Pembredelan yang dilakukan pihak kampus kepada pers mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara (USU) kembali memantik ingatan bahwa pers mahasiswa masih sangat rentan akan intimidasi.
Ihwalnya, cerpen yang ditulis Yael, Pemimpin Umum SUARA USU dianggap mengampanyekan LGBT. Cerpen tersebut berjudul Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya, bercerita tentang seorang wanita yang dirisak dan dihujat oleh banyak orang karena ia menyukai teman wanitanya.
Semula, tidak ada permasalahan ketika cerpen itu diunggah ke website suarausu.co pada 12 Maret lalu. Bahkan hingga seminggu kemudian tidak terjadi riak yang berarti. Namun ketika tulisan itu dipublikasi melalui akun media sosial pada 18 Maret, komentar di postingan itu tumpah ruah.
Sehari kemudian, Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi SUARA USU dipanggil rektorat, mereka diminta menarik tulisan itu. “Namun, SUARA USU memutuskan tak menarik cerpen tersebut karena isi konten tak bermaksud mengampanyekan orientasi seksual apapun melainkan ingin menentang aksi diskriminasi terhadap kaum minoritas,†begitulah keterangan resmi yang ditulis pihak redaksi melalui akun Instagramnya.
Buah dari pemanggilan itu, sebagaimana dilansir dari laman aklamasi.id, adalah ancaman pembubaran SUARA USU jika cerpen tersebut tidak juga diturunkan.
Rektor USU, Runtung Sitepu mengaku belum membaca secara langsung cerpen tersebut. Ia dapat laporan dari Wakil Rektor 1. Runtung yang masih di Jakarta mengatakan akan memanggil pengurus Suara USU sekembalinya ia ke Medan dan mencabut SK nya.
“Websitenya juga sudah kami matikan,†ujar Runtung sebagaimana dikutip dari tempo.co.
Kisah Klasik yang Selalu Terulang
Jika kita tilik ke belakang, ada banyak kasus dimana pers mahasiswa mengalami pelbagai intimidasi dan tekanan karena pemberitaannya.
Pers mahasiswa, merupakan sebuah laboratorium yang digunakan untuk mengeksplorasi kemampuan dan minat dari anggotanya. Bekerja dengan menerapkan etika jurnalisme yang baik adalah salah satu pondasi dari setiap pers mahasiswa.
Salah satu dari sembilan poin elemen jurnalisme yang tertuang dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme karangan Bill Kovach dan Tom Rosentsiel adalah pemantau kekuasaan. Namun tak jarang karena dipantau, pihak yang berkuasa merasa terusik dan tak sedikit yang mengambil tindakan untuk “membina†pers mahasiswa.
Saya teringat kejadian 2015 silam, dana cetak LPM Bahana Mahasiswa Universitas Riau sempat ditahan karena memuat berita yang mengusik pihak kampus kala itu. Sebuah kalimat terlontar dari pejabat kampus, “Jika kalian tak bisa dibina, dibinasakan.â€
Sebelum kejadian SUARA USU, beberapa bulan lalu juga terjadi perbincangan hangat di jagad media karena polisi memanggil dua awak Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Balairung (BPPM Balairung). Pemanggilan itu berkaitan dengan tulisan mereka. Tapi, bukannya mempertanyakan substansi kejadian, polisi malah mengkritik artikel tersebut.
Ada banyak lagi kasus intimidasi dan pembredelan yang dilakukan pihak kampus kepada pers mahasiswa. Tirto.id pernah memuat catatan tentang pers mahasiswa yang dibredel dalam rentang waktu 2014 hingga 2016. Bentuk pembredelan mulai dari penarikan buletin atau majalah, pembekuan, hingga intimidasi.
Setidaknya dari catatan Tirto, ada empat pers mahasiswa yang dibredel yakni penarikan buletin EXPEDISI milik Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta pada 2014. Penarikan majalah Lentera milik LPM Lentera Universitas Kristen Satya Wacana pada 2015.
Lalu ancaman pembekuan terhadap LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan pada 2016, juga pembekuan LPM Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa pada tahun yang sama. Masih banyak lagi kasus intimidasi dan pembredelan terhadap pers mahasiswa.
Bahkan berdasarkan riset dari Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada 2016 lalu, sedikitnya ada 47 dari 64 pers mahasiswa di Indonesia yang pernah mengalami kekerasan. Dari 47 kasus itu, 11 diantaranya dilakukan oleh pihak kampus.
Diskursus mengenai intimidasi terhadap pers mahasiswa sudah jamak dilakukan, namun nahasnya hal tersebut selalu saja berulang.
Hal ini semata-mata terjadi karena pers mahasiswa tidak memiliki payung hukum yang jelas. Setakat ini, pers mahasiswa masih berpegang pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal satu disebutkan bahwa pers adalah lembaga sosial juga wahana komunikasi massa yang melakukan segala hal kegiatan jurnalistik, mulai dari mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, serta menyampaikan informasi dalam berbagai bentuk dan saluran yang tersedia.
Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa wadah komunikasi apapun yang melakukan kerja sebagaimana dijelaskan di pasal 1 termasuk ke dalam bagian pers. Pasal 4 juga menjelaskan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Tapi di ayat selanjutnya yang membahas hak dan larangan penyensoran hanya ditujukan pada pers nasional. Lembaga pers yang memiliki badan hukum saja yang mendapat aturan jelasnya. Pers mahasiswa yang mana melakukan kerja jurnalistik dan beban yang sama entah kenapa tidak diberi perlindungan yang lebih menguatkan.
Padahal, pers mahasiswa bisa menjadi pilihan media alternatif masyarakat ketika sebagian media konvensional sudah bergeser dari kaidah jurnalistik yang seharusnya.
Selain itu, berdasarkan pembagian kuadran media, pers mahasiswa dikategorikan ke dalam kuadran kedua. Kuadran ini berisikan berbagai media seperti pers mahasiswa, media komunitas, keagamaan, kehumasan, dan media yang baru terdata di Dewan Pers.
Kembali lagi, hak yang didapat pers mahasiswa tidak akan sama dengan media konvensional yang berada di kuadran pertama.
Selain masalah payung hukum, pers mahasiswa juga rentan diintimidasi pihak kampus karena masih bergantung dengan pendanaan dari universitas. Pimpinan kampus merasa pers mahasiswa harus mengikuti keinginannya karena sudah diberi bantuan dana, jika tidak ikut keinginan siap-siap saja akan diintimidasi.
Pihak kampus seharusnya sadar bahwa sebagai laboratorium, mahasiswa yang tergabung dalam pers mahasiswa sedang melakukan kegiatan jurnalisme sesuai dengan elemen dan etika jurnalisme yang berlaku.
Harusnya kampus memberi keleluasan pers mahasiswa untuk jadi laboratorium pers yang bermutu di tengah media konvensional yang sarat kepentingan.
Kerja-kerja yang dilakukan teman-teman pers mahasiswa tidaklah berorientasi pada keuntungan melainkan praktik jurnalisme yang menopang demokrasi, kebebasan berpendapat dan informasi. Kerja seperti ini dilakukan atas dasar kesadaran yang baik dan seharusnya mendapat perlindungan layaknya media komersil.
Sebagaimana yang dikatakan Badru Chaerudin, Koordinator Forum Pers Mahasiswa Riau, setiap elemen kampus harus paham tentang tanggung jawab pers mahasiswa –sebagaimana tertuang dalam 9 elemen jurnalisme, loyalitas pertama kepada publik—, soal cara kerja pers mahasiswa, dan mulai memperlakukan pers mahasiswa sebagaimana produk jurnalistik pada umumnya.
Redaksi