Wabah Covid-19 membuat pekerja media di dunia termasuk Indonesia rentan mengalami masalah. Mulai dari pemutusan hubungan kerja sampai pada kesehatan mental.

Menurut survei Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) terhadap 1.308 staf dan jurnalis lepas menunjukkan, dua per tiga dari total responden atau 872 jurnalis mengalami pemotongan gaji, kehilangan pekerjaan dan kondisi pekerjaan yang memburuk selama pandemi.

“Pandemi membawa dampak yang cukup signifikan terutama kepada mental saya pada tiga bulan pertama munculnya Covid-19 ini di Indonesia,”terang Ardi, Produser Radio di Jakarta.

Bersama temannya, ia harus melakukan kebiasaan baru seperti bekerja dari rumah. Namun, karena tuntutan seperti live dan on air mengharuskan segala aktivitas kembali dilakukan di studio. Meski ada pembagian kerja, hal ini tetap menimbulkan kecemasan.

Diskusi virtual bertajuk Kesehatan Mental Pekerja Media Selama Pandemi diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independent (AJI) bersama IFJ pada Senin, (26/10). Usai dibuka pukul satu siang, Ika Ningtyas dari AJI Indonesia mengambil tempat sebagai pemandu. Ika katakan pekerja media adalah kelompok yang cukup rentan mengalami kesehatan mental.

Tika Adriana dari AJI Jakarta menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan jurnalis mengalami stres saat pandemi. Di antaranya berasal di dalam dan luar lingkungan kerja.

Dari pengalaman pribadi, kata Tika faktor stres dalam lingkungan kerja berupa tekanan perusahaan media untuk mengirim berita secepat mungkin. Target yang tidak manusiawi membuat mereka bekerja ekstra. ditambah arus informasi yang deras rentan menyebabkan traumatis pasca meliput isu seperti seksual, bencana, bahkan perang.

Bagi jurnalis Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender dan perempuan diskriminasi lingkungan kerja kerap terjadi. Diperparah ketika pandemi Covid-19. Sistem kerja yang berubah mempengaruhi upah serta pengeluaran. Faktor demikian menyebabkan pemutusan hubungan kerja dan cemas ketika liputan langsung.

“Kesehatan mental jurnalis sangat terancam, ditambah lagi dengan adanya stereotip bahwa jurnalis harus kuat, harus tahan di segala situasi, jurnalis harus kuat 24 jam, dan jurnalis harus kuat dieksploitasi,” jelasnya.

Hemat Tika, jurnalis juga manusia yang bisa merasakan kelelahan dan kecemasan. Beberapa perusahaan media terkadang kurang memperhatikan kesehatan mental jurnalisnya. Mereka sulit mengakses pelayanan kesehatan mental karena keterbatasan biaya. Ditambah antrean ke psikolog sering lama dan terbatas di beberapa daerah.

Perlu menjadi catatat bagi beberapa perusahaan media agar memberikan layanan psikolog atau psikiater bagi pekerjanya. Selain itu pemberian cuti pekerja bagi jurnalis yang meliput bencana. Hal ini berguna memulihkan efek traumatis wartawan.

dr. Gina Anindyajati, SpKJ dari Departemen Psikiatri FKUI-RSCM turut menjelaskan dampak pandemi Covid-19 terhadap pekerja mencakup tiga aspek. Pertama, aspek biologis berupa kelelahan dan infeksi Covid-19. Lalu dampak psikologis seperti rasa takut yang tidak biasa, cemas berlebihan, stres, dan frustasi. Terakhir, aspek sosial berupa tuntutan pekerjaan yang meningkat.

“Adanya perubahan cara kerja yang biasanya di kantor sekarang di rumah, jadwal dan peralatan kerja yang tidak memadai ketika di rumah, dan kemungkinan kehilangan pekerjaan.”

Lebih lanjut, dampak ini juga menurun kepada kesejahteraan jurnalis media. Oleh karena itu, perlu bagi jurnalis memperhatikan dan mengenali diri sendiri. Bila masalah kesehatan tidak bisa diatasi sendiri, sebaiknya lakukan konsultasi secara daring atau mendatangi orang profesional di bidangnya.

Gina menambahkan, permasalahan kesehatan mental pekerja media tidak selalu menjadi tanggung jawab perusahan media. Tetapi juga tanggung jawab rekan sesama. Berikan dukungan dan tanggapan yang positif terhadap sesama jurnalis. Meningkatkan empati dan sikap saling membantu berguna memulihkan kesehatan mental.

“Kita perlu kenal dengan diri kita sendiri, kenali dan indetifikasi apa yang dibutuhkan, setelah itu identifikasi apa yang bisa dilakukan untuk itu dan berkomitmen melakukan pola hidup yang sehat,” tutup Gina

Penulis : Liza Aprilia Yulis

Editor   : Firlia Nouratama