SUARA MENJERIT DI BALIK GELAPNYA PANGGUNG. Musik mengiringi rasa sakit yang diderita Leman. Meronta dan meringis kesakitan.  Perlahan-lahan cahaya menerangi panggung. Tuk Batin sedang melakukan ritual di dalam tempat berbentuk segi empat dengan tampah berisi wadah yang terbut dari tanah didalamnya. Bau kemenyan memenuhi sekitar panggung sembari hadirnya Tuk Batin.

Lampu menyinari ruangan, tampak jelas Tuk Batin sedang duduk sila, menggerakkan tangannya memutar di atas tampah  dan membaca mantera. Seorang menggunakan jubah hitam menari mengelilingi tempat laki-laki itu duduk. Musik dengan tempo cepat ikut menegangkan suasana.

Tuk Batin, orang yang cukup disegani di Desa. Masih memegang teguh adat istiadat yang sudah turun temurun dari leluhur. Ia mengobati Leman, seorang pemuda desa mengidap penyakit yang tidak diketahui penyebabnya.

Setelah melakukan ritual, Tuk Batin pergi mendatangi kediaman Mak Icun—Ibu Leman yang sedang duduk termenung di tangga rumah panggungnya.Tuk Batin mengeluh sudah tak bisa lagi menyembuhkan Leman. Segala upaya sudah dilakukan namun anak wanita itu tak kunjung sembuh dari sakitnya.

Tuk Batin mulai curiga ada sesuatu yang terjadi pada Leman. Penyakit Leman tak wajar. Ia curiga Leman sudah melanggar pantang larang yang dibuat oleh leluhur atau pun melanggar aturan adat yang ada di kampung mereka. Tetapi, Mak Icun tak mengerti dengan kecurigaan yang diucap Tuk Batin.

Tuk Batin bilang ke Mak Icun, kalau Leman mau mengakui kesalahannya, mungkin Leman dapat sembuh “Apa yang kita lakukan saat ini ibarat membakar air mengharapkan abunya,” ujar Tuk Batin dengan nada yang meninggi.

Mak Icun tambah sedih. Perempuan yang sudah bungkuk itu terus menangis sembari memaksa Leman mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya.

Tap..tap… tap. Bunyi langkah kaki berjalan terdengar. Dua orang berjalan mengendap-endap dengan tubuh ditutupi kain sarung. Satu orang berbadan kecil pendek dan satu orang lagi berbadan besar tinggi, mereka bertingkah layaknya maling yang sedang mengintai target.

Di depan rumah Mak Icun mereka berdebat. Amir bertubuh kecil, berhenti lalu membuka sarung. Ia memukul Parman, orang bertubuh besar, seraya menjerit. Ia kesal karena sudah berjalan mengendap-endap cukup lama, tapi tak juga sampai di tempat yang dituju temannya itu.

Parman mengajak Amir pergi ke rumah seorang gadis di kampung mereka. Ia berniat melakukan ritual membibit. Namun, belum sampai di rumah sang pujaan hati, Amir sudah kesal dan terjadi adu mulut antara mereka berdua.

Parman mulai gelisah karena mereka membuat keributan tepat di depan rumah Mak Icun. Parman dengar Leman meronta kesakitan ia mengira Leman disiksa Mak Icun. “Menyiksa kepala hotak kau, tau aku lagi. Leman itu sakit. Tuk Batin kehabisan akal untuk mengobatinya,” kata  Amir. Mereka terus berdebat sampai Parman menunjukkan rumah sang pujaan hati dan mengajak Amir untuk mulai melempar batu ke rumah wanita itu.

Amir dan Parman memulai ritual membibit yang dilakukan tengah malam dengan cara melemparkan batu ke arah rumah wanita yang diinginkan. Perempuan itu bernama Rudiah.

Parman melemparkan batu pertama, tapi tak ada respon dari Rudiah. Batu kedua, Rudiah tak bergeming. Parman mulai putus asa dan berteriak menyuruh Rudiah membuka pintu rumahnya. Dengan tegas Amir memberikan saran agar Parman melemparkan batu lagi, “mana tau Rudiah mau membuka pintu dan menerima cintamu.”

Dengan penuh semangat dan percaya diri Parman melemparkan batu ketiga dengan harapan Rudiah mau membuka pintu dan menerima cintanya. Ia sampai menyiapkan segala ikrar jika Rudiah menerimanya.

Setelah batu dilempar, Amir dan Parman melongok ke rumah Rudiah tapi yang mereka dapatkan malah Rudiah menyiram mereka dengan air dan mengusir karena sudah larut malam. Ia menganggap Parman hanya mengganggu tidur. Alasan Rudiah menolak pinangan Parman karena ia tak ingin memikirkan jodoh dulu, fokus ke pekerjaan saja.

Amir menyesal karena telah membuang waktunya, tetapi Parman tak putus semangat. Ia tetap di depan rumah Rudiah dan mulai menggoda dengan rayuan-rayuannya. Karena suasana berubah seram, Parman pun pergi mengejar Amir yang sudah lebih dulu meninggalkan rumah Rudiah.

Pagi menjelang, Mak Icun sudah bangun. Ia bergegas memasak dengan gunakan tungku dan kayu bakar di samping rumahnya. Dari dalam rumah Leman meronta-ronta, ia berjalan mundur kemudian tersandung. Ia berteriak dan berkata tak bersalah. Menyuruh sesuatu yang ia lihat di depannya pergi menjauh. Mak icun cemas dan semakin sedih melihat tingkah anaknya. Ia kembali memaksa Leman mengakui kesalahan yang telah diperbuat. Mak Icun percaya apa yang dikatakan Tuk Batin. Leman telah melanggar pantang larang. Mak Icun hanya ingin sang anak sembuh dari penyakitnya.

Bukan jawaban yang diberikan Leman, tapi bentakan keras menyuruh ibunya tak perlu perduli dan biarkan ia merasakan penderitaannya. Tapi Ibu mana yang tega melihat anaknya kesakitan. Leman tetap tak perduli dengan niat baik ibunya, ia terus membentak dengan nada kasar dan masuk kedalam rumah dengan tubuh yang menahan rasa sakit.

Tangis pun tak lagi dapat menggambarkan betapa sedih hati Mak Icun.

Dengan membawa keranjang dan parang, Rudiah datang mengajak Mak Icun pergi bekerja ke hutan. Mak Icun menolak ajakan Rudiah, ia tidak tega meninggalkan Leman sendiri.

“Si Leman itu memang tak tau diri, tak beretika, sudah tau sakit janganlah memarahi emaknya sendiri apalagi sampai menyakiti hati,” Rudiah berkata dengan nada marah.

“Sudahlah cukup, apapun perbuatannya, siapapun dirinya, dia tetap anakku,” tegas Mak Icun menanggapi ucapan Rudiah.

Mendengar celoteh Rudiah, Leman semakin marah. Ia berupaya berdiri di depan pintu, berteriak mengusir Rudiah untuk pergi dan tidak ikut campur. Leman beranggapan tak ada yang tau apa kebenarannya kecuali dirinya sendiri.

Suasana semakin memanas. Keadaan semakin ricuh, sebenarnya Rudiah tak bermaksud jahat. Ia hanya terbawa emosi sebab tak rela melihat Mak Icun diperlakukan tidak sopan oleh Leman.

Saat Rudiah hendak pulang, Satun datang kerumah Mak Icun dengan lengan baju terlipat, rambut diikat dan membawa ayam jago yang diletak di dalam tas kiso. Satun datang mengajak Mak Icun pergi ke dusun Tuo Datai untuk melihat acara gawai (pernikahan) dan sabung ayam.

Dengan hati yang masih kesal Rudiah menyuruh Satun pergi dan tidak mengajak Mak Icun yang sibuk mengurus Leman. Tidak memperdulikan ucapan Rudiah, Satun tetap berteriak mengajak Mak Icun. Rudiah tambah kesal. Ia mendorong Satun mengusirnya pergi. Heran melihat tingkah Rudiah, Satun malah mengejeknya yang sudah berumur tapi belum juga menikah. Sekalipun ada yang menyukai selalu ia tolak sampai sekarang menjadi perawan tua.

Panggung mulai gelap, siang berganti malam. Tuk Batin kembali datang ke rumah Leman dan membicarakan penyakit Leman dengan Mak Icun. Mereka sudah kehabisan akal, satu-satunya cara hanyalah memaksa Leman untuk mengakui kesalahan. Mak icun masuk ke rumah menyuruh Leman bertemu Tuk Batin. Sambil memegang kepal, Leman memberontak. Ia meminta Mak Icun dan Tuk Batin tidak memaksanya terus.

Seorang wanita dengan rambut terurai tak beraturan jalan menuju rumah Mak Icun. Ia membawa pisau di tangan kanan dan boneka berbentuk manusia dari kain putih di tangan kiri. Ia berjalan sambil mencurahkan isi hatinya, ia patah hati karena dikhianati oleh laki-laki yang telah melakukan janji suci dengannya.

Di tengah pembicaraan, Mak Icun, Tuk Batin dan Leman, ia beritahu apa yang telah diperbuat oleh Leman. Wanita itu bernama Kembang. Leman telah melanggar sumpah yang mereka lakukan yaitu sudah melakukan ritual membibit dengan Kembang dan telah menerima lamaran Leman. Tetapi setelah itu Leman malah menghianatinya.

Begitu sakitnya hati Kembang saat mengetahui sang kekasih telah menombak wanita lain. Mak Icun dan Tuk Batin terkejut mendengar pengakuan Kembang. Mereka kembali menyuruh Leman mengaku.

Akhirnya Leman mengaku. Ia membenarkan segala ucapan Kembang. Mendengar pengakuan Leman, Mak Icun tenggelam dalam kesedihan. Anaknya telah melanggar pantang larang. Tak boleh meninggalkan wanita yang sudah melakoni tradisi membibit.

“Biar saja Tuk Batin. Dia pantas menderita bahkan mati sekalipun,” ujar Kembang dengan emosi yang membara.

Mak Icun berlutut. Memohon agar Kembang memaafkan Leman. Kembang terlanjur sakit hati, ia sangat membenci Leman. Sebenarnya ia ingin memaafkannya, tetapi Leman tak kunjung datang untuk meminta maaf.

“Sekarang Kembang sudah datang, minta maaf dan kembali lah kepadanya,” bujuk Tuk Batin.

Dengan keras kepala Leman menolak. Ia siap menerima hukuman dari perbuatannya. Ia sudah terlanjur malu dengan Kembang ditambah lagi wanita lain yang dipinangnya telah berbadan dua. Mendengar hal itu Kembang semakin murka.

Benda yang dipegang Kembang pisau, jarum dan baju pemberian Leman saat membibit dulu. “Benda pemberian abang ini bisa membunuh abang. Bisa membunuh abang. Hahahah.”

Kembang mengangkat benda tersebut sambil terus tertawa. Ia berjalan kesana kemari kemudian duduk dan melepaskan jarum di boneka lalu meletakkannya di lantai. Kembang mengangkat pisau dengan dua tangan lalu menusuk boneka itu. Leman meronta kesakitan, ia jatuh ke lantai dan tak bisa bangkit lagi.

Leman meminta maaf kepada ibunya dan Kembang. Namun permintaan maaf Leman ini sudah terlambat. Semuanya hanya sia-sia.

Dengan posisi duduk sila, Kembang mulai membaca mantra seraya memutar pisau dengan kedua tangan. Selesai membaca mantra, Kembang menusukkan kembali pisau ke boneka. Leman yang terbaring meronta kesakitan, seketika diam. Ia sudah meninggal. Mak icun menangis sejadi-jadinya.

“Biarlah mati anak daripada mati adat,” ujar Mak Icun. Ia mulai merelakan kepergian Leman. Biarlah Leman menerima ganjaran atas apa yang telah ia perbuat.

TEATER BERDURASI TIGA PULUH LIMA MENIT ITU USAI. Dengan judul Termakan Sumpah, teater ini ditampilkan pada Festival Teater Pelajar (FTP) se-Riau yang ditaja oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Batra Universitas Riau pada 25 sampai 28 April lalu.

Teater ini disutradarai oleh Muhammad Lutfi dan naskah ditulis oleh Rinaldi, guru seni di SMA Negeri 9 Pekanbaru. Terinspirasi dari tradisi suku Talang Mamak di Indragiri Hulu. Rinaldi jelaskan upacara membibit dilakukan tengah malam dengan cara melemparkan batu ke atas rumah si perempuan. Kalau dia membuka pintu berarti lamaranya diterima, tapi kalau tidak dibuka berarti lamarannya ditolak.

Ia menambahkan setelah wanita membuka pintu, lelaki menyerahkan gunting, pisau dan memakan sirih yang disaksikan oleh roh leluhur. “Si laki-laki akan meninggalkan baju yang dipakainya sebagai pertanda bahwa ia telah melakukan ritual membibit,” jelas Rinaldi.

Semua peran di teater ini dimainkan oleh siswa kelas sebelas. Kembang diperankan oleh Avania Zoelva, Leman diperankan oleh Bagus Nugraha, Zulham memainkan tokoh Tuk Batin, Mak Icun dimainkan oleh Syimah Aqila, Rudiah oleh Isra Miraltumirus, Satun oleh Almaida, Amir oleh Agil Vahrezi dan Parman oleh Crisnadi Nugraha.

Sebelum menampilkan teater ini, para pemain diseleksi melalui tahap casting oleh sutradara. Setelah itu, mereka melakukan latihan tiga kali dalam seminggu diluar latihan dasar seperti olah vokal.

Salah satu pemain , Syimah sampaikan kesulitannya saat masuk adegan. “Kadang masih fokus dengan teks dan juga sering gugup.”

Selain Termakan Sumpah, FTP kali ini menampilkan tiga teater lain. Dimulai dari penampilan  SMA Negeri 7 Pekanbaru dengan judul Tebas. Teater ini disutradarai oleh M. Rikhy Pranata, bercerita tentang kesedihan anak-anak yang belum mengenal kata modern dan ingin bermain namun tak ada tempat untuk mereka bermain bersama. Akhirnya, mereka menebas hutan dan membuka lahan untuk bermain. Tetapi, niat itu tak sampai sebab semua yang mereka lakukan diketahui warga.

Dilanjutkan dengan teater Jeritan di Pinggir Jalan dari  SMA Negeri 12 Pekanbaru. Teater ini bercerita tentang kepedihan orang yang hidup dipinggir jalan dan tidak memiliki keluarga. Dalam ceritanya ada salah satu anak yang putus asa dan akhirnya menggunakan barang haram agar merasa bahagia.

Kemudian teater berjudul Pinangan yang ditampilkan oleh SMA Dharma Loka. Teater ini disutradarai Aditiya Hariyadi.  Teater ini menceritakan tentang juragan tua yang masih lajang dan mempunyai riwayat penyakit jantung ingin meminang seorang gadis. Gadis itu cantik tapi ia juga terkenal dengan mulutnya yang pedas. Ketika sang juragan bertemu dengan gadis itu, terjadi percekcokan panjang yang disebabkan hal sepele.

Penulis : Shelly Niasari Ningsih

Editor   : Meila Dita Sukmana, Eko Permadi

Â