Banyaknya perbedaan menafsirkan kaidah hukum buat perkara kian tak berujung.

oleh Raudatul Adawiyah Nasution

TRUK pengangkut pagar beton tertahan di Pos Sekuriti Gerbang Utama UNRI. Sederet truk pengecor semen dan plang pengumuman menunggu masuk ke kawasan Kampus Bina Widya. Truk ini milik PT Hasrat Tata Jaya.

Nuriman, kuasa hukum PT HTJ menunjukkan berkas ke Elianto, Komandan Sekuriti.  Ia jelaskan hanya untuk memberi tanda bahwa lahan sengketa di dalam kawasan UNRI adalah milik kliennya.

Sahibulbait tak langsung setuju. Elianto hubungi pimpinan.  “Sampaikan kalau kami tidak akan merusak apa-apa, kita hanya izin lewat,” pesan Nuriman. Di saat yang bersamaan, puluhan orang datang mengendarai roda dua. Lalu memarkirkan motornya di belakang portal gerbang.

Akhirnya portal UNRI dibuka, rombongan perusahaan masuk. Pemasangan plang pun dilakukan. Sembari pekerja dari PT HTJ memasang pagar, Hayatul Ismi—Tim Hukum UNRI yang juga Wakil Dekan II Fakultas Hukum UNRI dan rekannya menemui Nuriman. Di meja keramik seberang lahan yang dieksekusi, berkas-berkas pun dibentangkan.

Perdebatannya, Ismi meminta tunda pelaksanaan eksekusi sebab masih ada upaya hukum luar biasa dengan Peninjauan Kembali ke Makamah Agung. Nuriman menyanggah dengan menunjukkan surat penetapan Ketua PN Pekanbaru tertanggal 12 Maret 2018.

Pemagaran tetap dilakukan. Plang pengumuman  berdiri di tiga titik : depan jalan masuk gedung Grand Gasing Milenium, gedung Fakultas Hukum yang belum jadi dan di Eco Edu Park. Pagar beton memanjang mulai dari 10 meter setelah pos hingga Eco Edu Park. Terakhir, jalan menuju Bumi Perkemahan Pramuka pun ikut ditutup. Eksekusi ini dilaksanakan saat perkuliahan libur pada Selasa, 11 September 2018 lantaran menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1440 Hijriah.

Satu plang dekat lahan Fakultas Hukum berdiri. Isinya seperti ini :

Pengumuman tanah seluas 176.030 m2 sah milik PT. Hasrat Tata Jaya berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) :

1) Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 75/Pdt/G/2007/PN-Pbr tanggal 31 Juli 2008, 2) Pengadilan Tinggi Riau Nomor 32/Pdt/2009/PTR tanggal 1 Mei 2009,3) Mahkamah Agung RI Nomor 3014/Pdt/2009 tanggal 8 April 2010, 4) Mahkamah Agung RI Nomor 320PK/Pdt/2012 tanggal 12 November 2013, 5) Surat Penetapan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 26/Pdt/Eks-PTS/2011/PN-Pbr jo Nomor 75/Pdt/G/2007/PN-Pbr tanggal 12 Maret 2018.

Pemagaran yang dilakukan oleh Hasrat Tata Jaya (HTJ) merupakan reaksi atas keluarnya Penetapan Ekseskusi dari Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 18 Maret 2018 lalu. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mau membayar ganti rugi sesuai dengan yang sudah ditetapkan.

Dalam diktum eksekusi terdapat perintah ganti rugi sebesar 35,206 Miliar kepada Pemprov Riau sebagai Termohon Eksekusi untuk menganggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan tahun 2018 atau menyerahkan tanah sengketa sebanyak lima bidang kepada HTJ setelah dikurangi tanah seluas 8.875 m2 milik DJKN Kemenkeu.

Namun, pemagaran ini  menurut Muklis—Tim Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum UNRI dianggap tidak sesuai dengan peta milik Pemprov Riau dan UNRI.

Muklis jelaskan HTJ memagar di lahan yang dicantumkan dalam Sertifikat Hak Pakai Nomor 15 tahun 2002. Sertifikat nomor 15 itu atas nama Departemen Pendidikan Nasional yang pada 2017 lalu sudah dimenangkan dan dianggap tidak lagi bersengketa. Sedangkan yang diperkara oleh HTJ dalam Penetapan Eksekusi nomor 26/Pdt/Eks-Pts/2011/Pn.Pbr Jo. Nomor 75/Pdt.G/2007/Pn.Pbr tanggal 18 Maret 2018 itu adalah lahan di Sertifikat Hak Pakai Nomor 14 milik Pemprov Riau.

Batas lahan dalam sertifikat 14 dan 15 yang dikeluarkan BPN berada pada jembatan air kecil di Eco Edu Park yang mengarah ke jembatan kupu-kupu bukan sekitar Gedung Grand Gasing, Fakultas Hukum, Bumi Perkemahan dan Eco Edu Park.

“Kan ada jembatan air itu yang kaya sungai, kalau kita lihat petanya sekitar di situlah batasnya sertifikat 14 dan 15 itu.”

Muklis juga menyayangkan pelaksanaan eksekusi yang dilakukan HTJ tidak sesuai dengan prosedur, karena dianggap tidak berdasarkan hukum.

“Selain salah lokasi, (Eksekusi) ga boleh sepihak, prosedur eksekusi kan ga bisa megang penetapan saja, mereka kan bukan aparat. Harus ada unsur aparat penegak hukum.”

Atas masalah ini, pihaknya sudah melaporkan ke Polda Riau karena kesalahan HTJ dalam memagar lahan, memasang kurang lebih lima buah plang yang mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik perusahaan dan melarang orang untuk masuk.

Hal ini terjadi disebabkan kedua belah pihak memiliki dua peta yang berbeda.  Sehingga dimohonkan kepada Ketua Pengadilan untuk melakukan pemeriksaan atau pengukuran lahan kembali dengan dihadiri oleh seluruh pihak yang terlibat perkara dan diikuti pula oleh saksi-saksi.

Disamping itu, pemagaran oleh HTJ dianggap sebagai pelanggaran atas pasal 1 angka 10 UU nomor 1 tahun 2004 tentang tata  cara pelaksanaan, penggunaan, penghapusan dan pemindahtanganan barang milik negara, yang berbunyi bahwa barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atas beban APBN atau APBD atau berdasarkan perolehan nilainya yang sah.

Kemudian, HTJ juga dianggap melanggar pasal 50 UU nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara yang menyatakan pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara.

Selain dari ketidakjelasan batasan lahan, Putusan Eksekusi 18 Maret itu juga dianggap non-eksekutabel—putusan tidak dapat dijalankan karena beberapa kendala lainnya.

 

EKSEKUSI sepihak ini membuat kaget civitas akademika UNRI. Sedari awal, baik Pemprov Riau, Kementerian terkait dan UNRI selalu kalah dalam persidangan. Putusannnya tetap menghukum ganti rugi atau menyerahkan lahan sengketa.

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 26/Pdt/Eks-Pts/2011/PN Pbr, juncto Nomor 75/Pdt.G/2007/PN Pbr, 9 April 2015. Isinya, “Memerintahkan kepada termohon eksekusi pertama (Departemen Pendidikan Nasional), termohon eksekusi kedua (Pemerintah Provinsi Riau dan termohon eksekusi kelima Universitas Riau) untuk melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada PT Hasrat Tata Jaya sebesar Rp. 36.981.000.000,00 dengan menganggarkan dalam APBN/APBD yang berjalan maupun APBN/APBD perubahan pada tahun berjalan ataupun dianggarkan.”

Pada 16 Oktober 2014, Kemendiknas meminta DJKN Kemenkeu untuk melakukan perlawanan. Alih-alih Kementerian membayar ganti rugi atau menyerahkan tanah, mereka justru melawan kembali HTJ. Mendaftarkan perlawanannya di PN Pekanbaru tanggal 11 Agustus 2015 dengan nomor perkara 159/Pdt.Bth/2015/PN Pbr. Masuknya DJKN Kemenkeu melalui upaya hukum Derden Verzet atau perlawanan pihak ketiga. Sebab, mereka merasa dirugikan tetapi tidak pernah sekalipun dilibatkan para pihak.

Selama ini, Kemenkeu tidak ada dilibatkan dalam perkara sengketa tanah. Terlebih, dalam putusan pengadilan sejak awal sebagian aset yang menjadi objek sengketa tanah terdapat pada Sertifikat Hak Pakai Nomor 15 tanggal 20 Juni 2002. “Dapat mengurangi kekayaan negara sehingga menimbulkan kerugian negara,” bunyi di legal standing Kemenkeu.

Tanah yang menjadi objek perkara seluas 8.875 m2 menurut klaim HTJ  masuk bagian sebidang tanah yang dibeli dari ahli waris almarhum Sihi, Roduiya, dengan Surat Keterangan Ganti Kerugian yang ditandatangani oleh Lurah Simpang Baru di bawah Register Nomor 346/593-KSB/IX/2005 tanggal 20 September 2005 seluas 15.128 m2, dengan ukuran dan batas-batas  sebelah utara berbatas dengan tanah Maisin 121 m; sebelah selatan dengan Roslaini 127 m; sebelah barat tanah Akmal 165 m; sebelah timur berbatas dengan tanah M. Nasir 79 m;

Sementara itu, Kemenkeu beralasan tanah 8.875 m2 adalah miliknya bagian dari Sertifikat Hak Pakai Nomor 15 dengan total 100,4 hektar atas nama Departemen Pendidikan Nasional tanggal 20 Juni 2002. Tanah tersebut diperoleh menggunakan APBN tahun 1986.

Sebagai dasar hukum, memakai Pasal 6 ayat 2 huruf a UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah berikan kuasa mengelola keuangan negara kepada Menteri Keuangan. Dasar lain, Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah pada pasal 4 ayat 1 Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah pengelola milik negara.

Meski Sertifikat Hak Pakai nomor 15 atas nama Departemen Pendidikan Nasional bukan berarti milik instansi tersebut, hanya saja sebagai tertib administrasi.

Kemenkeu dalam tuntutan provisionil atau adanya tindakan pendahuluan meminta menunda pelaksanaan eksekusi berdasarkan penetapan PN Pekanbaru nomor 26/Pdt/Eks-Pts/2011/PN Pbr jo. Nomor 75/Pdt.G/2007/PN Pbr, tanggal 9 April 2015. Yaitu pihaknya diperintahkan membayar ganti rugi sebesar Rp36.981.000.000 dengan menganggarkan dalam tahun anggaran berjalan atau berikutnya.

Lalu dalam pokok perkara meminta majelis hakim menyatakan objek perkara 8.875 m2 merupakan bagian dari miliknya, bagian dari Sertifikat Hak Pakai nomor 15 tahun 2002.

Dengan susunan hakim, Amin Ismanto, ketua majelis, Editerial dan Heru Kuntodewo masing-masing anggota menilai tuntutan provisional ini sudah masuk materi bantahan atau pokok perkara sehingga, menolak penundaan eksekusi. Sebab aturannya hanya sekadar tuntutan sementara bersifat mendesak untuk persiapan atau mendukung putusan pokok perkara.

Pertimbangan lain, gugatan perlawan yang diajukan Kemenkeu ini tidak tepat karena sudah dieksekusi. Kemudian sarankan untuk ajukan gugatan baru. Amin Ismanto membaca putusan pada Kamis, 10 Maret 2016. Majelis hakim menolak seluruh gugatan perlawan DJKN Kemenkeu  dan menghukum bayar biaya perkara.

Tak terima dengan putusan tersebut, masih di tahun yang sama, Kemenkeu melakukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Isinya hampir sama dengan gugatan sebelumnya di PN Pekanbaru.

MA menemukan kekhilafan hakim PN Pekanbaru atau Judex Facti. Mengenai penerapan  hukum acara pada proses eksekusi perkara. Yaitu hakim di PN Pekanbaru menganggap tak tepat diajukan perlawanan pihak ketiga sebab sudah keluar penetapan eksekusi.

Namun, hakim MA memeriksa hingga saat ini, Kemenkeu belum juga membayar ganti rugi sesuai dengan penetapan eksekusi sebelumnya.  Maka proses eksekusi dimaknai dalam perkara ini belumlah selesai.  Kemenkeu yang dihukum membayar Rp36 miliar belum menganggarkan di APBN untuk keperluan ganti rugi kepada HTJ. Perbedaan pendapat hakim ini menguntungkan Kemenkeu. Lantaran, perlawanan secara derden verzet masih bisa diterima hakim.

Bahkan Menteri Keuangan sebagai pemilik barang milik Negara yang akan dieksekusi tidak pernah turut digugat dalam perkara. Selama ini gugatan ditujukan kepada Depdiknas yang hanya punya hak pakai. Maka tidak dapat dituntut untuk melaksanakan putusan tersebut.

Majelis hakim yang diketuai oleh Soltoni Mohdally serta hakim anggota Panji Widagdo, Ibrahim menilai ada penjelasan yang berubah-ubah hakim PN Pekanbaru pada pertimbangan putusan. Misalnya pada halaman 72 paragraf 2 menyatakan objek sengketa sah milik Kemenkeu lantas pada putusan malah menyatakan tidak benar.

Atas pertimbangan tersebut, majelis hakim mengabulkan permohonan peninjauan kembali. Diktum putusan lainnya membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 159/Pdt.Bth/2015/PN Pbr 10 maret 2015.

Selanjutnya mengadili kembali, mengabulkan perlawanan Kemenkeu, menyatakan bahwa Kemenkeu adalah pelawan yang benar.  Kemudian, membatalkan Penetapan Eksekusi Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 26/PDT-EKS/2011/PN.PBR jo Nomor 75/PDT.G/2007/PN.PBR tertanggal 9 april 2015. Terakhir menghukum pihak perusahaan bayar biaya perkara sejumlah Rp2,5 juta.

Diktum membatalkan penetapan eksekusi ini kemudian menjadi bahan bakar beda pendapat antara beberapa pihak yang berperkara.

Pihak perusahaan menemukan keganjilan pada putusan ini. Hanya menjelaskan kalau tanah seluas 8.875 M2 adalah milik Kemenkeu. Sedangkan sisa objek perkara tanah 176.030 M2 tidak disebutkan perihal kepemilikannya. Maka tidak mengikat Pemprov Riau dan Unri sebagai termohon eksekusi dua dan lima.

“Kan cuma 0,8 hektar, yang 17 hektar ga ada disinggung  di dalam PK,” tegas  Nuriman.

Sementara itu, UNRI dan Pemprov Riau menilai putusan nomor 349/PK/PDT/2017 sudah jadi pembatal penetapan eksekusi Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 26/PDT-EKS/2011/PN.PBR jo Nomor 75/PDT.G/2007/PN.PBR.

Pada  Jumat, 14 November 2017, Rektorat UNRI mengadakan pertemuan di ruang DPH. Agendanya membahas sengketa lahan terutama pasca keluarnya PK 349 yang memenangkan Kemenkeu.

Rapat koordinasi ini diikuti oleh perwakilan dari DJKN Kemenkeu RI, Kemenristekdikti, DJKN Provinsi Riau, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau, Biro Hukum Setda Riau, Kepala Bagian Hukum Setda Riau, Kepala Bagian Aset Riau, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau, BPN Pekanbaru, Camat Tampan, Lurah Simpang Baru, serta Tim Lahan UNRI.

“Gugatan pertama mulai dari tahun 2007, artinya sudah 10 tahun UNRI menjalani proses hukum hingga pada akhirnya Universitas Riau dimenangkan pada PK DJKN Kemenkeu RI putusan Mahkamah Agung Nomor 349 PK/PDT/2017 tanggal 18 Juli 2017. Dengan adanya putusan ini, ke depannya tidak ada lagi gugatan terhadap lahan Universitas Riau, dan pembangunan terhadap gedung yang berada dalam kawasan ini juga bisa kembali dilanjutkan,” sebut Sujianto, Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan dalam rilisnya yang diterima media Cakaplah.com.

Nyatanya, perkara ini masih berlanjut. Nuriman menyurati ketua PN Pekanbaru tanggal 30 Januari 2018 perihal permohonan eksekusi lanjutan pasca keluarnya PK 349.

Arifin, ketika itu menjabat Ketua PN Pekanbaru menimbang pembayaran ganti rugi terhadap lahan seluas 8.875 m2 atau Rp1,7 M atas nama Depdiknas tidak bisa dilaksanakan karena sudah menjadi milik Kemenkeu berdasarkan putusan PK 349 tersebut.

Meski penetapan eksekusi tertanggal 9 April 2015 telah dibatalkan, tetapi dalam putusan PK 349 tidak ada menyebutkan kepemilikan lahan 176.030 m2  atau bukan menjadi objek perkara. Lahan ini menjadi objek sengketa yang berada di Sertifikat Hak Pakai Nomor 14 atas nama Pemprov Riau.

Ketua PN mengaitkan dengan penetapan eksekusi tanggal 23 November 2016 berisi pemisahan kewajiban membayar. Kala itu, untuk termohon Depdiknas dengan luas 8.875 M2 dikali Rp.200 ribu yaitu jumlah ganti rugi sebesar Rp1.775.000.000 sedangkan termohon Pemprov Riau dengan luas lahan 176.030 dikali Rp. 200 ribu wajib membayar Rp35.206.000.00.

Walaupun penetapan eksekusi telah dibatalkan MA, masih ada ganti rugi yang belum dibayar kepada HTJ yaitu tanah yang berada di sertifikat nomor 14 punya Pemprov Riau. “Untuk menjamin kepastian hukum pelaksanaan eksekusi…perlu kiranya dibuatkan suatu penetapan yang baru…setelah dikurangi dengan kewajiban termohon I Depdiknas,” kata Arifin dalam pertimbangannya.

Maka di dalam diktum penetapan eksekusinya seperti ini, membatalkan dan mencabut penetapan Ketua PN Pekanbaru Nomor  26/PDT/EKS-PTS/2011/PN.PBR jo Nomor 75/PDT.G/2007/PN.PBR tanggal 9 April 2015.

Kemudian memerintahkan kepada Pemprov Riau bayar ganti rugi kepada HTJ sebesar Rp  35.206.000.000 dengan menganggarkan dalam APBDP tahun 2018 atau menyerahkan tanah sengketa sebanyak lima bidang sebagaimana pada petitum angka dua dalam putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 32/PDT/2009/PTR tanggal 1 Mei 2009 kepada HTJ dalam keadaan kosong setelah dikurangi tanah seluas 8.875 M2 yang merupakan milik DJKN Kemenkeu sesuai putusan PK 349 tanggal 18 Juli 2017.

Jaksa Pengacara Negara dari Kejaksaan Tinggi Riau yang mendapat kuasa dari Pemprov Riau berpendapat mestinya kembali keadaan hukum semula yaitu milik Pemprov Riau karena penetapan eksekusi sebelumnya sudah dibatalkan.

Meski lahan sengketa di sertifikat nomor 15 sudah dimenangkan Kemenkeu, lima bulan setelah keluarnya penetapan eksekusi ini, HTJ menggugat kembali di PN Pekanbaru dengan nomor perkara 185/Pdt.G/2018/PN Pbr.

Meminta majelis hakim menyatakan tanah seluas 8.875 M2  masih bagian objek perkara 184.905 M2 dan menghukum menyerahkan tanah tersebut dalam keadaan kosong atau bayar ganti rugi Rp1.775.000.000.

Di dalam gugatannya, Nuriman tetap menjadi kuasa hukum HTJ  berangkat dari putusan PN Pekanbaru Nomor 75/Pdt.G/2007/PN Pbr jo. Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru 1 Mei 2009 nomor 32/Pdt/2009/PTR jo. Putusan Kasasi MA, 8 April 2010 nomor 3014/K/Pdt/2009 jo. Putusan peninjauan kembali MA tanggal 12 November 2012 nomor 320 PK/Pdt/2012 merupakan tanah objek bidang kedua belum diganti rugi oleh negara. Lantaran tanah yang diganti rugi oleh negara atas tanah almarhum Sihi adalah tanah seluas 8.875 M2  yaitu tanah yang berbeda, karena almarhum Sihi memiliki beberapa bidang.

Gugatan ini membingungkan sebab objek sengketa kabur. Tidak jelas tanah mana yang belum diganti rugi dari SKGR milik almarhum Sihi.

Kemenkeu dalam kesimpulannya menilai perkara ini sudah pernah diputus melalui PK 349 sehingga dalam kaidah hukum nebis in idem. Lantaran, objek perkara dan para pihak sama. Pihaknya pun meminta hakim menolak gugatan HTJ.

Pembacaan Putusan HTJ dan Kemenkeu oleh Pengadilan Negeri awalnya dijadwalkan pada 13 Maret 2019. Namun, dengan kendala yang berbeda pembacaan ditunda dua kali. Penundaan pertama dikarenakan salah satu hakim anggota tengah menjalani penataran. Sehingga direncanakan pada tanggak 27 Maret.

Tapi lagi-lagi Putusan batal dibacakan di tanggal tersebut dan dipindahkan ke tanggal 5 April. Karena tergugat– dalam hal ini Kemenkeu tidak hadir, hanya tergugat Depdiknas dan penggugat yang datang. “Ini tidak bisa dibacakan, karena tergugat tidak ada,” tutup Hakim ketua.

Enam hari setelah pembacaan putusan, Lilis Triana selaku Jurusita pengganti Pengadilan Negeri Pekanbaru atas perintah Ketua Majelis Hakim mengirimi DJKN relaas pemberitahuan.

Surat pemberitahuan ini secara resmi ditujukan kepada Dimas Aryo, ia kuasa hukum dari pihak Kemenkeu. Relaas ini mengenai isi putusan perkara yang telah dibacakan lima April lalu. Relaas kali ini memberi makna bahwa HTJ menang atas gugatannya sendiri.

Amar putusan  yang dalam eksepsinya bertuliskan “Menolak eksepsi Kemenkeu dan Depdiknas untuk seluruhnya.” Artinya tangkisan  atau pembelaan yang diajukan DJKN terhadap materi gugatan penggugat tidak diterima.

Disamping itu, mengadili dalam pokok perkaranya mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya. selanjutnya menyatakan tanah seluas 8.875 M2 yang merupakan bagian dari sertifikat hak pakai  nomor 15 dan masuk dalam bagian tanah sengketa yang seluruhnya seluas 184.905 M2. Menegaskan hukuman terhadap DJKN untuk menyerahkan tanah dalam keadaan kosong atau membayar ganti rugi sebesar 1,7 Milyar.

Terakhir menghukum tergugat membayar biaya perkara sebesar 935 ribu rupiah.

Kuasa hukum Kemenkeu dapat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Hanya dalam tenggang waktu empat belas hari setelah relaas pemberitahuannya disampaikan.#