Penyebutan Desa di Siak berubah menjadi Kampung semenjak keluarnya Peraturan Daerah Kabupaten Siak Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Penamaan Desa menjadi Kampung. Buantan Besar adalah salah satu kampung di Kabupaten ini. Sejalan dengan slogan “Siak The Truly Malay”, kampung ini lekat dengan suasana Melayu. Dari Pekanbaru, kampung ini dapat ditempuh dengan waktu tiga jam perjalanan.

Buantan Besar dilalui oleh Sungai Siak, yang dahulu masih disebut Sungai Jantan. Daerah ini disinyalir sebagai awal mula peradaban Kesultanan Siak Sri Indrapura.

Mengenal sejarah peradaban awal Siak dapat dimulai dari makam Raja Kecik. Meskipun sudah dilakukan pemekaran, benang sejarahnya masih bisa diketahui. Raja Kecik atau Sultan Abdul Djalil Rahmad Syah merupakan pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura pada tahun 1723. Makam ini terletak sekitar 100 meter dari tepian Sungai Siak.

Saat memasuki area pemakaman, tampak beberapa kayu yang diduga bekas bangunan awal kerajaan. Usmande selaku pemandu menunjuk taman yang disinyalir dulunya merupakan benteng kerajaan. Ada juga teras makam yang diduga sebagai bangunan kerajaan, sebab kayu tersebut ditemukan di sana.

Di taman pemakaman berdiri sebuah tugu tinggi berwarna putih dengan patung beberapa ekor burung. Lima pendopo juga dibangun sebagai tempat meneduh bagi pengunjung yang berziarah ke makam Raja Kecik.

Makam berada dalam sebuah bangunan dengan empat pintu masuknya. Dua pintu masuk berada di depan dan belakang dengan ukiran yang menghiasi dindingnya. Sedangkan dua pintu lagi berada di samping kiri dan kanan menuju makam lain.

Setelah lima langkah dari pintu masuk, akan nampak makam Raja Kecik. Persis di tengah ruangan. Atapnya berwarna putih jua dengan empat ukiran yang mengelilingi. Di bagian depan terbentang karpet guna alas bagi penziarah yang hendak berdoa atau membacakan yasin.

Makam terdiri dari tiga lapisan yang berbentuk tangga. Terbuat dari semen berlapis keramik  hitam. Nisan berada di bagian teratas, persis di sebelah kiri dan kanan. Nisan berbahan kayu warna cokelat. Dari sebuah rantai yang mengait pada loteng bangunan, menjuntai kain berwarna kuning keemasan. Bentuknya tampak seperti kelambu.

Di sebelah kiri, terdapat dua makam lagi dengan bangunan berbeda. Ini adalah makam Panglima Antah Barantah dan seorang ulama besar yang tinggal di Buantan.

Di salah satu sudut dinding terdapat pajangan yang mengurai garis keturunan Kesultanan Siak. Usmande menceritakan riwayat hidup Raja Kecik.

Kesultanan Johor berkaitan erat dengan Kesultanan Siak. Bermula dari Sultan Mahmud Syah II yang memiliki istri bernama Encik Pong. Saat mengandung buah hatinya bersama sultan, Kesultanan Johor sedang dalam masa kegaduhan. Pada akhirnya sultan dibunuh oleh Magat Sri Rama, sedangkan bayi yang telah lahir diungsikan oleh kakeknya ke Istana Pagaruyung. Sang bayi dititipkan kepada seorang pengembara dan pedagang asal Sumatera Barat lalu ia serahkan kepada Raja Pagaruyung.

Diberilah Raja Kecik sebagai nama sang bayi, sebab ia masih kecil saat ayahnya tewas. Semestinya ia mewarisi tahta ayahnya, namun sang kakek memilih untuk mengungsikan Raja Kecik demi keselamatannya.

Raja Kecik tumbuh dewasa dengan didikan oleh orang tua angkatnya, yaitu Raja Pagaruyung. Ia berlatih bela diri di istana hingga menguasai silat. Bahkan ia dipercaya sebagai orang kepercayaan Raja Sriwijaya saat itu.

Raja Kecik memiliki niat untuk membalaskan dendam atas kematian ayahnya kepada Kesultanan Johor saat itu. Ia berhasil merebut tahta Johor kembali dan menikah. Namun, tahta kembali direbut oleh saudara istrinya. Karena tak ingin terjadi pertumpahan darah, kedua pihak akhirnya sama-sama menarik diri kembali.

Raja Kecik memilih berpindah ke Buantan yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Siak. Di sinilah awal mula Kesultanan Siak Sri Indrapura berasal.

Saat ia memerintah, Kesultanan Siak menjadi salah satu kerajaan maritim yang kuat. Daerah jajahannya membentang hampir di seluruh Sumatera, kecuali Sumatera Barat. Hal ini berkaitan dengan orang tua angkatnya yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung.

Dilansir dari Sejarah Kebudayaan Riau yang ditulis oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sistem pemerintahan Kesultanan Siak sebagai bagian dari rantau Minangkabau mengikuti model Kerajaan Pagaruyung.

Di bawah posisi Sultan, terdapat Dewan Menteri yangkedudukannya mirip dengan Basa Ampek Balai di Pagaruyung. Dewan ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama halnya dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan. Di dalamnya terdapat Datuk Tanah Datar, Datuk Limapuluh, Datuk Pesisir dan Datuk Kampar. Dewan Menteri bersama Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya.

Beranjak sekitar 400 meter dari makam, terdapat kolam. Hanya beberapa langkah dari tepian Sungai Siak. Kolam kecil ini dulunya sebagai tempat bagi prajurit untuk mencuci senjata. Raja Kecik tak mengizinkan Prajurit untuk mencuci peralatan perang di Sungai Siak sebab takut sungai tercemar. Sungai digunakan rakyat untuk kehidupan sehari-hari.

Kolam berbentuk persegi panjang, airnya berwarna hijau lumut dan ditumbuhi teratai. Pagar setinggi pinggang orang dewasa mengelilinginya. Kini, kolam hijau menjadi salah satu objek wisata di Buantan Besar.

Usmande bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Buantan Besar telah membangun wisata di sana. Mulai dari kolam yang telah mereka gali, lapangan sebagai bumi perkembahan hingga beberapa titik untuk berswafoto di tepian Sungai Siak.

Anak Usmande kini menjabat sebagai Penghulu atau Kepala Desa Buantan Besar. Usmande sempat menetap di Pekanbaru selama 13 tahun sebelum memutuskan kembali untuk membangun kampung halamannya.

“Saya ingin membangun kampung untuk kehidupan anak cucu saya.”

Meski mendapat beberapa cacian dari masyarakat yang tak mengamininya membangun pariwisata, ia tetap gigih. Keinginannya sederhana, wisatawan yang datang tak hanya datang untuk berziarah lalu pulang. Ia ingin wisatawan menetap dan menemukan potensi lain dari kampungnya. Termasuk dalam hal kuliner.

“Saya ingin kita sama-sama mempelajari sejarah dengan pariwisata supaya orang-orang semakin tertarik,” tutupnya.

Penulis: Reva Dina Asri

Editor: Annisa Febiola