Henry Saragih menilai situasi pertanian Indonesia tidak baik, bahkan sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Ia menyayangkan ketika Pemerintah Indonesia malah mengesahkan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Henry merupakan Ketua Umum Serikat Petani Indonesia.
Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Omnibus Law pada 5 Oktober lalu. Presiden Republik Indonesia Jokowi baru meneken UU ini pada 2 November sebagai UU Nomor 11 Tentang Cipta Kerja. Pengesahan sontak menuai pro dan kontra karena isinya dinilai kontroversial.
Jokowi katakan, Omnibus Law hadir untuk merampingkan regulasi. Di samping itu, juga menyederhanakan aturan agar tepat sasaran.
Yuliastuti Yasmin dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Canopy jelaskan banyak catatan kritis yang dituai pasca UU Cipta Kerja disahkan. Hal ini menyangkut sebelas klaster dalam UU tersebut. Contohnya pada sektor pertanian adalah ancaman kedaulatan pangan. Selain itu, mempermudah dalam kriminalisasi terhadap petani.
Ada tiga pasal bermasalah yang diyakini menganggu kedaulatan pangan Indonesia, seperti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Aturannya tertuang dalam pasal 15 ayat 2, pasal 30, dan 11.
Hal ini selaras dengan pernyataan M. Nuruddin selaku Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia. Menurutnya, izin perusahaan besar baik modal dalam negeri atau patungan luar negeri akan dipermudah. Ini bahkan sudah terjadi sebelum adanya UU Cipta Kerja. Demikian juga pada perusahan transnasional global. Dengan adanya Omnibus Law, perizinannya makin memungkinkan.
Masih kata Nuruddin, lahirnya UU menyoal Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadikan istilah menyapu sawah akan mudah. Pasal tersebut mengatur alih fungsi lahan pertanian demi kepentingan umum atau Proyek Stategis Nasional—biasa disebut sebagai proyek infrasturktur.
Maksum Syah, Direktur Eksekutif Sajogo Insitute ceritakan, negara sudah memandang Sumber Daya Alam sebagai komoditas yang akan diperjualbelikan pada rezim orde baru. Demikian pula tanah. Hadirnya UU Penanaman Modal asing pada 1967 dianggap sangat liberal di masa itu.
“Saya mengajak peserta diskusi untuk menilik lebih jauh lagi sejarah paradigma ekonomi liberal.â€
Data nilai impor dan ekspor komoditas pangan pokok seperti beras, gula, dan telur ayam mencatat, Indonesia sebagai negara agraris mengimpor beras mencapai 268 juta rupiah. Sedangkan jumlah ekspor hanya menyentuh angka 3 jutaan. Ini terjadi pada rentang 1995 sampai 2000-an. Pada 1984 sampai 1995, nilai impor sebesar 648 juta dengan nilai ekspor 216 juta. Dari data dapat disimpulkan adanya kenaikan.
Ringkas Nuruddin, Omnibus law merupakan penyempurnaan dari proses perampasan hak petani di Indonesia.
Henry Saragih turut menjelaskan adanya lima poin yang menggambarkan kondisi pangan di Indonesia. Pertama menyangkut ketimpangan dalam penguasaan tanah. Juga rumah tangga petani yang menyusut. Ada pula ketergantungan pangan yang berakibat pada banyaknya kegiatan importir dibandingkan eksportir. Lalu kemiskinan di pedesaan, hingga tingginya konflik agrarian.
“Jika petani menuntut hak, mereka tidak punya lagi dasar hukum untuk melakukan tuntutan karena semunya sudah dilegalisasi oleh Omnibus Law,†pungkasnya.
Lebih lanjut, UU Cipta Kerja menghapus atau mengubah pasal UU terkait pangan lainnya guna memudahkan impor. Tak hanya itu, mempercepat perizinan bagi korporasi dan melemahkan petani. Di antaranya dengan mengubah Pasal 1 angka 7, penambahan frasa Impor Pangan dalam Pasal 14 ayat 1. Lalu mengubah Pasal 36, 39, dan 68. Di dalamnya, frasa Petani, Nelayan, dan Pembudi Daya Ikan dihapuskan. Sehingga menyisakan pelaku usaha pangan—termasuk Usaha Mikro dan Kecil saja.
Menurutnya, jumlah petani makin hari makin berkurang.hal ini terjadi akibat ketimpangan yang terjadi di Indonesia.
“Kami berkesimpulan bahwa UU ini bukan untuk kepentingan petani, lebih pada kepentingan korporasi-korporasi,†pungkas Henry pada Gelar Wicara yang diadakan oleh LPM Canopy pada Minggu (1/11).
Reporter : Andi Yulia Rahma
Editor   : Firlia Nouratama