Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, difabel berarti penyandang cacat. Padahal, kata ini adalah serapan dari different ability. Memiliki makna perbedaan kegunaan atau perbedaan cara penggunaan anggota tubuh. Di zaman sekarang, istilah penyandang cacat sudah tidak relevan digunakan. Terutama bagi disabilitas.
Elga Andrian selaku dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan bagaimana melihat disabilitas dari sudut pandang yang lebih luas.
“Masalah disabilitas itu bukan sesuatu yang singel, yang kita lihat hanya di dalam diri teman difabel. Disitu ada masyarakat, lingkungan, dan lain lain.”
Menurutnya, kebanyakan orang cenderung memaknai difabel mengacu pada disabilitas fisik saja. Artinya, kemampuan mereka tidak sebaik orang-orang pada umumnya. Hal ini perlu diluruskan. Pada dasarnya, semua orang mempunyai kemampuan yang berbeda.
Istilah difabel, kata Elga adalah orang-orang yang memiliki kemampuan beragam, berbeda, dan istimewa. Adanya inklusi sosial di lingkungan difabel diperlukan. Sehingga tercipta kehidupan yang berkualitas. Caranya menyediakan relasi interpersonal dan partisipasi di masyarakat yang berkualitas pula.
Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 menyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Sistem wajib melapor Kementerian Ketenagakerjaan, mencatat ada 440 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sekitar 237 ribu orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 2851 tenaga kerja disabilitas. Kesimpulannya, sekitar 1,2 persen yang berhasil ditempatkan dalam sektor tenaga kerja formal. Untuk itu, penyerapan tenaga kerja untuk penyandang disabilitas masih harus terus dioptimalkan.
Gufronil Sakaril, Ketua Perkumpulan Penyandang DIsabilitas Indonesia menambahkan, disabilitas punya dua masalah besar. Di antaranya stigma negatif dan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Padahal disabilitas memiliki hak yang sama dengan orang lain untuk meraih mimpi.
Serupa dengan Gufronil, Antoni Saputra selaku Peneliti dan Pemerhati Isu Disabilitas turut berbagi cerita. Sebagai seorang difabel, ia bermimpi melanjutkan pendidikan tinggi. Namun Antoni mengaku cukup kesulitan, khususnya mengejar pendidikan di Indonesia. Untuk mencapai pendidikan pasca sarjananya, ia memilih di Australia.
Di Australia, kata Antoni sudah ada teknologi alat bantu. Selain itu, fasilitas fisik dan transportasi publik juga tersedia. “Hal ini memberikan kebebasan untuk bergerak pergi ke kampus, sesuatu yang tidak saya dapatkan di Indonesia,” pungkasnya.
Diskusi bertema Pemenuhan Hak Difabel: Sudah Adilkah Kita? diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM pada 31 Oktober. Dilaksanakan secara virtual, kegiatan ini menghadirkan Gufronil, Antoni, dan Fanny sebagai pembicara.
Menanggapi pernyataan Antoni, Fanny Evrita selaku Pendiri Thisable Beauty Care katakan begitu banyak hambatan yang didapat ketika ikut serta dalam kegiatan yang menyertakan teman-teman difabel. Hal ini terjadi terutama dalam masalah lapangan kerja.
Singkatnya, penyandang disabilitas memiliki hak untuk hidup bermartabat. Dari sisi lingkungan, mereka berhak mendapat sarana dan prasarana yang layak. Selain itu berhak mendapat stigma positif dari sisi perilaku.
“Saya berharap agar Indonesia kedepannya mampu memberikan fasilitas yang memadai serta akses yang ramah untuk teman-teman difabel,” tutup Fanny.
Penulis : Dewi Nur Aini Zulfa
Editor : Firlia Nouratama