Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Rektor Universitas Riau tentang pemberian konsumsi saat pelaksanaan seminar proposal, hasil dan sidang sarjana timbulkan tanda tanya. Pasalnya, aturan yang diterbitkan sebagai larangan memberi konsumsi pada dosen penguji belum dijalankan sesuai perintah. Beberapa ‘oknum’ dosen penguji tampak ngeyel dengan adanya larangan gratifikasi ini.
SE bernomor 6872 tahun 2023 ini memuat tentang Integritas Akademik dan Zona Integritas Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Kegiatan Akademik di Lingkungan Universitas Riau (UNRI). Bermandat, penguji sidang di lingkungan UNRI tak lagi diperkenankan untuk diberi buah tangan dan konsumsi.
Realitanya, tatanan ini tak diindahkan. Mahasiswa Pendidikan Biologi M. Farhan mengaku heran sebab beberapa dosen ada yang mengungkit pemberian konsumsi ini.
“Saya kira setelah surat edaran keluar sudah berbeda, eh ternyata sama aja,” keluhnya.
Farhan bagikan pengalamannya saat akan melakukan seminar hasil. Ia mengira tidak ada lagi iuran untuk konsumsi usai disebarkannya SE tersebut. Sehingga tak perlu membawa buah tangan ataupun konsumsi untuk dosen.
Namun saat ia dan teman-temannya berkumpul untuk mendengarkan arahan seminar hasil dari pihak program studi (prodi), ada perbincangan mengenai pemberian konsumsi untuk penguji.
“Saya tahu surat edaran sudah keluar. Tapi masak iya kalian nggak mau ngasih snack untuk konsumsi dosen? Kan dosen sudah meluangkan waktu untuk bisa hadir menguji mahasiswa yang lagi seminar,” Farhan mengucapkan ulang perkataan staf prodi tersebut.
Ia cukup bingung dengan pernyataan staf saat itu. Hanya saja Farhan dan teman-temannya tetap mengiyakan untuk membawa konsumsi demi kelancaran kelulusannya.
“Saya juga mau tamat,” tuturnya.
Awalnya, Farhan mewajarkan adanya konsumsi yang disediakan saat sidang. Namun menurutnya tentu tidak wajar apabila sudah ditetapkan, apalagi telah disahkannya surat edaran mengenai larangan pemberian konsumsi. Ia juga mempertanyakan sikap pegawai prodi yang kontra dengan aturan tersebut.
Puncaknya saat sidang hasil, ia dengan teman-temannya tetap menghidangkan kudapan. Tapi tak seperti biasa di fakultas keguruan, mereka sajikan dengan hal yang berbeda. Misalnya yang sebelumnya adalah nasi kotak, kala itu mereka berikan nasi bungkus.
“Biar lebih murah aja,” jelasnya.
Mahasiswa angkatan 2019 ini pun ujarkan variasi harga konsumsi. Berdasarkan pengalamannya, iuran berdasarkan pada banyak mahasiswa yang ikut seminar dan sidang skripsi. Semakin banyak yang ikut sidang skripsi maka pengeluaran akan lebih murah. Begitu pula sebaliknya.
“Saya kenaknya sekitar 130 ribu, karena cukup ramai yang ikut sidang,” kata Farhan.
Usai Farhan dan konco memilih nasi bungkus sebagai konsumsi, mencuat larangan untuk tidak memberi nasi bungkus. Memberikan nasi kotak lebih dianjurkan. Alasannya karena nasi kotak lebih layak sebab nasi dan lauknya disusun terpisah. Berbeda dengan nasi bungkus yang dicampur jadi satu, jika tidak langsung dimakan kemungkinan akan basi.
Tak hanya berpasrah diri. Farhan bilang ia pernah laporkan pelanggaran aturan ini ke himpunan mahasiswa (Hima) jurusannya, namun pembelaan tak kunjung didapatkan. Ia pun diskusikan isu ini dengan Gubernur Mahasiswa FKIP. Jawabannya diminta buat laporan ke Hima. Bendera putih ia kibarkan, Farhan menyerah dan memilih pasrah.
“Pernah sampaikan ke Hima bahkan Gubma [gubernur mahasiswa], tapi tak mendapatkan tanggapan,” tuturnya.
Selain mengadu pada Hima, Farhan pernah bincangkan hal ini pada dosen pembimbingnya, Firdaus. Wakil Dekan III FKIP UNRI ini tak sependapat dengan adanya pemungutan konsumsi saat sidang. Menurutnya pengutipan ini dapat mengganggu independensi dosen dalam memberi nilai.
Tutur Farhan, mahasiswa tak sepantasnya menanggung penyediaan konsumsi sebab mahasiswa tak miliki tanggung jawab tersebut. Pun hal ini tak ada tertulis dalam aturan yang disepakati. Uang Kuliah Tunggal atau UKT yang dirutinkan bayar per semesternya harusnya sudah meliputi seluruh kegiatan mahasiswa yang dimaksud.
Setali tiga uang, ada M. Jaya yang juga keluhkan hal serupa. Mahasiswa lulusan Teknologi Hasil Pertanian ini tuturkan ada dosen yang menyinggung perihal konsumsi. Dirinya mendengarnya dari mahasiswa lain yang berbeda kelas dengan dia.
“Saya gak suka susu ya, kalau Buavita okelah saya mau,” kata Jaya memperagakan.
Ujar Jaya lagi, permintaan konsumsi terjadi berulang kali sebelum SE disahkan. Namun usai ketuk palu, Jaya bilang tak pernah lagi mendengar.
Kini Jaya lanjut pendidikan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Kerap ia bandingkan sistem ini dengan UNRI yang tentunya berbeda. Pengamatannya, Jaya tak menemukan pungutan serupa seperti di Kampus Biru Langit itu. Ia berharap UNRI bisa mengevaluasi kebijakan ini secepatnya. Misal dengan menyediakan air minum yang diperuntukkan dosen.
Berbeda dengan dua orang sebelumnya dan terlepas adanya surat edaran yang telah diteken, Fitrisahla bilang tidak keberatan terkait penyediaan konsumsi untuk dosen. Ia berpegang, kalau dosen lapar atau haus saat sidang berlangsung hal itu akan memperlambat waktu sidang mereka.
“Nanti kalau ibu nya haus atau lapar, kan harus keluar ruangan. Nah akan semakin lebih lama,” kilahnya.
Fitri pun wajarkan hal demikian karena sidang hanyalah berlangsung beberapa kali. Bukan hal yang membebankan sebagai ucapan terima kasih.
“Inisiatif aja sih, kan cuman tiga kali saja memberikannya untuk ucapan terima kasih,” ucapnya.
Mahasiswi Pendidikan Masyarakat ini pun ujarkan kalau prodinya tak ada meminta iuran sebagai konsumsi dosen. Akan tetapi jika berkeinginan dipersilakan, dan tidak dipermasalahkan apabila enggan.
Berdasarkan angket yang disebar BM dalam kurun waktu satu bulan lamanya, ada sepuluh mahasiswa melaporkan keluhan serupa. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Fakultas Perikanan dan Kelautan paling banyak mengisi, ada tiga orang. Disusul dua orang dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Lalu dari Fakultas Hukum, dan Pertanian. Masing-masing berjumlah satu orang.
Menampik hal tersebut Wakil Rektor Bidang Akademik UNRI Mexsasai Indra berpendapat. Ia jelaskan tujuan rektor mengeluarkan SE tersebut. Pertama peraturan dikeluarkan untuk menertibkan adanya potensi yang memicu diskriminasi antar mahasiswa. Hal ini dilihat berdasarkan latar belakang mahasiswa yang berbeda-beda.
Lanjutnya, jika pemberian konsumsi merupakan hal wajib, itu akan mempengaruhi perlakuan dosen pada mahasiswa, yang bisa saja tidak adil. Maka sejalan-lah tujuan ini dengan pernyataan yang disampaikan oleh Firdaus.
“Mencegah terjadinya diskriminasi antar mahasiswa,” ucap Mexsasai.
Imbaunya lagi, mahasiswa yang masih mendapati sindiran atau kewajiban menyediakan konsumsi ini dapat mengirim laporan padanya. Melalui pesan pribadi WhatsApp atau media apapun. Bersyarat disertai bukti yang dapat dipercaya.
Lanjut Mexsasai kembali, hal ini akan ada proses pemberitahuan dan pembinaan terkait surat edaran yang telah dikeluarkan. Yakinnya tak semua dosen melakukan pungutan tersebut.
“Saya yakin hanya sebagian oknum yang melakukannya,” tutur Mexsasai.
Bagi Mex, aturan ini belum bisa dijalani secara penuh karena belum adanya pembiasaan. Menurutnya, persepsi antara dosen dan mahasiswa belum sama, . Mengubah kebiasaan yang sudah dijalani selama tahunan tak semudah membalik telapak tangan.
Tak putus harapan, Mex katakan memperbaiki lebih baik daripada tidak sama sekali. Karena jika tidak begitu mahasiswa akan cenderung untuk selalu mengalah.
Bibit Korupsi dari Gratifikasi
Seyogyanya pemberian konsumsi ataupun hadiah pada penguji bukanlah hal yang bisa diwajarkan. Modus ucapan terima kasih ini dapat terbilang operasi gratifikasi. Ialah memberi barang sebagai ucapan terima kasih, rasa syukur, dan balas jasa. Apabila dibiarkan lahirkan bibit korupsi jenis penyuapan.
Melansir penelitian Mochammad Azmi, berjudul Gratifikasi dalam Lingkungan Pendidikan di Indonesia: Sebuah Tantangan dalam Pendidikan yang Berkemajuan. Gratifikasi menjadi persoalan lantaran mempengaruhi adanya kualitas dan layanan yang diberikan. Sama halnya seperti di kampus, muncul kekhawatiran dosen tidak adil memberi penilaian lantaran adanya gratifikasi.
Budaya ramah tamah di ranah pendidikan ini mesti dihentikan. Sri Indarti sebagai orang nomor satu di UNRI haruslah memutuskan dengan tegas rantai penyebab korupsi ini. Karena berdampak merusak proses pembelajaran dan sistem pendidikan di universitas.
Penulis: Nola Rahma Aulia