Foto Oleh Serikat Perjuangan
Ada tindakan diskriminatif dalam penanganan pelecehan seksual secara verbal kepada Jeny oleh semua pihak yang terlibat. Hal ini menunjukkan kita sangat tabu dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelecehan seksual.
Baca juga : Pelecehan Verbal ‘Ayam Kampus’ kepada Jeny
Orang-orang yang mendampingi Jeny abai terhadap seluruh pelaku yang terlibat. Ravi, Oki dan Syafri. Mereka lebih cenderung menghakimi Ravi hanya karena pernyataannya berbelit-belit dan berbeda dengan pernyataan pelaku lainnya.
Oki dan Syafri sudah meminta maaf terlebih dahulu kepada Jeny dengan membuat video yang diunggah di instagram. Meski begitu, pendamping Jeny menganggap Oki dan Syafri sudah selesai dengan masalah ini.
Kali ini, berbeda urusannya dengan Ravi.
Ravi pada awalnya membuat informasi bohong mengenai Jeny yang diduga sebagai ‘ayam kampus’. Kemudian, Oki yang menerima informasi tersebut menelan mentah-mentah dan menyebarkan ke Adit serta Syafri.
Oki juga meminta nomor ponsel Jeny kepada Adit dan turut menyebarkan identitas pribadi tersebut kepada Syafri.
Pada akhirnya, Syafri terang-terangan melakukan pelecehan seksual secara verbal kepada Jeny melalui pesan WhatApp. Dari fakta ini, kita bisa melihat peran masing-masing pelaku.
Langkah yang diambil pendamping Jeny berupa melakukan mediasi dengan kelembagaan mahasiswa di FISIP. Dalam mediasi, kompak seluruhnya merundung Ravi termasuk Oki. Sementara buat Syafri nihil. Forum menutup mata terhadap peran-peran kedua pelaku lainnya tanpa melihat dengan jernih duduk perkara. Padahal ketiga orang (Oki, Ravi dan Syafri) yang terlibat dalam pelecehan verbal ada di tempat yang sama.
Wicak dan Bambang mengumpat hanya kepada Ravi. Namun, Habib Mayor Komahi sempat memukul lemari saat bertanya kepada Oki.
Penanganan masalah ini makin runyam sebab Ravi tak menunjukkan iktikad baik menyesal hingga akhirnya dibawa ke pihak dekanat.
Saat dilakukan mediasi bersama Suyanto, Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan Alumni FISIP, Ravi lagi-lagi dirundung oleh pihak pendamping Jeny. Hal ini berangkat dari ketidakpuasan pihaknya terhadap segala jawaban yang diberikan Ravi.
Syafri asik memainkan gawainya. Sedang Oki tampak santai keluar masuk ruangan mediasi.
Tindakan Suyanto benar meminta Ravi melakukan hal yang sama seperti Oki dan Syafri yaitu meminta maaf serta membuat video klarifikasi. Tetapi pihak mendampingi tak puas dengan solusi ini.
Padahal sanksi sosial yang didapat oleh ketiga pelaku sudah sama berupa perundungan di media sosial. Bedanya Syafri dan Oki membuat seperti apa yang diminta penyintas. Sedangkan Ravi masih berkilah untuk mengakui bahwa ia bersalah namun pada akhirnya meminta maaf dan mengakui kesalahan juga.
Kemudian sanksi akademis seperti yang diharapkan pendamping penyintas. Hasil mediasi berujung membawa masalah ini ke senat fakultas FISIP. Namun, status Oki dan Syafri dalam hal ini hanya sebagai saksi.
Jadi apa yang sebenarnya diinginkan oleh pendamping Jeny dengan membawa kasus ini ke fakultas ? adakah konflik kepentingan diantara ketiga pelaku.
Bahkan Syafri tak tersentuh sama sekali dengan pihak fakultas. Mengapa hanya FISIP yang repot-repot membawa perihal ini ke senat sementara Syafri pelaku utama pelecehan seksual secara verbal tidak diproses oleh pihak FKIP.
Herlizon, Bupati Hima Kepelatihan dan Olahraga FKIP yang turut dalam mendampingi kasus ini mengatakan masalah ini ranah pribadi jadi kalau untuk dibawa ke fakultas sepertinya tidak bisa.
Jika sanksi akademis yang diinginkan oleh pendamping Jeny maka seharusnya menyeret ketiga pelaku ke hadapan senat fakultas masing-masing.
Kita baru saja memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Apa yang dilakukan oleh Jeny sebagi penyintas adalah bentuk keberanian yang patut diapresiasi. Pelecehan seksual verbal tersebut jika didiamkan akan tumbuh subur dikalangan civitas akademika Universitas Riau.
Pendamping penyintas mestinya mendorong korban untuk menyelesaikan kasus pelecehan seksual tidak hanya sekedar memaksa pelaku meminta maaf. Hal ini dikawatirkan memberikan peluang bagi siapa saja mengancam korban untuk memberi maaf kepada pelaku.
Tetapi, pendamping penyintas benar-benar mendampingi korban hingga mendapatkan keadilan. Dalam kasus ini seakan-akan penyintas sia-sia mau membuka suara terhadap pelecehan seksual yang dialaminya, toh yang diserang oleh pendampingnya hanya satu pelaku.
Kita harus sama-sama mendorong Rektor membuat aturan lebih progresif tentang bagaimana pencegahan dan penanganan pelecehan seksual di kampus Universitas Riau.
Sejarah Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya mengacu pada kekerasan fisik. Menurut pemantauan komnas perempuan dari tahun 1998 hingga 2013 ada 15 jenis kekerasan, salah satunya adalah bentuk kekerasan kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Dalam sumber yang sama disebutkan, bahwa cara pikir masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai symbol moralitas komunitas, membedakan anatara “perempuan baik-baik” dan “perempuan nakal”, serta menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan.
Kontrol seksual ini mengacu pada bentuk mengatur atau menilai bagaimana perempuan seharusnya berperilaku dalam batas-batas tertentu, yang pada umunya mendiskriminasi hak perempuan.
Mengatur cara berpakaian, aturan jam malam untuk laki-laki dan perempuan, larangan perempuan untuk melakukan sesuatu termasuk kedalam bentuk kekerasan kontrol seksual.
Moralitas dan agama dijadikan tameng oleh orang-orang yang mengentalkan budaya patriarki. Sebut saja peraturan internal dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Riau yang belakangan sempat menuai pro dan kontra. Peraturan yang berisikan batasan jam malam untuk kaum perempuan beraktifitas di dalam kampus, dengan alasan “mengistimewakan” perempuan agar tidak terjadi hal-hal yang “tidak diinginkan”.
Poin lainnya dari bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah pelecehan seksual. Tindakan yang merendahkan harga diri dan martabat perempuan baik dengan sentuhan fisik maupun non-fisik baik verbal maupun nonverbal merupakan bagian dari kekerasan.
Dalam hal ini bentuk non-fisik yang dilakukan bisa berupa main mata, siulan, hingga obrolan yang bernuansa seksual. Seperti yang terjadi menimpa Jeny.
Kekerasan terhadap perempuan sudah ada sejak masa kekaisaran Romawi dan terus berlanjut sampai saat ini. hingga muncul sebuah gagasan tentang Hari Perempuan Internasional oleh Clara Zetkin pada 1910. Ia seorang pemimpin ‘perempuan pekerja’ untuk Partai Sosial Demokrat di Jerman.
Clara saat itu menyarankan setiap negara utuk memperingati hari perempuan agar mereka dapat menyampaikan tuntutannya. Dalam setahun, Ia mendapat dukungan dari seratus lebih perempuan yang tersebar di sembilanbelas negara. Sehingga disepakatilah penetapan Hari Perempuan Internasional yang dirayakan pertama kalinya di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss pada 19 Maret.
Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi hak-hak perempuan. Pada 15 Oktober 1998 Indonesia mendirikan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menangapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar dari tragedi kekerasan seksual yang dialami terutama perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia. Maka Komnas Perempuan memutuskan untuk ikut melakukakn Kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan.
Hingga tahun 2017 lalu, Komnas Perempuan mencatat di Indonesia ada sebanyak 335.062 kasus kekerasan pada perempuan yang di tangani oleh Pengadilan Agama (PA), 13.384 kasus ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 provinsi.
Fakta empiris ini sejalan dengan teori Menurut World Economic Forum bahwa kesenjangan gender tidak akan berakhir sampai tahun 2186. Maka, hingga beberapa tahun kedepan Kekerasan terhadap perempuan akan terus belanjut.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) dilakukan untuk mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Tepat pada 6 Desember memperingati hari tidak ada tolerasi bagi kekerasan terhadap perempuan. Setelah kemunculan gerakan feminisme pada awal abad ke sembilan belas, perempuan di beberapa negara tidak lagi mengalami kekerasan. Akan tetapi, budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat di wilayah eropa belum runtuh seluruhnya.
Pada tahun 1989, terjadi pembunuhan massal di Universitas Montreal Kanada yang menewaskan 14 mahasiswi dan melukai 13 lainnya (13 diantaranya perempuan) dengan menggunakan senapan semi otomatis kaliber 223. Pelaku (yang identitasnya disamarkan) melakukan tindakan tersebut karena percaya bahwa kehadiran para mahasiswi itulah yang menyebabkan dirinya tidak diterima di universitas tersebut.
Kejadian ini kemudian dikaitkan dengan pengaruh negara Perancis yang diberi akses untuk menjelajah di Montreal pada abad ke-14. Perancis merupakan salah satu negara eropa yang meyakini budaya patriarki. Walaupun abad ke-18 telah dilakukan gerakan untuk mengentaskan budaya patriarki tersebut, tetap saja beberapa kaum masyarakat memegang budaya patriarki. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda.
Universitas Montreal berdiri sejak April 1969. Pada tahun ketahun diketahui bahwa presentase Mahasiswa selalu lebih banyak daripada presentase Mahasiswa. Hingga, awal gerakan feminisme yang mempengaruhi banyaknya Mahasiswi di Universitas Montreal. Stereotipe yang kemudian dijadikan landasan berpikir Pemuda berumur delapanbelas tahun tersebut sebagai alasan pembenar untuk melakukan aksi pembunuhan yang dilakukannya. Sebelum pada akhirnya bunuh diri, lelaki ini meninggalkan sepucuk surat yang berisikan kemarahan amat sangat pada para feminis dan juga daftar 19 perempuan terkemuka yang sangat dibencinya. Berdasarkan kisah tragis pada tahun 1989 tersebut. Maka, tanggal 6 Desember diperingati sebagai hari tidak ada tolerasi bagi kekerasan terhadap perempuan oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.
Redaksi