Dalam kasus ini pun kemungkinan munculnya gerakan empat jari, di mana tergabungnya koalisi pendukung 01 dan 03, jelasnya.
Lalu Feri Amsari, ia ungkap bagaimana syarat terjadinya satu putaran. Ialah menerima lebih dari 50 persen suara, dengan 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Feri sampaikan suara ini tak lepas dari campur tangan pejabat gubernur di setiap daerah. Disebutkan bahwa pemerintahan daerah memiliki peran penting dalam hal seperti izin tempat kampanye, sampai mengenai adanya bantuan sosial. Sedikit kasus yang ditemukan bahwa banyak pemerintah daerah yang tidak netral.
Pembahas selanjutnya yakni Bivitri Susanti, ia menyetujui pendapat Feri. Munculnya politisasi bantuan sosial yang dibuktikan dengan naiknya bantuan sosial setiap akan adanya pemilu. Bahkan di tahun 2024, pada bulan Januari pemerintah sudah menghabiskan 78,06 triliun rupiah. Angka ini lebih besar jika dibandingkan bansos semasa pandemi Covid-19.
“Apakah upaya itu merupakan cara untuk meningkatkan kesejahteraan, atau hanya untuk populisme belaka?” tanyanya.
Disebut pula oleh Bivitri, Jokowi yang menjalani politik gentong babi. Istilah baru ini bermakna cara politik yang menggunakan uang negara untuk digelontorkan daerah-daerah pemilihan oleh politisi. Tentu saja, tujuannya supaya dirinya terpilih kembali. Jokowi tampak miliki ambisi supaya penerusnya meneruskan kepemimpinannya kembali.
Keterlibatan menteri dalam menjabat serta keterlibatannya dalam Pemilu tak luput dari pembahasan. Diketahui ada dua menteri yang mencalonkan diri sebagai capres cawapres. Ialah Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, dan Mahfud MD sebagai Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan.
Menurut pasal 18 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023, menteri yang telah menyalonkan diri boleh berkampanye. Namun, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Seperti pengajuan cuti dan tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas negara.
Namun tak serupa seperti kenyataannya. Misalnya pada akun Kementerian Pertahanan, menggunakan hastag Prabowo-Gibran dalam salah satu cuitannya. Ujar Bivitri ada syarat sendiri yang harus dipenuhi agar bisa berkampanye.
Lalu, bagaimana dengan presiden?
Kalau melihat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 299 dan Pasal 281, presiden diperbolehkan untuk kampanye. Dijelaskan presiden hanya boleh diikutsertakan sebagai peserta bukan sebagai penyelenggara.
Catatan lainnya, presiden harus cuti dari kepemimpinannya jika tetap ingin ikhtiar mengenalkan salah satu paslon. Dan tidak menggunakan fasilitas negara. Berupa kendaraan dinas, gedung dinas, rumah dinas, dan lainnya yang dibiayai oleh APBN.
Tentunya lagi-lagi ini tak sejalan dengan aturan yang tertulis. Layar menampakkan dugaan Ibu Negara Iriana yang menampakkan pose dua jari. Dari mobil kepresidenan yang merupakan fasilitas negara.
Ketiga ahli hukum dan tata negara itu pun ulas peran Bawaslu yang tak berdaya dan gagal dalam menangani berbagai kecurangan dalam Pemilu ini. Sampai kini Badan Pengawas Pemilu hanya berani mengambil tindakan peneguran.
Tak hanya Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun gagal dan melakukan tebang pilih dalam menjalankan putusan pengadilan.
Sebagai bukti nyata, film ini tayangkan beberapa rekaman kecurangan anggota KPU dengan pihak yang ingin memenangkan salah satu Paslon.
Pembahasan puncak ialah mengenai pengesahan peraturan MK terkait umur capres cawapres. Keputusan berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah timbulkan kejanggalan. Nama yang jadi sorotan ialah Mantan Ketua MK Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran.
Selang beberapa lama setelah pengesahan putusan MK, Gibran pun terdaftar sebagai Cawapres yang berdiri bersama Prabowo sebagai pasangannya.
Film yang patut diacungin jempol ini dikemas dengan data dan fakta yang kompleks. Membawa penonton dapat memahami dengan jelas pesan dan isi yang disampaikan.
Dalam kurun waktu 24 jam film ini telah ditonton lebih dari 6 juta kali di YouTube. Perilisan film ini pun mendapati tanggapan berbeda dari tiap respon tim sukses.
Melansir dari tempo.co, Tim Nasional Pemenangan Amin, ujarkan film ini menyoroti berbagai kecuranga pada Pemilu 2024. Lewat Juru Bicara Iwan Tarigan, ia katakan film dokumenter ini menjadi pendidikan bagi masyarakat. Tentang kotornya permainan dalam politik yang hanya mengutungkan beberapa kelompok dan golongan.
Sementara itu Habiburokhman, Wakil Tim Kampanye Nasional paslon 02 bilang film ini berisi fitnah dan narasi kebencian. Ia pun mempertanyakan kapasitas tokoh yang ada di film ini.
Lalu Tim Penenangan Nasional Ganjar Mahfud pun katakan film ini banyak berisi hal positif. Todung Mulya Lubis harap tidak adanya baper atau membawa perasaan dari film ini. Tegasnya, krtitik pun dibalas dengan kritik.
Penulis: Nur Wachida Olivia
Editor: Arthania Sinurat