Senarai, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Forum Indonesia Transpararansi Anggaran atau Fitra Riau bersama lembaga pers dan mahasiswa se-Riau mengadakan diskusi bentangan. Pada Senin, (12/11), acara bertempat di Sumatera Kuliner Resto.
Diskusi ini dibuat jelang tuntutan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Dumai.
Pasalnya, pada 2014 lalu BPBD Kota Dumai melakukan penyelewengan Dana Tanggap Darurat Bencana Kabut Asap sebesar 219 juta. Mereka diantaranya Noviar Indra Putra Nasution selaku Mantan Kepala Pelaksana BPBD Dumai, Widawati Bendahara BPBD Dumai dan Suherlina Mantan Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Dumai.
Diskusi diawali dengan pemaparan hasil temuan dari Senarai selama proses persidangan yang hingga kini sudah berjalan sepuluh kali.
Ahlul Fadli dari Koordinator Senarai memaparkan bahwa ketiga terdakwa dikenakan dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 2009 yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Menurut keterangannya, Senarai banyak memperoleh informasi lebih dalam terhadap kasus tersebut. “Suherlina saat menyerahkan honor pada tim pemandu tidak sesuai dengan anggaran yang diatur.”
Bahkan, kata Ahlul Fadli Suherlina juga memberikan upah kepada orang yang tidak bekerja. Ditemukannya kuitansi palsu dan tidak ada laporan pertanggungjawaban menjadi bukti dari perkara tersebut.
Perilaku korupsi ini bukan hanya menyebabkan kerugian negara secara finansial, juga berakibat terhadap kesehatan masyarakat.
Made Ali Koordinator Jikalahari menjelaskan bahwa dengan dicuranginya uang penanggulangan bencana, menurunkan keefektifan dalam memerangi kabut asap. “Masyarakat jadi terserang Ispa, batuk dan mata perih.”
Kegeraman Made Ali dimulai dengan ketidakseriusan Pemerintah Kota Dumai dalam penanggulangan Karhutla. Dikatakannya, bahwa ketika masyarakat sudah ada yang terkena Ispa, polusi sudah menyerang, barulah pemerintah bergerak. “Padahal, Dumai menjadi langganan kota yang terbakar lahan hampir setiap tahun,” tegasnya.
Sebagian besar lahan yang terbakar di Dumai merupakan lahan perusahaan.
Menurut Jikalahari, ada tiga perusahaan yang tidak mematuhi aturan dalam penanggulangan Karhutla di Dumai. “Dimulai dari tim pemadam yang hanya diatas kertas, alat pemadam yang kurang serta tidak ada menara pantau,” ujar Koordinator Jikalahari tersebut.
Besarnya tingkat kebakaran di lahan perusahaan membuat pemerintah turun tangan.
Made Ali katakan, untuk menangani ini, pemerintah membentuk Audit Pemeriksaan termasuk di Kota Pekanbaru dan Dumai. Pembentukan ini guna memantau apakah perusahaan patuh terhadap regulasi pencegahan dan penanggulangan Karhutla.
Namun, keikutsertaan pemerintah dalam memadamkan api di lahan perusahaan juga membuat bingung. Pasalnya kata Made pemerintah tidak boleh ikut serta dalam pemadaman lahan perusahaan yang terbakar. Ini dikarenakan perusahaan sudah memiliki anggaran untuk memadamkan api yang ada di lahannya sendiri. “Ketidakjelasan ini membuat tidak adanya transparansi terhadap pengeluaran dana Karhutla oleh pemerintah.”
Ditambahkan Made, bahwa Satuan Tugas Penanggulangan Karhutla sejak tahun 2015 hingga sekarang, publik tidak pernah tahu berapa anggaran yang mereka habiskan untuk water bombing serta patroli di lapangan.
Pada akhir sesi, Ahlul Fadli dan timnya dari Senarai akan terus memantau persidangan yang melibatkan tiga terdakwa dari BPBD Kota Dumai tersebut.
Diskusi ditutup dengan kesimpulan yang dibacakan oleh Nurul Fitria, Moderator dalam acara.
Reporter: Yoga Handika
Editor : Wilingga