Eyes on The Forest Taja Talk Show Cukup Sudah Penghancuran Hutan Riau

Gabungan enam kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Riau (UR) anggota Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) taja Talk Show kampanye Eyes on The Forest (EoF) berjudul Cukup Sudah Penghancuran Hutan Riau, Selasa (10/4). Diadakan di Aula Rektorat lantai 4, talk show berlangsung mulai pukul 09.00 hingga 17.00.

Acara ini terlaksana dengan kerja sama Mapala Humendala, Phylomina, KPA EMC2, Brimapala Sungkai, Suluh dan Mafakum. Turut hadir Bambang Hero Saharjo Guru Besar bidang Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodiharjo Divisi Kebijakan Kehutanan IPB, Nursyamsu dari World Wide Fund (WWF), Woro Supartinah Koordinator Jikalahari dan Riko Kurniawan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau.

Acara dibuka oleh Syapsan selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni setelah penyampaian laporan oleh Fakhrul Adam Ketua Pelaksana. Dalam pidatonya,  Syapsan harapkan mahasiwa ikut serta meneliti pabrik-pabrik yang ikut merusak lahan.

UR berada pada peringkat ke-14 dari sekitar 4.500-an kampus dalam menjaga lingkungan kampus. Sebagai alumni Mapala Humendala, ia harapkan pengelolaan limbah harus diperhatikan. Kunci hutan di samping sebagai paru-paru dunia juga sumber ekonomi.

“UR tidak mau menghabiskan, masih kita jaga.”

Selanjutnya penampilan teater bertemakan keserakahan manusia terhadap hutan. Diperagakan bagaimana manusia mulai merusak pohon dengan berbagai upaya hingga akhirnya manusia juga yang menanggung risikonya.

Peampilan teater
Peampilan teater

Sesi pertama dipandu oleh Okto selaku moderator diskusi.

WWF sampaikan, mereka berkoalisi dengan Kalimantan barat dan Jambi dengan membentuk Eyes on The Forest (EoF) bertujuan untuk menyikapi banyaknya kasus illegal loging pada Desember 2004.

“Di Sumatera ada enam industri pabrik pulp and paper, dua pabrik ada di Riau. Dari enam industri ini produksinya lebih kurang 10,3 juta pulp,” ujar Nursyamsu.

50 juta ton kayu per tahun jika dikonfersikan dan dikalikan 1,13 lebih kurang 60 juta m kubik kayu dibutuhan per tahun di sumatra.  Kayu akasia hanya bisa memproduksi 200 m kubik per tahun, artinya kekurangan kayu akan membuka keadaan industri menerima kayu dari hutan alam.

Nursyamsu paparkan beberapa poin. Pertama 1,6 juta hektar kawasan hutan Riau dijadikan kawasan non hutan. Penikmat perubahan ini adalah pihak Hutan Tanaman Indonesia (HTI). Kemudian holding untuk perkebunan rakyat temuan EoF adalah perusahaan, salah satunya PT. Torganda. Terakhir, banyaknya perusahaan yang berada dalam kawasan hutan alam.

“1,4 juta dari 5,4 juta hektar hutan di Riau adalah hutan kelapa sawit.”

Investgasi WWF bermula dari isu-isu, pengecekan lapangan, pembuatan laporan, dan mempertimbangkan laporan tersebut bisa di publish atau tidak. Hasil invesigasi bersifat fakta sesuai dengan yang ada dilapangan.

Jikalahari bagian dari EoF, tugasnya melanjutkan informasi dengan menyampaikan pada pembuat kebijakan yang dalam hal ini pemerintah, publik, jaringan nasional dan internasional. Jikalahari juga mendorong penegakan dan pemberantasan kasus-kasus kejahatan lingkungan dan kehutanan.  Jikalahari meakukan advokasi dan kampaye pada aktor-aktor finansial yang berperan penting mengubah perilaku industri menjadi lebih baik.

“Investor dan bank yang meminjamkan dana sangat relevan untuk diajak melihat fakta bahwa industri ini adalah industri yang berisiko dan memiliki dampak,” kata Woro Supartinah.

Panitia Khusus mencatat 1,6 juta hektar tanah sawit ilegal yang mana belum adanya pelepasan kawasan namun sudah berpraktek menanam sawit. Potensi kerugian negara dari pendapatan pajak dan lainnya 70 triliun rupiah pertahun.

Woro heran, 2016 terdapat 18 perusahaan yang sedang dalam penyidikan. Namun anehnya Pemerintah Riau malah memberhentikan proses penyidikan.

Riko Kurniawan paparkan bahwa secara izin, 2,4 juta hektar hutan Riau dikelola oleh HTI dimana 1,6 juta hektar diantaranya ilegal. Kemudian dijadikan lahan sawit seluas 3,4 juta hektar dan pertambangan seluas 1,2 juta hektar.

“Minyak mentah kita jual ke luar, lalu kita beli lagi yang telah jadi dari luar. Sayang sekali,” keluh Riko.

Usai pemaparan materi, dilanjutkan sesi tanya jawab. Panitia sediakan berbagai macam doorprize bagi penanya yang beruntung. Salah satu pertanyaan datang dari Faisal anggota Mapala menanyakan apa tantangan terbesar yang dihadapi WWF dalam menjalankan tugas.

Nursyamsu jawab, tantangan terbesarnya adalah menghadapi perusahaan yang merupakan perusahaan multi dan global, karena disana melibatkan penguasa tanah dan penguasa pemerintahan.

“Sudah saatnya kita memastikan masalah yang ada bisa terpecahkan,” tutup Hariadi Kartdiharjo. *Annisa Febiola, Olivia Tamando