Senjakala Kopi Liberika di Pesisir Riau

Di tengah populernya kopi jenis Arabika dan Robusta, Liberika tumbuh di Kepulauan Meranti. Berbagai upaya dilakukan untuk memperkenalkannya.

Oleh Badru Chaerudin

 

Malam baru saja tiba, seorang pegawai berpakaian biru lengan panjang bersepatu   boath tengah duduk perhatikan gawai yang ia genggam. Tak berselang lama belasan orang dengan seragam yang sama tiba. Hidangan kopi menemani perbincangan mereka, sesekali tertawa dan tak ketinggalan berswafoto.

Di ujung ruang, pemuda lain tengah perhatikan layar laptop. Di tempat lain, gerombolan muda-mudi berbincang duduk melingkari dua meja jadikan satu. Meja itu tersusun gelas kopi dengan sajian bervariasi, ada yang dingin dipenuhi es ada yang panas. Makanan ringan seperti kentang, ubi, hingga nasi goreng dan aneka sajian mie ikut disodorkan dalam buku menu selain varian kopi sebagai andalan.

Dalam masyarakat Riau mengenal istilah bual-bual (bercakap-cakap) di kedai kopi. Minum kopi atau ngopi sambil bual-bual soal apa saja, dari hal sepele hingga mencetuskan ide-ide. Budaya ngopi tidak lagi identik dengan orang tua saja, kebanyakan komunitas berisi pemuda menjadikan kedai kopi sebagai tempat diskusi. Sampai ada istilah nongkrong di warung kopi menjadikan budaya ngopi sebagai tempat menyatukan orang-orang.

Kopi dalam bahasa arab disebut Qahwah yang berarti kekuatan, karena dikenal sebagai minuman berenergi tinggi. Secara historis, kopi sudah menjadi budaya bangsa.

Haryanto Budiman dalam bukunya Prospek Tinggi Bertanam Kopi : Pedoman Meningkatkan Kualitas Perkebunan Kopi  (2012) menjelaskan masuknya kopi ke Indonesia tak lepas dari peran Belanda.

Pada 1969, Gubernur Belanda di Malabar mengirim biji kopi ke Indonesia. Biji ini dibawa oleh Jenderal Adrian Van Ommen. Tetapi, pengiriman pertama ini gagal total sebab Batavia saat itu dilanda banjir besar. Kedua kalinya pada 1699. Kopi pun di kembangkan di Sumatera, Bali, Sulawesi dan Timor. Kelompok dagang VOC pada 1711 lakukan ekspor pertama kalinya. Sepuluh tahun kemudian panen meningkat 60 ton per tahun.

Awalnya Belanda membawa kopi jenis Arabika sebagai satu-satunya jenis yang ada di nusantara. Kopi ini berasal dari daratan Abyssinia, sekarang wilayah Etiopia. Mengalami puncak panen pada 1880-1884 mencapai 94.400 ton per tahun, bertahan selama 175 tahun. Pada 1876 serangan Hemelia Vastatrix  atau hama karat daun menjadi petaka. Tanaman yang sudah rusak diganti dengan kopi jenis Liberika.

Liberika didatangkan sejak 1875, namun ia juga tak kebal hama karat daun dan permintaan pasar juga kurang karena rasanya yang terlalu asam. Sejak 1900 jenis Robusta didatangkan Belanda untuk mengganti Liberika. Produksinya lebih tinggi dan tahan terhadap serangan hama. Puncaknya, jenis Robusta mengantarkan Indonesia jadi salah satu pengekspor kopi terbesar dunia.

Meski demikian, sisa tanaman kopi Liberika  masih bisa ditemui di  Riau, Jambi, Jawa Tengah dan Kalimantan. Khusus masuknya di Riau, Liberika punya cerita yang berbeda.

Di lansir dari Antarariau.com, ada tiga orang yang berasal dari Kepulauan Meranti baru saja pulang dari Malaysia. Kedatangan Yasin, Yusuf dan Kadir membawa oleh-oleh berupa biji kopi jenis Liberika. Kepulauan Meranti adalah daerah yang letak geografisnya berbatasan langsung dengan Malaysia, daerah ini menghasilkan kopi jenis liberika.

Masyarakat  Meranti pada awalnya mengenal kopi Liberika dengan sebutan kopi Sempian. Jenis kopi ini banyak terdapat di Desa Kedabu Rapat, Kecamatan Rangsang Pesisir, Kabupaten Kepulauan Meranti,  Provinsi Riau.

Menuju desa tersebut, dari ibu kota Kabupaten Kepulauan Meranti ke Selat panjang harus menyeberangi  laut menggunakan perahu kayu (Kempang) selama 15 menit. Dilanjutkan dengan sepeda motor selama 45 menit..

Menurut keterangan dari pengurus Lembaga Masyarakat Peduli Kopi Liberika (LMPK) Rangsang  Meranti Al Amin, perkebunan kopi Liberika yang ada di Desa Kedabu Rapat saat ini luasnya mencapai 775 hektar, sedangkan yang tergabung dalam  kelembagaannya, terdiri dari beberapa desa di kecamatan Rangsang Pesisir luasnya mencapai 100 ribu hektar.

Dengan luas lahan satu hektar minimal bisa mencapai satu ton dan kadang-kadang bisa mencapai lima ton. Dalam satu batang pohon bila saat musim panen bisa mencapai sampai 15 sampai 20 kg.

Seorang Barista—pembuat kopi salah satu cafe di jalan Delima, tengah seduh kopi dengan teknik manual brewers, mula-mula Adi mengambil biji kopi dan menimbangnya sekitar 15 gram untuk digiling sembari menanti air mendidih, ia letakkan gelas ditutup brewer V60 dripper semacam corong berbentuk piramida terbalik, lalu ia tutupi dengan kertas filter, tak lama tangannya menyiram kertas filter dengan air panas “agar aroma kertas hilang,” katanya sambil bercerita.

Kemudian ia tuangkan kopi setelah jadi bubuk tadi kedalam kertas filter, air sudah mendidih dan kopi siap untuk disiram, dengan cekatan tangannya memegang gagang ketel atau teko angsa yang siap meluncurkan air ke dalam kopi searah jarum jam dengan perlahan.

Segelas kopi Liberika Meranti dan air mineral ia suguhkan sore itu, “jangan langsung diminum, biar tak sakit perut” katanya. Adi juga menyarankan agar meminum air terlebih dahulu atau kumur-kumur agar rasa kopi dapat lebih dinikmati, cara minum juga sebaiknya diseruput, lalu kumur-kumur lagi.

Adi perkenalkan temannya yang juga  seorang Barista, lebih banyak tahu tentang kopi. Namanya Reza, ia seorang Mahasiswa Pertanian di Universitas Islam Riau (UIR) sering berkunjung ke petani kopi di daerah Meranti dan Kampung Bugis, Rupat. Di sana perlakuan kopi masih minim dalam hal pengelolaan sampai pada tahap panen, akibatnya kualitas yang diperolehpun kurang baik.

Biasanya panen pertama bisa menghasilkan banyak, tapi karena cara panen salah sebabkan daun mati dan bunga berjatuhan yaitu teknik panen langsung ditarik saja tanpa dipetik dan ketergantungan petani pada tengkulak.

Menurutnya jika berkaca dengan pengelolaan kopi di daerah Jawa, Riau masih tertinggal, di sana sudah perhitungkan kualitas kopi mulai dari penanganan hama, cara panen dan kepedulian terhadap petani dengan membuat koperasi dan pembinaan. “Pola pikir sudah berkembang, berbeda dengan petani kita di sini, padahal kalau perlakuan kopi itu baik maka harga jual pun naik karena orang butuh kopi,” harapnya.

Rahmat seorang petani dan pengumpul kopi Liberika Meranti. Ia kemas produknya dalam merk Gambut Coffee, tepatnya di Desa Teluk Buntal. Di sana tak banyak lahan perkebunan kopi, tetapi rata-rata pohonnya besar berumur diatas sepuluh tahun, satu pohon mencapai 30 kg. Di desanya paling banyak dua ton dalam satu kali panen.

Usai memilih dan memisahkan biji kopi, ia lakukan roasting atau gongseng biji kopi, lalu diamkan hingga dingin sekitar 5 sampai 10 jam. Kemudian proses grinding atau penggilingan menggunakan mesin grinder agar kopi jadi bubuk. Proses selanjutnya packaging atau memasukkan kopi kedalam kemasan 100 dan 250 gram. Terakhir ditutup kemasan dengan menggunakan seller atau alat las plastik untuk kemudian dipasarkan.

Ia lakoni bisnis itu sejak 4 bulan lalu, kini ia sedang gencar lakukan promosi mulai dari ikut serta dalam event KTH di Jakarta dan Jogja, ikuti pameran studi banding Dinas Provinsi Papua di Selat Panjang, hingga menitipkannya untuk dibawa ke Singapura dan Malaysia, kini ia mulai memasuki kedai kopi tani di Pekanbaru.

Dahulu di desanya salah satu penghasil kopi, walaupun belum memahami budidaya kopi dengan benar. Karena harga yang tergolong murah dan pengumpul tak lagi masuk ke desanya pada 1990 hingga 2000. Petani membiarkan tanaman kopi menjadi semak belukar, bahkan ditebang karena mengganggu tanaman kelapa sebagai komoditas utama. “Padahal petani selalu petik kopi walaupun harganya murah.”

Untuk menghidupkan kembali, Rahmat kampanye meyakinkan petani  menanam dan merawat kopi yang ada. Mulai dari potensi kopi hingga membeli dengan harga lebih tinggi ia lakoni.

“Biasanya mereka jual harga 1000, saya beli 2500 per kilonya,” kata Rahmat.

Komoditas utama  daerah ini  karet, sawit dan kelapa, sedangkan kopi hanya sebagai tanaman tumpang sari. Biasanya satu hektar dua hamparan 450 batang kelapa. Kopi diantara pohon kelapa itu dengan jarak 8 meter. Baru-baru ini Rahmat coba dua pohon kopi diantara kelapa.

Secara produktivitas,  panen kelapa lebih banyak dibanding kopi. Tapi kopi makin tua makin produktif, berbeda sebaliknya dengan kelapa. Lain lagi dengan waktu panen. Kelapa membutuhkan rata-rata tiga bulan sekali.  Sedangkan kopi bisa tiap minggu. Ini yang menjadi bahan kampanyenya. Saat harga sawit, karet dan kelapa turun, kopi bisa jadi alternatif.

Selain kampanye, Kesatuan Pendampingan Hutan edukasi kepada warga untuk merawat kopi. Programnya penanaman kopi sepuluh hektar, caranya kopi ditanam sebagai tumbuhan tumpang sari dengan kelapa, karena tumbuhan kopi butuh pohon pelindung agar tidak terkena langsung sinar matahari.

Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kopi, tahun 2015 luas area tanaman kopi  di Riau 4.641 hektar dengan produksi 2.843 per tahun. Urutan ketiga terbawah di sumatera.  Namun riset ini tak menampilkan data kopi Liberika, hanya ada kopi Robusta dan Arabika.

Produksi secara keseluruhan, Indonesia menempati peringkat empat dunia dengan total 637 ribu ton pada 2017. Cenderung menurun sejak 2012. Untuk konsumsi pada 2016 berada di urutan ke enam dengan 250 ribu ton per tahun. Naik tujuh persen setiap tahun.

Upaya mempertahankan kopi Liberika Meranti tak sejalan dengan perkembangan kedai kopi. Tren minum kopi terus meningkat, kedai, cafe atau warung kopi bermunculan. Diperjalanan terlihat halaman parkir kedai kopi penuh sesak. Menurut komunitas Explore Kopi Pekanbaru, setiap bulannya ada lima kafe baru menekuni bisnis Coffee Shop. Pertumbuhannya mencapai 195 kedai hingga oktober 2018.

Teguh Combie, Barista asal Sumatera Utara sejak 2017 membawa mobilnya keliling menjual kopi di Pekanbaru. Menurutnya masih sedikit kedai yang berani menjual kopi lokal jenis Liberika Meranti. Sepi peminat. Tetapi keunggulannya Liberika bisa hidup di dataran rendah dan di tanah gambut. Seperti yang dikembangkan di Tanjung Jebung Barat, Jambi.

“Agar Riau punya identitas kopi, sebagaimana kopi di luar Riau,” ucap Teguh di Combie Coffee Bean miliknya jalan S Parman.

Selain berkeliling dengan mobil miliknya, ia punya dua Coffee Shop dengan kopi Liberika sebagai brand, ia namai produknya Liberio. Mulai dari biji kopi yang sudah digiling, bubuk Kopi dan kopi celup, serta mengembangkan teh kombucha atau fermentasi dari kulit kopi.

Teguh Combie juga perkenalkan Liberika melalui pameran atau kegiatan. Untuk sebulan ia hanya menghabiskan 5-6 kg kopi Liberika, lain hal bila kopi ditawarkan saat event. Bisa mencapai 50 kg bahkan lebih. Katanya kopi Liberika punya rasa yang kompleks.

“Kita bisa munculin asam dan pahit, munculin pisang atau coklat bisa, liberika bukan tergolong spesialty tapi tergolong kopi eksotis buat mereka yang suka kopi diluar kebiasaan pada umumnya,” jelas Teguh.#