Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi taja Konferensi Pers bertajuk Stop Diskriminasi dalam Revisi UU Penyiaraan. Konferensi berlangsung daring melalui Zoom meeting, pada Selasa (21/5).

Hal yang menjadi sorotan dalam konferensi tersebut ialah Pasal 50B Ayat 2 Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran. Berisi larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigasi. Jurnalisme investigasi ialah aktivitas penelusuran panjang dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Ma’ruf Bajamma beri suara. Ia mengkritik RUU ini tidak sesuai dengan standar dan kaidah yang baik. Menurutnya secara bentuk RUU ini cacat, dari sisi kualitas tidak sesuai dengan peruntukannya. Sementara itu, dari sisi prosedur RUU ini tidak partisipatif dan tergesa-gesa dalam pembuatannya.

“RUU ini cacat dan harus ditolak karena yang dituju sebagai penyiaran telah berubah menjadi penyensoran,” tegasnya.

Lalu dari Jakarta Feminist Astried Permata, mengaku khawatir terhadap dampak RUU ini. Menurutnya akan berdampak pada jurnalisme investigasi dan upaya masyarakat dalam mengungkap kasus-kasus penting. Ia bilang Jakarta Feminist akan menggugat RUU penyiaran ini karena membatasi gerak jurnalis investigasi.

“Banyak liputan yang memuat proses kasus di digital saat ini. Ini akan menghambat para jurnalis investigasi, selebgram, dan masyarakat dalam mengungkap kasus-kasus yang sebenarnya terjadi,” jelasnya.

Selain itu, beberapa anggota DPR yang mendukung penundaan pembahasan RUU ini juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama. Mereka berpendapat bahwa undang-undang yang berdampak luas pada masyarakat harus dibahas dengan cermat dan tidak tergesa-gesa.

Direktur Remotivi Yovantra Arief menyetujui hal itu. Menurutnya RUU Penyiaran ini hanya melegitimasi praktik bisnis penyiaran. Mengotori eksistensi lembaga penyiaran publik lokal dan mencampuradukkan pengaturan penyiaran dengan platform digital. Serta melarang penayangan produk jurnalis dan wewenang dalam sensor.

“RUU ini dibuat tergesa-gesa karena cuma dirancang hanya dalam waktu lima bulan saja,” jelasnya.

Direktur SAFEnet Nenden buka suara. Ia berharap dengan adanya desakan dari berbagai pihak, diharapkan DPR dapat mempertimbangkan kembali pembahasan RUU Penyiaran.  Juga undang-undang yang dihasilkan nantinya mendahulukan kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

“Kita harus terus mengawasi bagaimana negara ini bekerja untuk memastikan tidak ada lagi perampasan hak asasi manusia,” ucapnya.

Tak ketinggalan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nany Afrida mendesak agar proses penyusunan RUU dilakukan dengan lebih inklusif dan transparan. Ia juga menegaskan perlunya partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok minoritas.

Tambahnya, DPR perlu untuk menghentikan proses legislasi RUU Penyiaran dan memulai ulang penyusunan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan publik.

Melalui Dila dari Kalyanamitra, Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi menyatakan sikap bahwa:

Hentikan pembahasan RUU Penyiaran dalam prolegnas 2024 dan memulai kembali penyusunan RUU di periode DPR selanjutnya dengan pelibatan yang berarti dari stakeholder dan publik dengan beberapa catatan penting, yakni:

  1. Menghapus pasal-pasal diskriminatif dalam revisi UU Penyiaran karena mendiskriminasi orang-orang atau kelompok tertentu melanggar Konvensi CEDAW atau Konvensi anti Diskriminasi Terhadap Perempuan. Pemerintah Indonesia di tahun 1984 meratifikasi CEDAW yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984.
  2. Menghapus pasal-pasal pembungkaman pers, tumpang tindih kewenangan KPI dan Dewan Pers, sekaligus stop memperbesar pemusatan kepemilikan media.

Penulis: Rias Smith Vareldha

Editor: Arthania Sinurat