Radikalisme dan Terorisme dalam Fenomena Media

Internet telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari sebab kemudahan aksesnya. Di satu sisi, media mengalami perkembangan, walaupun ada kecenderungan menurunnya media cetak dan meningkatnya jumlah media online. Di lain sisi, masyarakat menjadi kaya akan informasi.

Fenomena hari ini tidak akan lepas dari dunia global, tidak terbatas dari ruang dan waktu, bisa berbuat dan melakukan apapun. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menganggap potensi munculnya konten radikal pada media online dan offline sama besarnya.

Radikalisme, kata Andri Taufik selaku Kepala Seksi Pembinaan Materi BNPT adalah suatu paham, sedangkan terorisme adalah tindakannya. Radikalisme merupakan pintu masuk atau anak tangga yang berpotensi berwujud kepada terorisme.

“Penggunaan media sosial yang tinggi merupakan tantangan besar. Jadi, media berpeluang dalam penyebaran radikalisme dan terorisme. Orang dari kamar tidur bisa mengakses dan melakukan apapun,” ujarnya.

Media online maupun offline mempunyai arena tersendiri terhadap arah yang akan dituju, serta pengawasan tersendiri. BNPT melakukan upaya kontra narasi, kontra ideologi, kontra propaganda terhadap konten-konten yang ada di media. BNPT membentuk sinergi dengan berbagai kementerian serta lembaga untuk mengawasi konten yang dianggap berbahaya dan harus segera diselesaikan.

Ia menambahkan, konsep dasar terorisme sudah berjalan lama di Indonesia. Bahkan sampai saat ini masih jadi sesuatu yang menakutkan, mengerikan, dan menjadi musuh manusia. Radikalisme mengacu kepada gagasan secara total, memiliki corak intoleran, fanatik dan anarkis.

Terorisme mewujudkan paham tersebut. Tindakan atau ancaman yang menyebabkan rasa takut kepada orang dengan motif politik, ideologi, dan gangguan keamanan merupakan perwujudannya.

Dewan Etik Aliansi Jurnalis Independen, Willy Pramudya berpendapat bahwa peluang media mainstream menjadi penyebar semangat radikal dan terorisme sangat bisa dari dua sisi. Pertama, pelaku teroris bukanlah orang bodoh yang tidak mengenal teknologi. Mereka pintar mengolah, pintar mengampanyekan diri supaya dimuat di media. Lalu dari sisi media yang tidak berhati-hati, berangkat dari ketidakpahaman serta ketidaktaan kepada kode etik dan kode perilaku. Banyak wartawan tidak hafal dan tunduk pada kedua kode ini.

“Kalau tidak punya pegangan, yang terjadi adalah pemberitaan mengandung penyakit dalam pedoman meliput terorisme, di antaranya glorifikasi—melebihkan sesuatu,” lanjutnya.

Menurut Willy, satu-satunya yang bisa menghindari glorifikasi adalah ketika jurnalis kembali pada profesionalisme dan independensi yang tidak terpengaruh oleh siapapun, termasuk tidak terpengaruh oleh negara. Ketika negara melakukan kesalahan dan menyembunyikan sesuatu, media bisa sangat bersalah dari dua pihak. Maka, media bisa menjadi profesional ketika paham dengan apa yang dilakukannya. Mulai dari standar dasar menulis sampai taat pada sejumlah pedoman.

Ada tahapan sebelum seseorang menjadi radikal dan bertindak terorisme, dalam artian tidak bisa langsung jadi teroris. Mulai dari intoleran sampai eklusif hingga jadi radikal teroris. Dulu, salah satu pilar demokrasi dalam proses membangun karakter bangsa adalah media.

“Ketika radikalisme dan terorisme tidak ujug-ujug jadi teror, kearifan lokal di Nusantara jadi salah satu bekal untuk daya tangkal dalam masyarakat. Dengan mengembalikan budaya gotong royong, kebersamaan, kemanusiaan dan ajaran agama yang toleran,” ujar Andri Taufik.

Eka Putra Nazir, Kepala Bidang Media Massa, Humas dan Media Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Riau mengatakan bahwa forum ini hadir sebagai perpanjangan tangan BNPT. FKPT Riau berisi tokoh masyarakat dari berbagai elemen yang fungsinya sebagai mitra strategis BNPT, melaksanakan tugas sosialisasi, serta wadah partisipasi masyarakat di daerah.

FKPT Riau mewadahi kearifan lokal yang ada dalam proses pemberdayaandan  penguatan masyarakat sehingga masyarakat menjadi beragama yang toleran, berbangsa yang Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan Undang-Undang Dasar 1945.

Lebih lanjut, FKPT Riau sebagai wadah aspirasi masyarakat bertugas melakukan kegiatan yang melibatkan tokoh masyarakat di berbagai bidang. Mereka bertugas kepada kelompoknya untuk melakukan sosialisasi. Kegiatan di bidang media massa humas juga melibatkan aparatur, dengan tujuan melihat peran media massa dan media sosial untuk memastikan radikalisme tidak sampai menembus masyarakat.

“Benteng radikalisme ada pada kita yang sehari-hari memiliki pengetahuan itu. Misal seorang wartawan punya informasi dan sumber resmi, langsung disebarluaskan karena tidak mempunyai pemahaman. Di media sosial, daya jelajah sangat luas dan sangat masif hingga terbentuk opini terkait radikalisme dan terorisme,” pungkas Eka.

Ngobrol Pintar Cara Orang Indonesia atau disingkat Ngopi Coi menjadi salah satu cara FKPT Riau melakukan sosialisasi dengan melibatkan elemen masyarakat. Acara ini digelar pada Kamis (01/10) di Ballroom Hotel Grand Zuri, Pekanbaru. Andri Taufik, Willy Pramudya dan Eka Putra Nazir hadir sebagai pembicara.

Willy menyebutkan, masyarakat Sumatra menjadi pengguna media sosial terbesar kedua di Indonesia. Ada pola yang disebut algoritma, bagaimana orang dibentuk, dan didorong untuk membenarkan sesuatu yang salah, bahasanya pasca kebenaran. Kebenaran dalam jurnalistik bisa berkembang sesuai keadaan.

Banyak media atau yang mengaku media hanya mengambil informasi dari media sosial tanpa konfirmasi dan verifikasi, kemudian dibuat begitu saja. Setelah dibuat, kemudian diambil lagi oleh media sosial, lalu disebarkan lagi.

“Hingga masyarakat tidak tahu yang mana akar dan ujung. Fenomena ini membuat orang tersesat dalam rimba kesalahan, rimba kegelapan pikiran dan jiwa,” tutup Willy.

Reporter: Haby Frisco

Editor: Annisa Febiola