Film Believe: The Ultimate Battle, Bermula dari Operasi Seroja 

Believe: The Ultimate Battle adalah salah satu film drama aksi terbaru Indonesia. Mengisahkan seorang pemuda bernama Agus. Anak prajurit yang meninggal karena kecelakaan roda dua. Disutradarai Rahabi Mandra, film ini tak hanya menyajikan pertempuran dan aksi militer. Tetapi juga memperlihatkan dinamika batin manusia. Terutama ketika dihadapkan pada kehilangan, harapan, dan perjuangan untuk menemukan jati diri.

Kisah bermula saat Dedy Unadi, ayah Agus, pulang dari Operasi Seroja 1975. Hubungan keluarganya semakin renggang hingga sang ayah menerima keputusan ibunya untuk berpisah. Sudah tak tahan melihat penderitaan yang mereka alami selama Dedy menjadi prajurit. Hidup Agus yang sederhana dan sering dicemooh membuatnya menjadi anak yang nakal dan penuh kemarahan.

Namun, titik balik hidupnya terjadi ketika ia mulai menyadari betapa besar pengorbanan yang dilakukan sang ayah. Kesadaran itu menumbuhkan niat dan tekad dalam dirinya untuk mengikuti jejak Dedy sebagai seorang tentara. 

Transformasi Agus digambarkan cukup menyentuh dalam setiap adegan film ini. Penonton dibawa menyelami perjalanan emosionalnya. Mulai dari dari masa kecil yang penuh lika-liku, proses masuk akademi militer, hingga penugasannya ke Timur yang penuh resiko dan tantangan. 

Di tengah tugas militernya Agus diperintahkan menjadi pelatih pasukan khusus pengibar bendera dan bertemu dengan Evi. Perempuan yang menarik perhatiannya. Salah satu dialog paling menyentuh dalam film ini diucapkan oleh Evi, ketika Agus hendak berangkat tugas: “Kalau kamu pulang tangannya gak ada, aku bakal belajar main gitar. Kalau kamu pulang kakinya gak ada, aku bakal belajar bawa motor buat boncengin kamu. Yang penting, intinya kamu pulang.” 

Pengambilan gambar terutama pada adegan pertempuran dilakukan dengan cukup apik. Sinematografinya tidak berlebihan, namun mampu menyampaikan suasana dan ketegangan yang sesuai. Penataan artistik dan kostum juga cukup kuat meskipun ada beberapa kekurangan teknis kecil, seperti efek pendarahan yang terasa kurang realistis dalam beberapa adegan. Musik latarnya memperkuat suasana, meski tidak terlalu dominan. Tata suara dalam film ini juga cukup memadai untuk menggambarkan atmosfer medan tempur yang intens.

Film ini ditutup dengan memvisualisasikan hubungan emosional antara Agus dan Dedy. Dimana terdapat adegan flashback yang memperlihatkan momen kebersamaan Agus kecil bersama sang ayah. Film ini sukses menggugah perasaan penonton melalui eksplorasi tema ayah-anak. 

Namun, bukan berarti film hadir ini tanpa cela. Terdapat beberapa kekurangan yang cukup mencolok, kurangnya detail misi militer Agus. Siapa sebenarnya target utama yang diburu Agus? Apa urgensinya? Latar belakang ibu dan saudara perempuan Agus juga terkesan hilang begitu saja dari cerita, padahal sempat ditampilkan di awal.  Salah satu adegan perkelahian di puncak konflik juga terasa kurang logis, Agus bertarung sendirian dalam duel final tanpa bantuan rekan tentaranya yang sebenarnya masih ada.

Film Believe: The Ultimate Battle bukan sekadar film perang. Tetapi juga film tentang keluarga, rasa kehilangan, dan tentang harapan. Film ini cocok ditonton oleh orang dewasa, terutama yang memiliki keterkaitan dengan dunia militer atau pernah merasakan kehilangan orang tercinta.

Pewarta: Nurul Ain Ninda Pramesti
Penyunting: M. Rizky Fadhillah