Bangsa Indonesia bukanlah sebuah negara teokrasi. Secara konstitusional, negara mewajibkan warganya memeluk satu dari agama-agama yang diakui eksistensinya. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2.

Thowik, anggota Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman katakan, dari tahun ke tahun banyak media memberikan informasi mengenai kecenderungan intoleransi dan diskriminasi berbasis agama di Indonesia. Namun hal ini belum banyak memberi perubahan yang berarti.

“Setidaknya kita tahu bahwa potret selama pandemi saja, dari ujung barat Indonesia masih banyak terjadi kasus intoleransi dan diskriminasi berbasis agama,” jelasnya.

Menurut Thowik, ada kaitan antara pemuda dengan media, serta pentingnya media dalam intoleransi dan diskriminasi di Indonesia. Media bisa mengontrol cara berpikir atau cara pandang masyarakat. Tak hanya itu, media memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mendorong masyarakat bertindak diskriminasi.

Oleh karenanya, penting memanfaatkan media guna mengampanyekan toleransi dan diskriminasi. Sehingga tercipta penegakan hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Ringkasnya, media memiliki kekuatan membuat hal-hal yang sebenarnya tidak jahat seolah-olah menjadi buruk begitupun sebaliknya.

Banyak media mainstream seperti media online memproduksi berita yang tidak mengikuti prinsip-prinsip dan kode etik jurnalistik. Banyak ditemui berita yang terkadang bersifat memojokkan, terang Thowik.

Dilansir dari tempo.co, Indonesia memiliki media massa terbanyak di dunia, yaitu sekitar 47.000. Terdiri dari media cetak, radio, televisi, dan media online. Dari jumlah itu, masih banyak media yang tidak memenuhi syarat, baik prinsip maupun kode etik jurnalistik.

Thowik menambahkan, anak muda berperan penting ketika membicarakan isu toleransi dan kebebasan beragama. Kecenderungan ini karena pada rentang umur 16 sampai 24 tahun yang paling banyak mengakses media sosial.

“Dalam satu hari jika dirata-ratakan anak muda bisa menghabiskan waktu delapan jam untuk mengakses media sosial, sehingga media sosial penting menjadi perhatian ketika ingin mendorong prinsip-prinsip toleran dan sebagainya.”

Kata Thowik, isu tentang keyakinan dan agama adalah hal yang sensitif. Banyak ancaman seperti pelintiran dan ujaran kebencian, persekusi, serta kriminalisasi berkaitan dengan toleransi beragama. Kesimpulannya, media berkepentingan memberi informasi kepada publik. Secara tidak langsung, rakyat saja bisa mengkonsumsi berita intoleran secara rutin.

“Kita bisa melakukan upaya-upaya yang kolektif seperti, berserikat, berkomunitas untuk melawan sentimen intoleran yang diproduksi media,” sambungnya.

Diskusi bertajuk Memperkuat Toleransi dan Merayakan Keberagaman Indonesia diselenggarakan oleh Festival Kebhinekaan pada Kamis, (29/10). Usai dibuka pada pukul 19.30 malam, Sekar dari Lembaga Pers Mahasiswa Aspirasi mengambil tempat sebagai pemandu. Selain Thowik, turut hadir Jesika Putri Natasya dari Aliran Kebatinan Perjalanan.

Jesika menjelaskan peran media terhadap isu toleransi. Juga bagaimana anak muda bijak menggunakan media sosial.

“Jawabannya dilakukan dengan memilah dan memilih mana berita yang benar mana yang tidak, mana yang bersifat menghasut dan mana yang bersifat mendamaikan.”

Lebih jauh, saat ini ada kelompok-kelompok yang berupaya merusak ideologi yang telah ada yakni ideologi pancasila. Ideologi ini memiliki nilai kesatuan dan persatuan. Sayangnya, oleh beberapa kelompok upaya tersebut dirusak. Alasannya tidak ingin indonesia bersatu.

Sikap intoleran yang berkembang saat ini, kata Jesika dapat terlihat dari media sosial. Suara keras pemecah belah kesatuan dan persatuan banyak terlontar. Oleh karena itu, pancasila berisi ajaran tentang cara berperilaku sebagai manusia yang sesungguhnya. Sehingga tidak cukup hanya toleransi, tetapi juga rasa peduli antar sesama. Terakhir, sebagai pemuda yang berlatar belakang berbeda pentung menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.

“Semoga semakin banyak pemuda yang tergerak hatinya untuk mau mencurahkan waktu dan tenanganya untuk bangsa yang sangat dicintai ini,” tutup Jesika

Penulis : Dinda Monika

Editor   : Firlia Nouratama