Semua pihak maupun orang tua musti membuka mata. Pendidikan adalah hak bagi seluruh anak bangsa.
Oleh Wilingga*
Tangan Narsih menyeka air mata usai mendengar tanggapan tetangganya mengenai Dina sedang malas sekolah akhir-akhir ini.
“Sudah jangan disekolahkan, buang-buang duit saja,” katanya.
Mendengar itu, Narsih tak dapat menahan air matanya. Ia tak menyangka, tetangganya memandang anaknya sebegitu buruk.
Tetangga Dina berfikir, anak seperti Dina tidak perlu disekolahkan. “Hanya buang-buang uang.”
Namun, Narsih anggap angin berlalu. Dina tetap sekolah, kini sudah menginjak kelas empat sekolah dasar.
Dina adalah seorang anak penyandang disabilitas fisik. Saat umurnya dua tahun, ia mengalami kejang dan demam tinggi. Penanganan lama dilakukan, jadilah tangan kanan dan kaki Dina sulit digerakkan. Kaku.
Meski begitu, ia murid yang rajin bersekolah. Tidak pernah absen kecuali sedang sakit. Namun, akhir-akhir ini Narsih melihat Dina malas sekolah pada hari Rabu. Hari itu adalah mata pelajaran olahraga. Para siswa diwajibkan memakai baju olahraga untuk nantinya melakukan kegiatan-kegiatan yang melibatkan fisik.
Bajunya sudah ada amat sempit. Pertumbuhan badan dari anak ke remaja sangatlah kentara. Itu sebabnya, Dina membutuhkan baju olahraga yang longgar.
Beberapa bulan lalu, guna mengganti baju yang kadung sempit, Narsih membayar tagihan baju ke pihak sekolah. Namun, hingga kini baju tak kunjung datang. Terpaksa, anaknya masih memakai baju sempit walau sungkan. Hal ini yang membuat Dina enggan bersekolah.
Narsih risau jika Dina malas sekolah begitu. Imbasnya, ia terus-terusan menanyakan ke pihak sekolah kapan baju akan datang. Pihak sekolah menjawab seadanya, disuruh bersabar.
Masalah ini mengingatkan Narsih empat tahun lalu. Ia hampir mendatangi semua sekolah dasar yang ada di desanya. Niatnya melihat Dina sekolah. Motivasi untuk sekolahkan anak datang dari dirinya sendiri, Narsih dulunya merasa rugi karena tidak bisa mengenyam pendidikan. Ia tak ingin hal itu terjadi pada anaknya, sehingga berusaha untuk memasukkan Dina ke sekolah.
Usahanya dimulai dengan mendatangi salah satu sekolah dasar, meminta agar mereka menerima Dina sebagai muridnya. Pihak sekolah menolak dengan cara halus. Mereka katakan bahwa sulit sekali menerima murid seperti Dina.
Tak patah arang, Narsih mendatangi sekolah lain. Beruntung, sekolah yang ia datangi kali ini menerima siapa saja yang punya keinginan belajar. Dina diterima bersekolah. Ia bersyukur.
Semua pihak maupun orang tua musti membuka mata. Pendidikan sangat penting.
Cerita inspiratif datang dari Yogyakarta.
Dikutip dari VOA Indonesia, Akhmad Soleh doktor dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Ia bercerita banyak sekali penolakan yang dialami saat sekolah. Mulai dari SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi. Pernah suatu kali, ia dinyatakan lulus di salah satu perguruan tinggi swasta. Akhmad Soleh bahkan mendapat panggilan dari universitas, meminta agar Akhmad memulai perkuliahannya. Namun, saat Akhmad Ddatang, pihak sekolah baru tahu bahwa ia penyandang disabilitas tuna netra.
Surat penerimaan Akhmad dicabut. Ia tidak jadi diterima di kampus tersebut. Alasannya sederhana, mereka tidak memiliki tenaga pengajar untuk orang seperti Akhmad.
Sebenarnya inilah yang salah dari pemahaman kita. Mereka orang dengan disabilitas tidaklah ingin diistimewakan. Mereka lebih senang dianggap setara. Terbukti, Akhmad masuk ke universitas negeri di Yogyakarta dan ia bisa menyandang gelar doktor.
Sebagaimana dituliskan media Tirto.id, Dina Afrianty, peneliti La Trobe University, Australia dalam studinya bersama Karen Soldatic, Disability Inclusive Education In Indonesian Islamic Education Institutions. Ia menunjukkan masih banyak penerimaan berbagai jenis lembaga pendidikan terhadap difabel.
Dina Afrianty mencatat, UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta merupakan pelopor dalam memfasilitasi pendidikan untuk penyandang disabilitas.
Pada tahun ajaran 2014/2015, di kampus tersebut terdapat 45 mahasiswa penyandang disabilitas dan menjadikan UIN Yogyakarta sebagai universitas islam yang ramah difabel dan inklusif di Indonesia. Kampus negeri dan swasta yang lain patut meniru atau bahkan malu terhadap gerakan yang dilakukan universitas ini.
Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Terdapat pada pasal 42 ayat 3 amanatkan penyelenggara pendidikan tinggi untuk fasilitasi pembentukan unit pelayanan disabilitas. Bahkan disitu juga ada penegasan perguruan tinggi yang tidak membentuk unit ini akan dikenai sanksi administratif mulai dari teguran hingga pencabuatn izin penyelenggaraan pendidikan.
Peraturan ini harusnya bisa membuat orangtua seperti Narsih tenang, sebab negara masih peduli dengan anaknya hingga pendidikan tinggi. Padahal, keinginan Narsih sederhana. Dengan mengakses pendidikan yang layak, Narsih ingin Dina bisa membuktikan bahwa ia bisa bekerja layaknya orang lain. Narsih menginginkan anaknya mendapatkan kesempatan kerja yang layak.
Keinginan Narsih disambut oleh negara. Misalnya pemerintah buat Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 36 tahun 2018 tentang Kriteria Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil. Untuk penempatan orang dengan disabilitas, baik formasi dan pusat pun disamakan.
Pemerintah membuka kesempatan ini agar Dina bisa mengakses pekerjaan layak seperti orang pada umumnya.
Narsih meletakkan sebuah harapan besar pada peraturan ini, Ia ingin negara berkomitmen menjalankan peraturan itu supaya anaknya mempunyai tempat yang layak di kalangan masyarakat. Narsih ingin, Dina membuktikan bahwa anak dengan disabilitas sepertinya tidaklah seperti yang oranglain pikirkan, Dina tidaklah sekerdil yang tetangganya fikirkan. Dina punya kelebihan lain yang tidak dimiliki anak seusianya. Iya punya suara yang bagus serta kemampuan hapalan yang luar biasa.
Tak cukup hanya itu, urunan banyak pihak membantu memperjuangkan hak anaknya, akan banyak doktor-doktor penyandang disabilitas yang lahir dari universitas di Indonesia.
Narsih ingin, negara fasilitasi anak-anak seperti Dina agar bisa membungkam mulut tetangganya.#
*Sebuah program dari Yayasan Sayangi Tunas Cilik bekerja sama dengan Tempo Institute. Ada 19 anak muda se-Indonesia dua malam tinggal di rumah penyandang disabilitas. Seluruh nama dalam tulisan ini disamarkan demi melindungi identitas anak.