Sumber foto Maryam Jamilah

PERBINCANGAN mengenai calon gubernur (Cagub) dan wakil gubernur (Cawagub) Riau  anti korupsi, jadi  menarik ditengah partai politik sibuk menyeleksi calon. Siapa paling tepat dikontestasikan pada Pilkada Riau 2018?

Tentu saja pertimbangan partai politik dalam mengukur ketepatan calon yang akan diusung sangat  pragmatis. Yakni, siapa yang memberi keuntungan lebih besar pada partai? Apakah itu kontribusi terhadap kinerja keuangan partai, atau bahkan menguntungkan partai menghadapi Pemilu Legislatif dan juga Pemilu Presiden. Di sini, jargon calon harus memiliki elektabilitas dan liketabilitas yang tinggi mengemuka.

Namun, hampir tak terdengar jargon Cagub dan Cawagub Riau yang anti korupsi muncul dari partai politik. Berbeda dengan partai politik, mestinya  di tengah masyarakat wacana Cagub dan Cawagub Riau anti korupsi jadi topik serius yang diperbincangkan di ruang publik.

Paling tidak, ada tiga alasan mengapa hal itu harus terjadi: pertama, lebih satu dekade terakhir ini APBD Riau rata-rata di atas 10 triliun pertahun, tetapi kurang berjejak pada pembangunan negeri.

Kedua, tak ada daerah lain seperti Riau yang memiliki tiga orang gubernur berbeda periode berturut-turut tersangkut korupsi dan masuk penjara.

Ketiga, ke depan tampaknya kehidupan masyarakat Riau semakin sulit. Untuk menghadapinya dibutuhkan gubernur dan wakil gubernur yang mampu mendesain serta mewujudkan pemerintahan yang efektif tanpa korupsi.

Segera saja kita dihadapkan pada pertanyaan, adakah calon gubernur dan wakil gubernur Riau yang anti korupsi ? Menjawab pertanyaan ini, dua pendekatan mengemuka, yaitu formalistik positif dan meterial empirik.

Meskipun definisi korupsi yang digunakan sama—yaitu tindakan memperkaya diri sendiri atau orang dekat secara tidak sah atau melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaan—pendekatan formal positif cenderung berpandangan, seseorang dikatakan anti korupsi apabila orang tersebut tidak pernah terbukti di pengadilan melakukan korupsi.

Pendekatan ini dengan mudah menjawab bahwa, bakal calon gubernur dan wakil gubernur  Riau—yang mengemuka dalam perbincangan  publik di Riau sekarang ini— semuanya anti korupsi karena tidak satupun terbukti di pengadilan melakukan tindakan rasuah.

Artinya, para bakal calon memiliki potensi jadi calon gubernur dan wakil gubernur anti korupsi. Mereka pun dengan gagah menandatangani kontrak politik anti korupsi, pakta integritas dan lainnya. Tapi, apakah sesederhana itu menilai kualitas anti korupsi calon gubernur dan wakil gubernur?

Pengalaman Bengkulu menarik jadi pelajaran. Tak lama berselang  setelah sang gubernur berpidato berapi-api, menunjukan tekad memberantas korupsi di Bengkulu, dia pun ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan karena sedang menerima sogokan.

Pada dasarnya, menilai komitmen anti korupsi—apalagi terhadap politisi—taklah sederhana. Pendekatan material empiris cenderung memandang anti korupsi sebagai komitmen memberantas korupsi.

Komitmen memberantas korupsi tak sebatas ditunjukan dengan pernyataan formal menandatangani pakta integritas akan memberantas korupsi. Tapi melekat dalam pribadi (terintegrasi secara koheren) yang mestinya dapat ditelusuri dalam rekam jejak (track record) yang bersangkutan.

Menjawab pertanyaan, adakah calon gubernur Riau yang anti korupsi? Pendekatan ini cenderung hati-hati memberi jawaban. Bisa ada, bisa tidak. Lihatlah rekam jejaknya. Apakah selama ini sang calon gubernur dan wakil gubernur Riau menunjukan diri sebagai pribadi yang anti korupsi?

Asian Development Bank (ADB) membuat daftar ilustrasi perilaku yang dapat digunakan meneliti kualitas anti korupsi calon gubernur dan wakil gubernur Riau. Model ini sangat membantu, karena sebagian besar calon gubernur dan wakil gubernur sedang menjabat kepala daerah, pernah menjabat kepala daerah dan juga seorang politisi.

Cara menelusurinya, dengan melihat beberapa kecenderungan: pertama, mengarahkan perencanaan memilih proyek-proyek yang tidak ekonomis karena kesempatan komisi dan dukungan politik.

Kedua, pembiaran terhadap kecurangan pengadaan termasuk kolusi, biaya berlebihan, atau pemilihan kontraktor secara subjektif. Ketiga,  pembiaran terhadap pihak swasta yang membayar uang pelicin. Keempat, memanipulasi uang milik umum. Kelima, mebiarkan penjualan jabatan, pangkat pegawai, nepotisme atau tindakan yang menghalangi profesionalisme dan meritokrasi.

Selain lima poin tersebut, dapat ditambahkan mengenai seberapa besar pengaruh tim sukses selama calon menjadi pejabat publik? Apakah orientasi kepemimpinannya  hanya tertuju kepada keluarga dan orang-orang dekatnya saja? Serta, apakah selama ini calon dikelilingi oleh para pengusaha curang?

Bagaimana pemilih di Riau memenangkan calon gubernur dan wakil gubernur yang mampu mendesain dan mewujudkan pemerintahan yang berjalan efektif tanpa korupsi, jadi tantangan besar ditengah keterbatasan pemahaman pemilih terhadap calon yang berkontestasi dalam pilkada.

Pengalaman penelitian dibeberapa Pilkada kabupaten-kota di Riau memperlihatkan bahwa, satu bulan jelang pemungutan suara, sebagian besar pemilih belum mengetahui calon yang berkontestasi.

Pada kondisi ini sangat dibutuhkan kerja keras intelektual kritis anti korupsi melakukan upaya: pertama, penyadaran dan pencerdasan pemilih, disamping melakukan penelusuran serius terhadap rekam jejak calon dan mensuplai informasinya kepada pemilih. Terakhir, mendorong calon berkomitmen mewujudkan pemerintahan yang efektif tanpa korupsi. Misalnya, memaksa calon berjanji akan mengadakan Perda anti korupsi. Semoga.*

 

Penulis adalah Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Riau, Hasanuddin