Riau kaya akan minyak bumi, orang di luar Riau menganggap sebagai sumber penghasil minyak bumi terbesar. Tetapi bagaimana perekonomian masyarakat dan peran badan legislatif atas kebijakan provinsi terkait minyak dan gas (migas)?
Pertanyaan ini dilontarkan Iwantono—Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UNRI dalam Dialog Interaktif Energi bertemakan Dongeng Negeri Kaya Migas oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UNRI. Dialog yang berlangsung di Aula Rektorat ini berlangsung pada Sabtu (15/2).
Turut hadir Tito Handoko salah satu Dosen UNRI, Rudi H Saleh, Haryanto Syafri Kepala Departemen Operasi Satuan Kerja Khusus Migas Wilayah Sumbagut dan Indra Gunawan Eet selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau.
Haryanto mengurai sejarah singkat eksplorasi minyak dan pengelolaannya oleh PT Chevron di Riau. Tahun 1865, eksplorasi minyak pertama Indonesia diawali di Pulau Sulawesi, kemudian mulai di Riau pada 1920—dialokasikan oleh PT Chevron.
Presiden Soekarno kala itu berunding dengan investor asing, mereka diizinkan mengolah minyak di Indonesia, tanpa disediakan alokasi dana oleh Indonesia. Di samping itu, ada peraturan sistem bagi hasil. PT Chevron mulai dikembangkan pada 1960, namun kontraknya baru dimulai enam tahun kemudian. Setelah berkontrak dengan Indonesia, eksplorasi dan produksi dimulai. Setelah proses produksi, bagi hasil dilakukan dengan persentase 85% untuk Indonesia dan 15% untuk investor.
Perkembangan minyak dan gas di Riau sejak 1970-an dan 1990-an mengalami kenaikan. Sedangkan pada 2015 dan 2018 menurun drastis akibat pengeboran yang kian mendalam. “Yang juga menjadi kendala adalah ketika persentase minyak mengalami penurunan, tetapi gas mengalami kenaikan,†jelas Haryanto.
Indra Gunawan Eet mengatakan, kontrak PT Chevron akan berakhir pada 2021. Proses eksplorasi dan produksi selanjutnya dikelola oleh Pertamina dan pihak ketiga yang dinilai bisa berkontribusi sehingga angka perekonomian Riau meningkat.
Saat ini potensi minyak dan gas Riau berjumlah 2,87 miliar barrel. Apabila diasumsikan produksi rata-rata pertahun mencapai 80 juta barrel, maka minyak akan habis pada umur 27 tahun. Seperti di Siak, Bengkalis, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Kampar, Pelalawan, Kepulauan Meranti,dan Indragiri Hulu.
Selain minyak dan gas, Riau mempunyai potensi batu bara yang cukup besar, sekitar 1,9 miliar ton. Dari jumlah ini, sekitar 40% diperkirakan bisa diambil hingga kisaran 250 tahun kedepan. Beberapa daerah yang berpotensi batu bara seperti Kuantan Singingi ,Indragiri Hilir, Indragiri Hulu dan Kampar.
Tak sampai di sana, Rudi menambahkan bahwa Riau juga mempunyai potensi air ,udara, panas bumi yang terletak di Kampar. Misalnya saja energi surya yang diasumsikan sekitar 450 megawatt, namun yang terpasang saat ini hanya 1,2 megawatt.
Pada 2025, Pemerintah Provinsi Riau akan mengembangkan teknologi baru seperti Bahan Bakar Nabati serta menyediakan pembagian energi listrik sebanyak 6,3 watt. Harapannya, angka kemiskinan dapat ditekan.
Menjawab pertanyaan perihal masih banyaknya masyarakat miskin di Riau, Tito Handoko menuturkan bahwa pendapatan dari hasil produksi diserahkan terlebih dahulu ke Jakarta (pusat). Pemerintah daerah hanya diberi 3% dari total hasil produksi. Akibatnya, pendapatan akhir yang diterima oleh pemerintah daerah lebih kecil.
Reporter: Ilham Mahendra
Editor: Annisa Febiola