Lagu Buruh Tani digaungkan oleh ribuan mahasiswa yang bergerak menuju Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau, Jumat (23/8). Disertai atribut seperti bendera kelembagaan
mahasiswa, baliho, serta spanduk bertuliskan “Tolak Politik Dinasti”.
Aksi unjuk rasa ini merespon tindakan Badan Legislasi DPR (Baleg DPR) yang membahas RUU Pilkada pada Rabu (21/8). Langkah Baleg DPR dinilai sebagai upaya menganulir putusan MK yang membahas peryaratan pencalonan kepala daerah.
Bukan hanya dari Universitas Riau (Unri), aksi berkomposisi berbagai universitas di Riau. Di antaranya Universitas Lancang Kuning (Unilak), Universitas Islam Riau (UIR), Universitas Hang Tuah, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
“Merdeka, merdeka!“ teriak seorang manusia silver di lampu merah yang melihat rombongan massa aksi demo. Beberapa warga sipil yang lewat turut menyemangati lewat kepalan tangan.
Pukul tiga sore massa dari Unri tiba di kantor DPRD, menyusul dari Unilak yang lebih dulu tiba. Para mahasiswa ini pun bergulir menyampaikan orasinya. Sementara itu para aparat berjajar di depan pagar DPRD menguatkan barisan.
“Kami tidak terima, anak pemimpin anak ‘Raja Jawa’ untuk menuju bangku penguasa,” kata Rialdy mahasiswa Unri.
“Kau datang hari-hari kemarin ke rumah kami, meminta suara kami agar dipilih, sekarang kau sembunyi!” ucap mahasiswa Unilak dari atas bak mobil.
Orasi terus berlanjut dan berganti ke mahasiswa lainnya. Hingga pukul setengah empat sore, ricuhan terjadi dengan adanya pelemparan minuman gelas ke arah barisan polisi yang berbarengan dengan turunnya hujan. Kapolersta Pekanbaru Kombes Pol Jeki Rahmat Mustika SIK pun mengingatkan pada massa supaya tetap tenang dan tidak terprovokasi.
Dorongan antar mahasiswa dengan aparat makin terjadi, mengakibatkan adanya pemukulan yang dilakukan oleh dugaan polisi.
Puncaknya, Presiden Mahasiswa (Presma) Unri Muhammad Ravi dan Presma UIR Ahmad Deni mengalami luka darah di kepala, mahasiswi dari Unri tak sadarkan diri, dan juga satu polisi mengalami luka.
“Kita enggak merasakan (luka) sebenarnya. Saya pribadi karena sudah di lapangan gitu, pinginnya berjuang saja tidak merasakan terluka, tidak merasakan sakit, maka tidak merasakan juga kalau cucuran darahnya mengalir,” ucap Ravi.
Kericuhan kian berlanjut dengan adanya penembakan gas air mata ke arah kumpulan mahasiswa. Para massa berteriak, berlari, dan menghindar guna melindungi diri. Para polisi menggunakan atribut pelindung diri yang lengkap.
Pukul 16.36 WIB, Wakil Ketua DPRD Riau H. Hardianto turun menjumpai massa aksi. Ia naik ke atas mobil komando dengan kemeja berwarna putih.
“Pertama, kami mohon maaf. Apa pun yang sudah terjadi hari ini, semua kawan-kawan Kepolisian bekerja sesuai SOP,” ujar Hardianto.
Perkataannya memicu keributan, para mahasiswa tidak menerima pernyataannya. “Mana ada yang berdarah [disebut] SOP?” tanya satu massa aksi meneriakkan pertanyaan yang sama berulang kali kepada Hardianto yang berdiri di atas mobil komando.
Ditengah keributan itu, ia meminta para mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi. Sontak perkataannya kembali memicu keributan.
“Tadi saya sudah keluar, tapi karena kena lemparan aqua [air] dari belakang, akhirnya sesuai SOP saya masuk lagi ke dalam,” katanya.
Lebih lanjut, ia bilang DPRD dan Mahasiswa mempunyai tujuan yang sama dalam hal ini, yaitu sama-sama menolak revisi RUU Pilkada.
Setelahnya, Wakil Presma UIR membacakan Pernyataan Sikap yang dilayangkan untuk DPRD. Disusul oleh Presma Unri yang turut menyatakan Pernyataan Sikap, dilanjutkan oleh Gubma Fakultas Teknik Unilak, dan terakhir dari Presma STIE Riau.
Secara bergiliran, surat-surat dari berbagai universitas itu ditandatangani oleh Hardianto dihadapan seluruh massa aksi. Setelahnya, ia meminta lembaran tuntutan yang bagus kepada setiap universitas dikarenakan lembaran tuntutan basah sebab hujan.
Aksi demo Jumat itu ditutup dengan doa. Setelahnya, beberapa dari massa mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan usai aksi. Meskipun masih tampak sisa-sisa sampah yang berserakan di sekitar trotoar.
Mahasiswa berencana melanjutkan aksi mereka jika tuntutan tidak dipenuhi.
Respon Mahasiswa Terkait Demo
Pradiva Priya Amanda, mahasiswa UIR berharap agar RUU Pilkada ini tidak disahkan.
“Kehadiran kami ini untuk mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang di antaranya adalah Putusan 60 dan 70. Keputusan tersebut memberikan ambang batas pencalonan kepala daerah, sehingga memberikan kesempatan bagi calon yang tidak mendapatkan suara di partai,” ujar Pradiva.
Ia menegaskan bahwa jika RUU ini disahkan, maka KPU tidak boleh menerapkannya.
Sementara itu, Badriah, mahasiswi dari Universitas Hang Tuah mengatakan meski tidak ada konsolidasi resmi di kampus sebelum aksi demo, Presiden Mahasiswa Universitas Hangtuah tetap mengarahkan mahasiswa untuk ikut serta dalam aksi penolakan RUU Pilkada 2024.
“Harapan kami, RUU Pilkada 2024 ini segera dicabut, karena jika yang diusulkan DPR itu naik, maka hierarki pemerintah akan dijajah,” ucap Badriah.
Tak hanya itu, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Riau juga menyatakan motivasinya untuk turun demo di Jalanan Jenderal Sudirman itu. Firdaus bilang DPR sudah mengangkangi MK.
“Sejauh ini kita tengok hanya ulah satu keluarga satu negara ini di obrok-obrok. Sekarang mereka sudah mulai menampakkan secara terang-terangan mengangkangi MK, kita tidak boleh diam kita harus lawan!” ucapnya.
“Kita harus hormati dan taati keputusan dari MK,” lanjut Firdaus.
Penulis: Fitriana Anggraini, Puput Savitri, Dinda Sufi Alifah, Rias Smith Veraldha, dan Melvina Yunisca
Editor: Ellya Syafriani