Woro Supartinah
Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari)
RASANYA masih belum hilang dari ingatan apa yang terjadi pertengahan tahun lalu. Dampak kebakaran hutan di lahan gambut telah merenggut 5 nyawa manusia. Tiga diantaranya anak-anak. Lebih kurang 70 ribu rakyat Riau menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA. Ini akibat dari kualitas udara yang buruk dikarenakan masifnya pembakaran hutan dan lahan di tanah gambut.
Hasil telaah dan analisis hotspot Jikalahari sepanjang tahun 2014 dan 2015, menunjukkan, titik hotspot berada di kawasan konsesi HTI dan HGU berkisar antara 45 hingga 55 persen. Jumlah tersebut sangat signifikan yang mengakibatkan timbulnya api.
Mestinya kejadian asap tahun 2015 lalu cukup untuk membuat banyak pihak terutama pemerintah di berbagai tingkatan, aparat penegak hukum, menyadari bahwa harga sebuah pembiaran dan ketidakseriusan dalam mencegah dan menangani karhutla itu sangatlah mahal.
Kepolisian Daerah Riau pada tahun 2015 menyatakan, telah menerima dan menangani 71 laporan Polisi terkait pembakaran hutan dan lahan. Dari laporan tersebut, 53 orang dan 18 korporasi ditetapkan sebagai tersangka. Empat orang tersangka mewakili dua perusahaan yang terlibat membakar lahan telah divonis oleh pengadilan.
Frans Katihokang Manager Operasional atau Administratur, PT Langgam Inti Hibrido divonis bebas oleh dua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan. Satu hakim lagi berbeda pendapat terhadap putusan tersebut. Sementara itu, Iing Joni Priyana Direktur PT PLM dan Edmond John Perera Manager Plantation PT PLM divonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Rengat. Hanya Nischal Mahendrakumar Cothai Manager Finance yang dibebaskan.
Mereka yang dibebaskan dinilai tidak terbukti bersalah atas kebakaran yang terjadi di lahan perusahaan masing-masing.
Belum lagi hilang rasa kecewa masyarakat Riau atas putusan bebas terhadap tersangka pelaku pembakar hutan dan lahan, pertengahan Juli lalu, rakyat Riau kembali disuguhkan kenyataan lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi penyumbang asap di tahun 2015.
Kapolda Riau telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 terhadap 15 dari 18 Korporasi yang diduga membakar hutan dan lahan. Beberapa alasan yang dikemukakan atas keluarnya SP3 tersebut dikarenakan kurangnya alat bukti, area yang terbakar bersengketa dengan masyarakat dan perusahaan dianggap sudah melakukan upaya penanggulangan kebakaran di konsesinya.
Alasan tersebut menjadi tidak relevan. Mengingat, pemilik izin konsesi baik HTI maupun perkebunan sawit diwajibkan menjaga area konsesinya dari ancaman kebakaran. Sehingga keluarnya SP3 oleh Kapolda Riau menunjukkan bahwa, praktek pelanggaran hukum di Indonesia dilanggengkan oleh penegak hukum sendiri.
Catatan penting lainnya dari monitoring penegakan hukum terhadap korporasi di Riau adalah, sulitnya menjerat korporasi HTI maupun perkebunan sawit ke meja hijau.
DARI catatan sejarah penegakan hukum di Riau, tercatat belum ada satu perusahaan HTI yang kasus pidananya sampai ke Pengadilan. Baik kasus illegal logging yang melibatkan 14 perusahaan HTI di tahun 2006, 20 perusahaan HTI terlibat korupsi perizinan dan yang akhir kasus karhutla.
Tentu saja ini meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa gerangan dibalik sulitnya membawa korporasi HTI untuk diminta pertanggungjawabannya di depan hukum?
Untuk publik sendiri, berita ini tentu mengejutkan sekaligus mengecewakan. Bagaimana tidak, 15 perusahaan yang konsesinya terjadi kebakaran bisa melenggang bebas bahkan sebelum disidangkan. Terlebih lagi keluarnya SP3 ini cenderung ditutup-tutupi dari publik. Polda Riau baru mengeluarkan rilis terkait SP3 15 perusahaan diduga terlibat karhutla beberapa bulan setelah pergantian kepemimpinan di jajaran Kapolda itu sendiri.
Rilis SP3 pun baru dikeluarkan ketika ada desakan dari masyarakat sipil. Ironisnya, pihak Kejaksaan juga tidak mengetahui bahkan tidak pernah berkoordinasi terkait SP3 tersebut.
Kini, kebijakan Kapolda Riau mengeluarkan SP3 15 perusahaan yang diduga terlibat karhutla menjadi pembicaraan hangat. Tokoh masyarakat, tokoh politik, pejabat publik, masyarakat sipil, publik di tingkat lokal dan nasional telah menyuarakan tanggapan dan tuntutannya. Ini menandakan, keputusan mengeluarkan SP3 melukai hati dan jiwa banyak orang sehingga patut dipertanyakan.
Publik masih berjuang tentunya. Menanti apakah keputusan SP3 15 perusahan diduga terlibat karhutla akan dicabut. Jika tidak, maka aparat penegak hukum masih gagal memberi keadilan untuk rakyat Riau terutama keadilan bagi seluruh korban asap di tahun 2015.*