TAUD Temukan Cacat Prosedur dan Kriminalisasi Kritik dalam Kasus Khariq

Tim Advokasi untuk Demokrasi atau TAUD menggelar pers rilis kasus Khariq Anhar via Zoom. TAUD membuka detail baru terkait kasus yang menimpa Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian 2023 itu pada Senin, 1 September 2025.

TAUD mempertanyakan laporan penangkapan milik Khariq. Pasalnya Baringin Jaya Tobing melaporkannya pada Rabu, 27 Agustus tempo hari. Namun sahari setelahnya langsung menjadi tersangka. 

Menurut Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Abdul Rohim Marbun mengatakan proses penangkapan tak sesuai prosedur. Para penyidik tidak memberikan surat tugas, surat penangkapan, bahkan mengenakan atribut aparat. Pun mereka tidak menjelaskan alasan penangkapan yang dilakukan.

“Khariq tidak pernah dipanggil sebagai saksi, maupun diduga melakukan pelanggaran hukum. Kepolisian langsung melakukan penangkapan di Bandara” ujar Rohim. Dia menduga kepolisian telah melanggar prosedural dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Baca Juga Arestasi Khariq: Dari Surat Terlambat Hingga Pewarta

Direktur Hukum Agraria dan Lingkungan pada Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Zakiul Fikri menceritakan tahapan pemeriksaan Mahasiswa Agroteknologi itu. Mereka menemukan memar pada muka dan leher bagian kiri akibat dipukul saat penangkapan. 

Kondisi Khariq juga tak sehat. Ia mengalami kelelahan dan sempat batuk saat dijumpai di Polda Metro Jaya Sabtu pada Sabtu, 30 Agustus 2025. “Jadi dari [tanggal] 29 ia ditangkap sampai 30 pagi, Khariq tidak diberikan obat-obatan,” ungkap Zaki.

Belum sampai disitu, pria kelahiran Kampar itu baru tahu jika Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Khariq sudah rampung tanggal 30 Agustus pagi. Kata Zaki, BAP tersebut tidak benar karena Khariq diperiksa dalam kondisi kelelahan. Ia juga tidak didampingi oleh kuasa hukum saat penyusunan BAP.

Dalam versi BAP tersebut, Zaki banyak menemukan banyak locus dan tempus atau tempat dan waktu terjadinya tindak pidana yang tidak berkaitan dengan objek perkara terlapor. Misalnya pertanyaan seperti: Apakah saudara mengetahui dan ikut pada aksi demonstrasi tanggal 25 Agustus?

Mereka tulis bahwa Khariq tahu soal demo di dalam BAP. Padahal ia masih di Bandung mengikuti Musyawarah Nasional Ikatan Badan Eksekutif Mahasiswa Pertanian Indonesia (IBEMPI) hari itu. Mereka memeriksa Khariq pada kondisi setengah sadar, tepat setelah bangun tidur. “Jadi orang lagi sempoyongan, lagi lelah, lagi batuk-batuk, pusing, diperiksa,” pungkas Zaki. 

Upaya Kriminalisasi Kritik dan Ruang Aman Berpendapat

TAUD merasa laporan yang dilayangkan kepada Khariq terkesan dipaksakan. Seolah-olah ada pelanggaran hukum. Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) rawan digunakan sebagai senjata melawan kritik dan ekspresi yang sah. Penggunaannya pun dinilai berbahaya karena ancaman delapan hingga sembilan tahun, sehingga aparat memiliki landasan melakukan penahanan.

Pengacara Publik LBH Pers, Chikita Edrini Marpaung merasa pernah mengalami hal yang sama saat waktu mengadvokasi kasus pencemaran nama baik. Ini adalah ancaman bagi seluruh rakyat Indonesia yang aktif menyuarakan aspirasi melalui ruang digital. “Isu ini bukan [lagi] menjadi isu kami semata. Tapi harus jadi concern teman-teman juga,” ucap Chikita.

Jurnalis juga rentan terjerat kasus serupa. Ada banyak potensi pasal-pasal UU ITE menjadi pasal karet. Sudah nyata terjadi dan bukan kali pertama jurnalis hingga aktivis terjerat kasus akibat UU ITE.

Kembali pada kasus Khariq, kata Chikita objek pemeriksaan kasus pewarta Utamapos.Com itu sangat kabur. Tidak tahu jika timpa teks yang dikenakan kepada dirinya, karena dalam pemeriksaan yang menjadi fokus penyidik mengarah pada partisipasi Khariq dalam aksi demonstrasi. “Bayangin teman-teman masuk Rumah Tahanan Polda cuma karena melakukan hal tersebut,” imbuhnya. 

Ia menekankan pentingnya advokasi hingga kampanye publik dalam menyikapi kasus serupa. Harapannya tidak ada korban sama, mengingat kondisi demokrasi saat ini.

Gugatan TAUD

  1. Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk segera menginstruksikan kepada Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya dan memerintahkan Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya untuk segera memerintahkan penyidik untuk menghentikan seluruh proses penyidikan terhadap Khariq Anhar dan mencabut status tersangka, karena tindakan yang dilakukan masih dalam lingkup kebebasan berekspresi yang sah serta dijamin oleh Konstitusi, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia
  2. Kementerian Komunikasi dan Informatika segera mengeluarkan pernyataan publik yang menegaskan komitmen negara dalam menjamin kebebasan berekspresi di ruang digital, khususnya terhadap kritik yang dilontarkan warga, serta menghimbau seluruh pihak untuk tidak lagi menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai instrumen kriminalisasi
  3. Presiden Republik Indonesia mengambil langkah tegas terhadap institusi Polri untuk memastikan tidak ada lagi praktik kriminalisasi terhadap masyarakat yang menggunakan hak konstitusionalnya dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat.
  4. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman Republik Indonesia, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera melakukan pemantauan aktif dan menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran kebebasan berekspresi di ruang digital dan publik serta bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya, guna menjamin perlindungan hak warga negara.

Pewarta: M. Rizki Fadilah
Penyunting: Wahyu Prayuda