Menyambut 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, Marsinah.id menggelar webinar dengan tema Peran Perempuan di Dalam Perjuangan Kemerdekaan via Zoom pada Selasa, 26 Agustus 2025. Webinar menyoroti perjuangan perempuan di masa kemerdekaan yang hilang dari catatan sejarah.
Moderator Acara, Iroy Mahyuni berpendapat jika perjuangan perempuan Indonesia di masa kolonial harus dikenang. Sebagai inspirasi perempuan masa kini melawan diskriminasi, ketidakadilan, serta perjuangan kesetaraan gender. Pembentukan narasi perempuan oleh media arsip terhadap gerakan perempuan saat ini menjadi sorotan.
Hadir sebagai narasumber, Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Yuni Asriyanti membuka dengan sejarah Komnas Perempuan yang lahir ketika kerusuhan 1998. Lembaga ini berdiri untuk mencegah, menanggulangi kekerasan, hingga menjaga hak terhadap perempuan di Indonesia.
Yuni menyoroti dua kutipan pejuang perempuan. Surat Eyang Nani yang mengisahkan luka penyintas 1965 dan Perlawanan Suwarni Pringgodigdo dalam menentang praktik poligami. Sebagai bentuk perjuangan perempuan dalam memerangi kolonialisme dan feodalisme. “Termasuk di dalamnya adalah budaya patriarki, yang pada saat itu mengatur secara tegas bagaimana relasi dan dinamika gender di dalam keluarga,” ungkap Yuni.
Peran perempuan acapkali dilihat sebagai pelengkap perjuangan kemerdekaan. Pendukung dibalik layar, bukan pelaku utama sejarah. Di tahun 2023 sendiri, pengakuan resmi terhadap pahlawan perempuan oleh negara hanya mencakup 16 nama. Berbanding terbalik dengan laki-laki, sekitar 190 nama. Menurutnya, ini adalah ketidakmauan negara mengakui tokoh perjuangan perempuan.
Wanita yang sudah 15 tahun mendedikasikan dirinya untuk hak-hak perempuan dan kesetaraan gender itu merujuk apa yang disampaikan Susan Blackburn. Gerakan perempuan di Indonesia bukan hanya pendamping pergerakan nasional. Melainkan opsi penting dari perjuangan kemerdekaan. “Hanya saja negara kerap mengontrol dan kemudian membatasi peran-peran tersebut pada ranah domestik dan simbolik,” ucap Yuni.
Isu-isu yang dibicarakan dalam Komnas Perempuan sejak tahun 1928 pun masih menjadi permasalahan yang belum selesai hingga sekarang. Seperti penghapusan perkawinan paksa, akses perempuan terhadap pendidikan, partisipasi perempuan di ruang publik, hingga prostitusi.
Ini menimbulkan makna ganda dari kemerdekaan bagi perempuan. Mereka harus bebas dari segala bentuk penindasan atas tanah, kedaulatan, serta seksualisasi tubuh. Juga bebas dari budaya patriarki yang membatasi gerak perempuan di ruang domestik.
Sesi berikutnya diisi Ketua Ruang Arsip Sejarah (RUAS) Perempuan, Ita Fatia Nadia. Ita turut menyoroti peran perempuan yang kerap dilupakan dalam sejarah. Konstruksi gender, patriarki, interseksionalitas, dan peran perempuan yang kerap dikesampingkan menjadi penyebab. Tidak hanya bias, tapi juga menguntungkan salah satu gender.
“Perempuan dan laki-laki dikonstruksikan secara berbeda dalam merumuskan kebangsaan. Jadi, kebangsaan dirumuskan oleh pandangan maskulin. Laki-laki ditampilkan dalam buku sejarah sebagai pahlawan, pemimpin, dan raja. Sedangkan perempuan ditampilkan sebagai ibu bangsa,” kata Ita.
Ia mengungkapkan keresahan terhadap masyarakat yang sering salah mengartikan kata ‘ibu bangsa” sebagai capaian. Padahal kata tersebut mengkotakkan perempuan dalam urusan domestik menjaga nilai moral bangsa, sementara laki-laki sebagai pemimpin.
Di masa kolonial, perlawanan perempuan hadir melalui surat. Banyak diantaranya rusak akibat penolakan karena dianggap sesuatu yang tidak penting. Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama untuk memperjuangkan kemerdekaan sekalipun termasuk ke dalam jajaran orang penting. Surat Kabar Wanita Soelo yang dipimpin oleh Siti Sundari salah satunya. “Sebagai penulis perempuan dia menggunakan nama samaran menjadi Abudrrohman agar diterima,” ujar Ita sebelum menutup sesi.
Terakhir, Jurnalis Kompas TV, Julia Nur Rochmah membuka dengan peran perempuan dalam perang-perang revolusi. Mereka sering disimbolkan hanya mengatur logistik, memasak di dapur umum, kemudian membawa pesan dan melakukan aktivitas medis. “Bagi kami narasi tersebut membuat perempuan makin dikesampingkan,” ungkap Julia.
Baginya, peliputan berita cenderung mengindustrikan narasi maskulinitas laki-laki dalam peperangan. Padahal seharusnya ada ruang penting untuk mengangkat peran perempuan yang tidak kalah signifikan. Sulitnya media memberitakan pahlawan perempuan akibat keterbatasan data untuk diunggah. Menunjukkan ketimpangan dalam catatan sejarah, ketika kontribusi perempuan sering kali terpinggirkan dan kurang terdokumentasi secara mandiri.
Pewarta: Mutiara Ananda Rizqi
Penyunting: M. Rizki Fadilah