Di jantung Sumatera Utara, Danau Toba berdiri bukan hanya sebagai keajaiban alam, melainkan sebagai ruang teologis dan ekologis yang membentuk identitas orang Batak. Dalam pandangan antropologis, alam di sekitar Toba bukan semata lanskap fisik, melainkan ruang spiritual yang menjadi tempat bertemunya manusia, Tuhan, dan roh leluhur. Namun sejak 1984, harmoni itu terganggu oleh industrialisasi besar-besaran yang dilegalkan melalui izin operasi PT Inti Indorayon Utama yang kemudian berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Empat dekade kemudian, luka ekologis itu belum sembuh. Di balik jargon pembangunan dan kesejahteraan, masyarakat adat terus kehilangan ruang hidup, sumber air, dan makna identitasnya. Gerakan “Tutup TPL” bukan sekadar seruan emosional, tetapi panggilan moral, teologis, dan ilmiah untuk meninjau ulang seluruh paradigma pembangunan yang mengorbankan manusia dan alam demi akumulasi modal.
Akar Struktural Konflik
Sejak awal berdirinya, TPL menjadi contoh paling jelas dari ekstraktivisme yang dilembagakan secara legal. Adapun total luas konsesi mencapai hampir 300.000 hektare, perusahaan ini menguasai sebagian besar wilayah hutan di sekitar Toba. Setiap revisi izin sembilan kali sepanjang tiga dekade menunjukkan pola kebijakan yang lebih berpihak pada korporasi ketimbang pada rakyat.

Dinamika Perubahan Luas Konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Tahun 1984–2020. Sumber: Koalisi Indonesia Memantau. 2023. The Devil is in the Detail: Aroma Patgulipat Izin Toba Pulp Lestari. Jakarta, Indonesia.
Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa sejak pertama kali ditetapkan pada 23 Oktober 1984 melalui SK HPH No. 203/Kpts-IV/84 oleh Menteri Kehutanan Soedjarwo, luas konsesi PT Inti Indorayon Utama yang kini menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) mengalami perubahan berulang kali melalui sembilan kali revisi izin hingga tahun 2020.
Dalam teori politik-ekologi, ekstraktivisme seperti ini memperlihatkan bagaimana negara dan korporasi berkolaborasi dalam mengubah alam menjadi komoditas, dengan dalih pembangunan. Proses legalisasi ini membungkus perampasan ruang hidup masyarakat adat dengan retorika “kepastian hukum”. Sehingga hukum bukan lagi pelindung, tetapi alat legitimasi ketimpangan struktural.
Tinjauan Hukum dan Peraturan
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Secara normatif, UU ini menegaskan bahwa hutan dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, praktik TPL justru melanggar substansi hukum ini. Penanaman eukaliptus di kawasan hutan lindung dan minimnya upaya pemulihan lingkungan menunjukkan pelanggaran terhadap Pasal 68 tentang kewajiban pemegang izin untuk menjaga fungsi hutan.
Secara hukum lingkungan, kepemilikan izin tidak menghapus tanggung jawab ekologis. Artinya, legalitas tanpa legitimasi sosial dan ekologi tetap merupakan pelanggaran moral dan hukum substantif.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
UU ini menegaskan prinsip kehati-hatian, partisipasi publik, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, dalam praktik TPL, masyarakat adat tidak dilibatkan dalam penyusunan AMDAL dan perencanaan wilayah operasional. Pasal 65 ayat (2) memberikan hak bagi warga untuk mendapatkan lingkungan sehat, tetapi hak tersebut terabaikan oleh pencemaran air dan udara akibat operasi industri pulp.
Kajian Purba, F. A., & Huka, E. C. (2024) dan yang dilakukan oleh Manik mencatat bahwa TPL telah berkontribusi pada kerusakan ekologis Danau Toba dan penurunan kualitas air tanah di Tapanuli Utara. Secara normatif, hal ini membuktikan kegagalan prinsip environmental accountability dalam penerapan hukum lingkungan nasional.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Pengakuan Masyarakat Adat
UU ini menjadi tonggak bagi pengakuan Desa Adat dan hak ulayat. Namun, masyarakat adat seperti di Pandumaan-Sipituhuta, Natumingka, dan Parmonangan tetap tidak diakui dalam struktur administratif negara. Padahal, Pasal 103 dan 109 secara eksplisit menyebut pelestarian nilai budaya dan sosial lokal sebagai tanggung jawab negara.
Ketiadaan pengakuan ini memperlihatkan bentuk kolonialisme administratif, di mana masyarakat adat dimarjinalisasi dari struktur hukum dan diperlakukan sebagai penghalang pembangunan.
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law)
Undang-undang ini mempercepat proses perizinan dan menyederhanakan tata kelola lingkungan, namun di sisi lain menghapus ruang partisipasi masyarakat. Mekanisme konsultasi dan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) diabaikan, membuat masyarakat adat kehilangan kontrol atas tanah mereka.
Berdasarkan analisis hukum, UU Cipta Kerja merupakan contoh nyata neoliberalisasi hukum, di mana peraturan diciptakan bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk mempermudah akumulasi modal.
Peraturan Pemerintah Terkait Izin Usaha Kehutanan
PP No. 7/2021 tentang Perhutanan Sosial dan PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebenarnya dimaksudkan untuk redistribusi akses hutan. Namun di Sumatera Utara, implementasi kedua peraturan ini mandek karena dominasi korporasi besar seperti TPL. Akibatnya, konsep forest-based community empowerment hanya menjadi jargon tanpa realisasi.
Evaluasi Kepatuhan terhadap Prinsip FPIC
Dalam perspektif hak asasi manusia, prinsip FPIC, yaitu Free, Prior, and Informed Consent adalah standar internasional untuk menjamin persetujuan sadar masyarakat adat sebelum proyek dijalankan.

Komponen Utama Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam Hubungan Standar, Proses, dan Relasi. Sumber: https://www.tnchumanrightsguide.org/module-2-free-prior-informed-consent/
Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) berada di titik temu antara tiga elemen utama, yaitu Standard, Process, dan Relationship. Elemen Standard menekankan keselarasan dengan hukum internasional, bahwa Process menunjukkan pentingnya kolaborasi dengan komunitas masyarakat adat (IPLCs), sedangkan Relationship menegaskan perlunya kemitraan yang setara dan pembangunan kepercayaan. Ketiganya membentuk fondasi etis dan hukum yang memastikan pelaksanaan FPIC tidak hanya prosedural, tetapi juga berkeadilan dan partisipatif.
Seluruh proses perluasan konsesi dan operasi TPL tidak memenuhi prinsip ini. Sehingga TPL tidak hanya melanggar hukum nasional, tetapi juga komitmen internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Analisis Sosial dan Antropologis
Konflik TPL tidak bisa dipahami hanya sebagai sengketa ekonomi, tetapi juga sebagai krisis identitas dan kedaulatan budaya. Wilayah adat seperti Pandumaan-Sipituhuta dan Natumingka memiliki sistem nilai yang berpijak pada Dalihan Na Tolu, yaitu harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam. Ketika hutan adat dikonversi menjadi kebun eukaliptus, harmoni itu hancur.
Dalam artikel studi yang berjudul Ecological Space yang diterbitkan oleh Oxford University Press, mengatakan bahwa hilangnya ruang ekologis adalah juga hilangnya ruang makna. Konflik ini bukan sekadar soal lahan, tetapi soal keberlanjutan peradaban Batak.
Analisis Ekologis dan Lingkungan Hidup
Penanaman eukaliptus skala besar menyebabkan penurunan air tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, dan erosi tanah. Studi yang dilakukan oleh Lukman, A. (2017) juga menemukan penurunan debit air di beberapa DAS di Toba dan Asahan, serta peningkatan kadar logam berat di air permukaan akibat limbah industri.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa eksploitasi monokultur bertentangan dengan prinsip ekosistem adaptif, di mana keberagaman hayati justru menjadi penopang keseimbangan alam.
Dalam perspektif teologis, eksploitasi semacam ini juga merupakan bentuk dosa ekologis (ecological sin), karena melanggar mandat penciptaan (Kejadian 2:15) yang menugaskan manusia untuk memelihara, bukan merusak bumi.
Analisis Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan
Klaim TPL tentang kontribusinya terhadap pembangunan daerah perlu dikritisi. Data pemerintah daerah menunjukkan bahwa kontribusi TPL terhadap PAD sangat kecil dibandingkan kerusakan ekologis yang ditimbulkan.
Lapangan kerja yang dijanjikan hanya bersifat sementara dan rendah nilai tambah, sedangkan masyarakat lokal kehilangan akses terhadap sumber air, hasil hutan, dan tanah pertanian. Pola ini memperlihatkan asimetris ekonomi klasik, yaitu keuntungan dikonsentrasikan di pusat, sementara biaya sosial dibebankan ke pinggiran.
Secara ekonomi-politik, model TPL ini mengintrepetasikan kapitalisme ekstraktif, di mana alam diperlakukan sebagai bahan mentah tanpa memperhitungkan nilai ekologis dan sosialnya (Gudynas, 2013).
Analisa Teologis dan Etika Kristen
Teologi Penciptaan mengajarkan bahwa bumi adalah anugerah Tuhan, bukan komoditas manusia. Dalam kerangka eco-theology, pemeliharaan ciptaan adalah panggilan iman yang sejajar dengan kasih terhadap sesama. Gereja dan organisasi Kristen memiliki tanggung jawab profetik untuk bersuara bagi bumi yang teraniaya.
Organisasi kepemudaan pemuda Kristen, dipanggil menjadi voice of conscience, yaitu suara nurani bagi rakyat dan alam. Sikap “Tutup TPL” bukan ekspresi kebencian, tetapi tindakan iman untuk menegakkan keadilan ekologis.
Tutup TPL sebagai Imperatif Moral Bangsa
Menutup PT Toba Pulp Lestari bukanlah tindakan ekstrem, melainkan imperatif moral, hukum, dan ekologis. Gerakan ini berdiri di atas dasar hukum nasional, prinsip HAM internasional, dan panggilan iman Kristen.
Menjaga Danau Toba dan hutan Batak berarti menjaga masa depan generasi. Sebagaimana firman dalam Mazmur 24:1, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya.” Maka bumi tidak boleh dikuasai oleh segelintir korporasi, melainkan harus dijaga sebagai warisan ilahi untuk semua ciptaan.
Penulis: Ruben Cornelius Siagian, Peneliti Independen, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik
*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana Mahasiswa dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com

