Kewenangan Mengawasi Peradilan dan Peran Media dalam Meningkatkannya

Penghubung Komisi Yudisial (KY) Wilayah Riau adakan diskusi guna meningkatkan sinergisitas antara KY dengan media massa. Diskusi berlangsung di Kafe Rumah Gege, Jalan Gajah Mada pada Rabu (27/11) pagi. Farid Wajdi selaku Juru Bicara KY, Zulmansyah Sekedang Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Wilayah Riau dan Mexasai Indra Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau hadir sebagai pemantik diskusi.

Farid Wajdi paparkan fakta dunia peradilan Indonesia. Berdasarkan data pengawasan KY sejak Januari hingga September 2018, 23 hakim ditangkap Komisi Pemberantas Korupsi atau KPK. Selain itu lima pejabat pengadilan turut terjerat. Diluar data KPK, tercatat beberapa hakim diberhentikan setelah proses peradilan dikaitkan dengan sistem pengawasan KY dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA). Pemberhentiannya melalui pembentukan majelis kehormatan hakim.

Ada 53 hakim yang telah disidang oleh majelis ini, hasilnya 35 hakim diberhentikan. Beberapa landasan isunya berkaitan dengan kasus suap. Kebanyakan kasus gratifikasi seperti penyalahgunaan wewenang hingga korupsi. Isu selanjutnya mengenai pengaturan perkara, termasuk pertimbangan yang dinilai aneh.

“Banyak laporan masuk ke KY yang sifatnya aneh dan unik. Bahkan tak pernah diajarkan di bangku perkuliahan,” keluh Farid.

Misal, sebelumnya pihak penggugat maupun tergugat tak pernah mengajukan satu nama sebagai saksi. Namun nama tersebut keluar di akhir putusan.

“Tiba-tiba saja nongol dalam tubuh putusan,” kisahnya.

Penempatan nama saksi yang terbalik juga jadi permasalahan. Nama Saksi penggugat dibuat menjadi saksi tergugat, begitupun sebaliknya. Adanya perbedaan nama yang dibacakan dengan salinan hard copy juga kerap terjadi. Ketika hal ini dilaporkan, KY akan mengoreksi putusan. Hakim dianggap tak profesional, tak cermat dan tak teliti jika hal ini terjadi. Contoh lain, objek suatu perkara yang sama, tapi penulisan nama pihaknya berbeda.

Selain itu, kata Fajri putusan hakim juga kerap dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu. Baik karena jabatan maupun pengaruh uang dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan integritas dan moralitas.

Permasalahan selanjutnya adalah pencabutan Undang-undang (UU) yang jadi landasannya atas suatu laporan pada tingkat pengadilan negeri. Misalnya, satu perkara terjadi pada 2019 dengan landasan UU yang sudah ada sebelumnya. Lalu pada 2019 disahkan UU baru yang mengatur persoalan tersebut dengan mencabut UU lama.

Prosesnya bermula dari  polisi, jaksa sampai ke pengadilan. Beberapa landasan hukum yang  lama masih digunakan, padahal sudah dicabut. Pemrosesan peristiwa itu seharusnya sudah menggunakan pendekatan landasan hukum yang terbaru. Tapi pada faktanya perkara lolos hingga tingkat MA. Farid menilai ini menjadi persoalan.

Farid juga menegaskan bahwa pemberitaan di media terkait lembaga peradilan akan menjadi catatan penting bagi KY. Terutama kasus-kasus  yang menarik perhatian publik. Catatan ini akan menjadi pertimbangan untuk menilai perlu atau tidaknya dilakukan pemantauan, baik berdasarkan laporan masyarakat maupun atas insiatif dari KY sendiri.

Rekam jejak hakim yang dilaporkan ke KY akan ditelusuri. Berkaitan dengan pertimbangan berat ringannya sebuah laporan untuk menimbang sanksi yang akan diberi.

Farid keluhkan masih adanya perdebatkan terkait boleh atau tidaknya suatu putusan diumumkan. Jika pengadilan menilai suatu putusan bersifat rekomendatif, maka hasilnya tak boleh diumumkan. “Kesannya KY tak ada untungnya. Lembaga itu mandul, tak bisa ngapa-ngapain,” lanjutnya.

Informasi yang berasal dari KY diharapkan memberikan perubahan perilaku. Baik publik dan lembaga peradilan guna mewujudkan peradilan yang bersih. Begitupun untuk kasus lainnya, diharapkan ada jurnalisme investigasi dalam menggeser paradigma publik.

Zulmansyah menilai perlunya sinergi antara media dengan KY guna menguatkan eksistensinya sebagai komisi pengawas. Hal penting yang mesti diberikan KY kepada media adalah info fakta sebagai pembuka. “Kadang-kadang kita butuh bersimbiosis,” ujarnya.

Apabila tak ada sama sekali informasi langsung dari KY, media tak akan bergerak. “Sesekali bolehlah dibocorkan informasi, misalnya sambil ngopi gitu.”

Menurut Mexasai, penegak hukum takut pada kekuatan massa dan media melalui pemberitaan. Sebagaimana pilar pers yang merupakan bagian dari demokrasi sebagai suatu keharusan memberitakan ketika fungsi negara upnormal.

Dari segi hukum, ia menarik aspek filosofis dari urgensi perubahan UU KY. Hakim mesti diawasi sebab ada problem moralitas. Latar belakang paradigma hukum Indonesia yang menganut positivisme. Segala peraturan harus dituangkan dalam bentuk tertulis.

“Jika sejak awal hakim tak jujur, dikhawatirkan hasil putusan juga tak jujur. Di sini peran media untuk mengontrol,” pungkasnya.

Penulis: Rudatul Adawiyah Nasution

Editor: Annisa Febiola