Komunitas Film Riau (KFR) dan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif taja Seminar Pengembangan Perfilman Indonesia pada Sektor Ekonomi Kreatif di Hotel Furaya Pekanbaru pada Rabu (18/12). Pukul 09.50 seminar dibuka dengan sambutan dari Kasi Hastuti perwakilan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua KFR Widi.
Ada tiga narasumber, Hadi Hartomo Pakar Film Dokumenter dan Dosen Universitas Indonesia, Sudibyo Praktisi Perfilman dan Parlindungan, Ketua Teater dan Perfilman Riau.
Parlindungan mengatakan peran pemerintah daerah wajib memfasilitasi perfilman. Orang-orang kreatif yang membangkitkan industri kreatif dan mencari duit sendiri dan film kawula muda untuk ditayangkan di daerah-daerah, khususnya Riau. Perfilman masih dipandang sebelah mata dan susahnya mencari budget atau anggaran. Sekarang banyak film-film di produksi hanya di satu tempat saja seperti di Jakarta. Namun Riau juga punya film yang bagus, seperti Laksamana Hangtuah.
Untuk menggenerasikan perfilman dan tahu bagaimana produksinya maka diperlukan sosialisasi, misalnya ke sekolah-sekolah.
“Lokalitas di kedepankan atau pola pikir daerah,†tutur Parlindungan di akhir penyampian materi.
Sudibyo menyampaikan syair Jawa, untuk membalas pantun pembukaan dari moderator. “Zaman kita sudah zaman edan,†ujarnya sehabis menyanyikan syair Ronggowarsito. “Lebih beruntung orang yang ingat dan waspada,†tutur Sudibyo membuka materi kedua.
Bagaimana kita kaum muda menghadapi situasi edan. Siapa pun orangnya semua berhak menjadi kreatif dan mempersentasikannya.
Ia juga menjelaskan tentang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman pasal 54. Pemerintah daerah berkewajiban ; memfasilitasi pengembangan dan kemajuan film, memberikan bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan film, memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Â danmemfasilitasi pembuatan film dokumenter tentang warisan budaya bangsa di daerahnya.
Perfilman juga melahirkan perkembangan peradapan dan kebudayaan atau tata krama. Tak boleh membuat film yang hancur atau merusak moral bangsa. Serta film bukan sebatas pikiran, memuat entitas dan sumber dari inti kehidupan baru ke unsur-unsur luar.
Pemateri terakhir Hadi Hartomo menjelaskan bahwa film itu mempunyai trendsetter. Kota London sebagai kota pertama kebangkitan industri kreatif dan kalau di Indonesia masih kecil. Ekonomi kreatif Indonesia digarap oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Sesi diskusi dimulai, M. Syahril dari Komunitas Rumah Sunting menanyakan tentang bagaimana gambaran membuat film untuk pemula. Mengenalkan budaya lokal, Melayu dengan keadaan sekarang Indonesia tidak mempunyai film Melayu.
Sedang memberikan pertanyaan, Parlindungan menyarankan Syahril untuk berbahasa Melayu. “Syahril terlihat lebih fasih menggunakan bahasa Melayu,†ujarnya.
Langsung saja Parlindungan menanggapi pertanyaan Syahril, ia mengatakan setuju. “Orang kampung tidak sehebat orang kota, tapi bisa saja melebihi pemikiran orang kota. Sebut saja film Laskar Pelangi,†tuturnya. Nuansa lokalitas mampu mengalahkan film horor yang banyak diminati kalangan muda.
“Terus saja berkarya, pakai apa saja yang bisa. Kalau pemula bukan bisnis namun kreatifitas. Rezeki yang kita punya dari kreatifitas. Kalau sudah berbasis bisnis jangan berhenti, karena sudah mempunyai duit,†ujar Parlindungan menjelaskan.
Tidak ketinggalan, Sudibyo juga menambahkan kalau penonton itu lebih pintar dari si aktor dalam komedi. Terbalik dengan drama atau tragedi, penonton tidak lebih tahu dengan adegan film. Maka dimana rasa keraguan itu dikemas menjadi uang.
Hadi memberikan tips, jikalau membuat film maka haruslah riset terlebih dahulu. Menentukan isu jangka panjang dan membuat isu baru. Membuat struktur, dialog, ruangan dan lainnya. “Yang paling penting tujuannya untuk apa,†ujarnya.#